Huzam sudah pasti gelisah. Setelah Ziya meninggalkan kantor kepolisian ia justru semakin memikirkan banyak hal.
“Pak Hamzah sama putrinya sama saja, Zam. Sama-sama membela kamu mati-matian.” Ucapan Soni membuatnya tidak bisa mengabaikan begitu saja.
Mengapa selama ini keluarga itu baik padanya? Ada apa dan atas dasar apa?
Huzam menggeleng. Ia berusaha menepis sedikit pikiran aneh yang menyelinap. Mungkin karakteristik keluarga Pak Hamzah memang seperti itu. Tidak ada maksud lain yang melatarbelakangi. Huzam menggaruk rambutnya.
“Habis ini ke unit kesehatan, Zam.”
“Ya?”
“Lukamu biar diobati dulu.” Soni menunjuk sudut bibir Huzam. Pukulan ayah Jaka membuatnya tampak menyedihkan.
Huzam mengangguk kecil. Ia kembali meneruskan sesi makan siang yang cukup terlambat itu. Ia tidak merasa ada yang aneh. Meski ditahan, ia tidak diperlakukan kasar seperti sebelumnya. Beberapa rekan kerja Soni juga tampak mengabaikannya.
“Pak,” ujar Huzam. Ia cukup takut untuk menyampaikan keinginannya.
“Ya?”
“Boleh saya pinjam Hp?”
Soni pun menghentikan aktivitas makan yang sedang ia lakukan. “Buat?”
“Saya ingin tau kondisi Jaka.”
Soni menelan lauk terakhir yang ada di tangan kanannya. Ia menghela napas mendengar penuturan Huzam.
“Nggak usah khawatir. Dia pasti baik-baik saja.”
“Pak Soni sudah melihat?”
Soni menggeleng. “Namanya juga langsung ditangani pasti aman lah. Kamu nganggu makan siang saya saja.”
“Ma---af, Pak.”
“Ambilkan minum sana!” Soni menunjuk dispenser yang terletak di sudut ruangan.
“Baik, Pak.”
Huzam menghentikan sejenak aktivitasnya. Ia berjalan sesuai dengan perintah Soni. Di ruangan seperti ini mana berani ia membantah.
“Huzam!” panggil seseorang.
Huzam tanpa menoleh pun cukup tahu suara siapa itu. Ia tidak terlalu kaget.
“Heh! Main masuk aja. Siapa kamu?!” tanya Soni.
Niken tak peduli. Ia berjalan mendekat ke arah Huzam. “Ya ampun, Zam ....”
“Heh, pertanyaan saya belum dijawab. Siapa kamu?” tanya Soni lagi. Cukup kesal diabaikan oleh gadis tengil.
Niken tetap tidak menjawab. “Mau aku bantu, Zam?”
“Ehem! Ehem! Ehem!” Soni pun berdeham. Ia tidak tahan dengan sikap gadis tengil itu.
“Apaan sih, Pak Pol? Lupa sama saya?” Niken melepas masker yang ia kenakan.
“Buju busyetttt kamu?” tanya Soni tersentak.
“Iya, Pak. Ini Niken suriken,” ucap Niken sedikit kesal. Seharunya Soni mengenalinya.
“Udah insyaf?” tanya Soni sambil menunjuk kerudung yang dikenakan Niken.
Niken pun memegangnya. Ia baru sadar waktu awal kelas sepuluh, saat datang ke kantor ini, style-nya tidak seperti sekarang.
“Tobat dong, Pak,” seloroh Niken. Dengan santai ia duduk di salah satu sisi sofa.
Huzam tidak bisa untuk tidak tersenyum. Interaksi Niken dan Pak Soni cukup menggemaskan.
“Ngapain kamu nyengir?” tunjuk Soni. Ekspresi Huzam tertangkap olehnya.
Huzam menggeleng. Namun, tanpa sengaja tangannya justru menyentuh luka di sudut bibir. “Awww,” pekiknya.
“Kenapa, Zam? Sakit banget?” tanya Niken prihatin. Ia kasihan dengan Huzam.
“Nggak apa-apa. Cuma lecet.”
“Lecet apanya? Itu banyak darah, Zam.”
Soni menggeleng. Yang namanya muda mudi selalu bersikap seperti itu. Memamerkan kemesraan di mana saja.
“Niken. Namanu Niken?”
“Iya, Pak.”
“Antar Huzam ke ruang kesehatan. Obati lukanya.”
“Sekarang, Pak?”
“Nggak, tahun depan.”
Niken terkekeh. Soni cukup ramah untuk kriteria petugas sepertinya. Niken dengan sigap menerima perintah itu.
“Ayo, Zam.”
Huzam mengangguk. Ia sendiri sudah tidak terlalu berselera untuk melanjutkan makan siang. Segera ia berdiri, mengayunkan langkah bersama Niken.
“Sakit, Zam?” tanya Niken begitu ia menempelkan kapas yang sudah ia beri alkohol untuk membersihkan luka.
“Dikit.”
“Kok bisa gini? Jaka nggak mbantu kamu?”
Huzam menatap aneh Niken. “Jaka baik-baik saja?”
Niken sigap menutup mulutnya. Tidak seharusnya ia memberi komentar yang tidak perlu. Segera ia menggeleng.
“Kamu udah liat Jaka?” tanya Huzam menuntut. Ia juga perlu tahu kondisi sahabatnya.
Niken mengangguk kecil. “Sudah ditangani.”
“Syukurlah, aku kira lukanya cukup parah.”
Ya, terakhir kali Jaka bahkan tidak sadarkan diri. Niken tidak menanggapi ucapan Huzam. Ia kembali merawat luka di wajah Huzam. Meski tidak terlalu terawat, wajah Huzam sebenarnya cukup nyaman untuk dipandang. Huzam tidak hanya tampan melainkan manis dengan kulit yang sedikit menggelap itu.
“Awwww.”
“Maaf, maaf. Aku pelan-pelan, Zam.”
Huzam pun mengangguk. “Kamu tau dari mana aku di sini?”
Niken terus mengusap kapas dengan telaten. Ia memastikan tidak ada kuman yang berani hinggap di sana.
“Bu Ziya.”
“Menghubungimu?”
Niken mengangguk. Ia sendiri kesal dengan sikap wali kelas barunya. Bagi Niken, Ziya terlalu perhatian.
“Telepon?”
Niken menghela napas. Bahkan Huzam pun ikut penasaran. “Nyamperin ke rumah.’
“Ke rumah?”
Niken mengangguk. Ia cukup malas membahas tentang perempuan bernama Ziyadatul Muna itu. Apalagi di depan Huzam.
“Ibu sama Bintang belum tau. Aku belum berani bilang,” ujar Niken.
Huzam mengangguk kecil. Ia memang sedang tidak ingin menimbulkan masalah. Semalam adalah yang terakhir sebelum akhirnya ia harus tertahan di kantor ini.
”Sudah,” ujar Niken. Luka di wajah Huzam sudah selesai ia berikan penanganan. Meski tidak handal, ia cukup tahu tentang perawatan pertama karena pernah ikut ekskul PMR.
Huzam mengangguk lagi. Ia belum terbiasa mengucapkan terima kasih terlebih dengan temannya sendiri. Niken pun sadar, kata itu cukup mahal untuk keluar dari mulut Huzam. Ia tidak menunggunya dan memilih merapikan peralatan.
“Aku nggak bisa lama-lama, Zam,” ujar Niken setelah mereka kembali ke ruangan Pak Soni.
“Ya, nggak apa-apa, Ken.”
“Nanti aku ke rumah buat cek kondisi Bintang. Katanya dia sakit?” Niken berusaha memastikan akan kabar itu.
“Tau dari mana? Aku belum memberitahu siapa-siapa.”
Niken tersenyum samar. Rupanya Ziya tahu semua. Bahkan tentang kondisi keluarga Huzam. Ia pun tidak berniat memberitahu Huzam.
“Teman satu kelasnya.”
“Ohhhhh.” Huzam nampak kecewa.
Niken mendesah. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa interaksi Huzam dan wali kelas baru mereka menjadi sedekat itu. Mungkinkah? Niken menggeleng. Tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Namun, sedikit logikanya bermain. Usia Huzam sembilan belas tahun menjelang dua puluh di bulan Juli sedangkan Ziyadatul Muna, perempuan itu baru mahasiswi tahun akhir. Bisa jadi usianya juga tidak jauh berbeda. Niken benar-benar dibuat gila akan pemikirannya.
“Oiii! Jam besuk sudah habis!” seloroh Soni. Ia geli melihat Niken dan Huzam saling berbicara tanpa beban. Seolah mereka sedang berada di teras sekolah saja.
“Sabar napa, Pak. Bentar lagi juga balik.”
“Heh! Berani kamu?”
Niken menoleh. Ia tidak suka dengan sikap Soni yang sok tegas. Aslinya, petugas kepolisian itu cukup baik dan ramah pada anak-anak.
“Kalau galak-galak nanti cepet tua, Pak!” timpal Niken.
“Welah, wani koe?”
Niken mengangkat tangan. “Ora, Pak!”
Huzam hanya bisa tersenyum kecil menyaksikan orang-orang itu. Di ketidakpastian nasibnya saat ini, tetap saja pikirannya tertuju pada satu orang yang katanya sedang berjanji tidak akan membuat keluarganya khawatir. Huzam menghela napas panjang. Sungguh, ia berharap bisa lepas dari hukuman kali ini.
***