25. Tiba-tiba

1233 Kata
“Saya, Pak?” tanya Huzam cukup kaget. “Iya. Kamu Huzam, kan?” Huzam mengangguk. Ia belum terlalu mengenal petugas lain selain Soni. Setelah semalam menginap di hotel prodeo ini, ia tetap tidak tahu siapa laki-laki itu. “Pak Soni lagi ada urusan, jadi saya yang jaga.” Huzam tampak berpikir. Bagaimana bisa? Bebas? Apa tidak salah? Sementara wali kelasnya sendiri belum kembali. Belum memberikan berita sama sekali. “Tanda tangan di sini,” ujar petugas yang tidak dikenali Huzam itu. Huzam ragu untuk meraih pena. Semudah ini dibebaskan dari jeruji? Ya, meski dia memang tidak bersalah, tetap saja terasa janggal. “Taken saja disitu. Ndak usah pakai mikir.” “Eh, ya, Pak.” Huzam pun membubuhkan tanda tangannya di selembar kertas dan juga nama terang. Ia tidak paham maksudnya untuk apa. “Ngomong-ngomong, Pak Soni di mana, Pak?” “Soni? Petugas itu? Mana saya tau.” Petugas lain yang baru dijumpai Huzam pun berlalu begitu saja. Huzam mengernyit. Sungguh, ini tidak seperti biasanya. Ia pun mengayunkan langkah keluar dari kentor kepolisian itu. Di mana artinya ia bebas tanpa harus melewati serangkaian hal seperti yang ia lakukan sebelumnya. Huzam menatap sekilas gedung kantor tersebut. Ia berjanji tidak akan berurusan lagi dengan yang namanya penegak hukum. Ia harus mulai menjauhkan diri dengan hal-hal yang berbau kriminal. Huzam pun meninggalkan tempat menginapnya semalam. Ia harus bergegas ke rumah agar sang ibu dan adiknya tidak terlalu khawatir. Huzam sebenarnya ingin terus berjalan kaki. Meski cukup jauh, ia tidak perlu mengeluarkan biaya agar sampai ke rumahnya. Namun, kepalanya sedikit terasa pusing, jika dipaksakan ia hanya akan jatuh di jalan. Maka Huzam memutuskan memberhentikan salah satu tukang ojek yang berada di sekitaran posisi ia berdiri. Ia melakukan negosiasi. “Buduran, ya, Pak.” “Arah mana? Kujon?” Huzam mengangguk. “Bawah lagi, Pak.” “Yo. Rong puluh ewu.”                “Ya, Pak.” Beruntung, di saku celananya terselip satu lembar uang lima puluh ribuan. Sebelum kejadian, Jaka menyelipkannya. Huzam tersenyum simpul. Bahkan, ia belum bisa menjenguk sahabatnya dengan kondisinya yang sekarang. Huzam, hanya merasa perlu segera sampai ke rumah dan merebahkan badan. “Makasih, Pak. Ini,” ujar Huzam begitu alamat yang ia sampaikan bisa ditemukan oleh tukang ojek. “Yo, le. Sek kembaliane.” Huzam menunggu dengan sabar. Ia memegang pelipisnya karena memang sudah merasa sangat pening. Begitu kembalian ia dapatkan, Huzam berjalan dengan sisa sisa tenaganya menuju teras rumah. Pintu rumahnya ia ketuk sebanyak tiga kali. “Mas? Kamu kenapa?” tanya Bintang yang membuka pintu untuk ketukan itu. Huzam menggeleng. Ia tidak langsung menjawab. Sebisa mungkin ia berjalan masuk ke rumah. Namun, langkahnya sedikit gontai. “Mas,” pekik Bintang. Ia membantu Huzam berjalan. “Makasih, Bin.” Bintang mengangguk. Ia terus memapah kakaknya yang tampak kelelahan. Bintang juga membantu kakaknya untuk berbaring di kasur tipis di kamar di dekat ruang tamu. “Ibu mana?” tanya Huzam masih sanggup memikirkan ibunya. “Kerja, Mas.” “Lagi?” “Iya. Masih di tempat Mbak Yani.” “Kamu udah baikan?” Huzam mengangsurkan tangan. Ia berniat memegang kening adiknya. “Udah, udah sembuh. Mas Huzam kenapa?” Huzam tersenyum tipis. “Mas istirahat dulu, ya. Ngantuk berat.” “Muka Mas kenapa? Kelahi?” Huzam terkekeh. Bintang selalu seperti itu. Adiknya penuh rasa ingin tahu. Namun, Huzam belum berencana menceritakan semua. “Mas,” rengek Bintang. Ia cukup sedih melihat kondisi kakaknya terlebih semalam dua malam tidak pulang dan tidak bisa dihubungi. “Mas merem dulu.” Bintang pun kalah. Ia tidak bisa memaksa kakaknya jika kondisinya seperti ini. Bintang memilih pergi dari kamar itu, seraya menutup pintunya rapar. “Ada yang salah,” desis Bintang. *** “Dibebaskan, Pak? Bagaimana bisa?” Soni menggeleng. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana bisa Huzam sudah tidak dibui. Semalam mereka masih berbicara banyak hal. “Saya kurang tau, Mbak.” “Lah, kan bapak yang jaga? Bagaimana nggak tau?” Ziya yang berencana menjenguk Huzam di siang hari tak habis pikir atas kejadian ini. “Saya kebetulan ada dinas luar. Pagi tadi tidak ke kantor dulu tapi langsung ke TKP. Saya nggak tau kalau anak itu sudah bebas.” “Tidak ada catatannya, Pak? Tidak ada yang memberi perintah, kah?” Muslim yang jelas lebih berpengalaman dibandingkan Ziya menanyakan langsung kejadian itu. “Saya nggak menerima itu, Pak Muslim. Saya juga bingung.” “Aneh,” lirih Muslim. “Ehem! Ribut-ribut apa ini?” tanya pimpinan Soni yang tiba-tiba muncul begitu saja. “Eh, Pak.” Soni mengangguk sebagai bentuk rasa hormat pada atasannya. “Ada apa?” “Ini, Pak. Wali kelas serta guru BK siswa yang malam kemarin ada di sini tanya kenapa siswanya sudah dibebaskan. Setau mereka belum bisa,” terang Soni. Ia berusaha membuat argumen yang tidak mengada-ada. “Yang balap liar?” “Iya, Pal.” “Loh bukannya malah bagus kalau sudah bebas. Ini kok malah ditanyakan. Tandanya masalah clear dong.” “Tapi, Pak. Kemarin Pak Soni bilang bisa bebas jika penuntut mencabut laporannya tapi ini ....” Ziya tidak melanjutkan argumennya. Tatapan pimpinan di kantor ini tertuju pada Soni. “Maaf, Pak. Ini kesalahan saya. Saya kurang tepat berbicara.” Pimpinan itu pun menepuk punggung Soni. “Lain kali hati-hati. Jelaskan seperlunya saja.” “Baik, Pak!” “Anda guru BK-nya?” tanya pimpinan Soni pada Muslim. “Iya, Pak.” “Ikut saya ke ruangan.” Pimpinan menunjuk pintu keluar. “Baik, Pak.” “Saya juga, Pak?” tanya Ziya tanpa merasa takut sama sekali. “Anda tunggu di sini saja.” Ziya cukup kecewa. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat kemarin siang pergi ke rumah sakit, orang tua Jaka bersikukuh tidak akan mencabut laporannya. Mereka berdalih Jaka adalah korban. Huzam lah penyebab semuanya. Namun, sekarang, tiba-tiba Huzam dibebaskan. Sungguh cukup mengejutkan. “Bu,” panggil Soni. “Ya, Pak.” “Ikut saya keluar.” Soni menunjuk pintu keluar yang tidak dilalui oleh Muslim dan pimpinannya. Ia harus menjelaskan pada putri Pak Hamzah secepatnya. Ziya berpikir sejenak. Apa perlu menuruti? “Buruan, Bu.” Ziya pun mengayunkan langkah. Bisa saja Pak Soni akan memberikan lebih banyak informasi terutama tentang hal-hal yang tidak diketahui. “Ke sini, Pak?” Ziya cukup kaget karena Soni justru mengajaknya ke dapur. “Bentar, ya, Bu.” “Ya?” “Yu Nurrrrr, rantange ndi?!” seru Soni. Ia meminta petugas dapur untuk membawakannya. “Niki, Pak!” sahut Yu Nur seraya berlari ke pintu utama dapur. “Wes resik?” “Sampun, Pak.” “Suwun, yo.” Yu Nur mengangguk. “Nggih.” Soni pun kembali berjalan ke arah Ziya. Tadi memang meminta Ziya menunggu agak jauh dari pintu utama dapur. Ia tampak senang. “Nih, Bu, rantangnya. Alhamdulillah habis isinya. Matursuwun, nggih.” Soni mengukir senyum. Anti k*****s. Ziya pikir Soni akan menceritakan minimal hal yang berkaitan dengan kebebasan Huzam. Rupanya, hanya mengembalikan rantang. Ziya menerima rantang itu. Meski kecewa ia berusaha untuk tetap menghargai petugas kepolisian itu. “Nggih. Sami-sami, Pak.” Ziya berjalan kembali menuju kantor Soni. Ia harus menunggu Muslim untuk mengetahui detailnya. Namun, langkahnya terhenti saat ponse di saku jaketnya bergetar. Ziya meraihnya seraya melihat siapa yang menghubungi. Segera ia mengangkatnya. “Baik. Saya langsung ke situ.” Ziya melesakkan lagi ponselnya. Ia berlari kecil sambil membawa rantang yang sudah bersih. Mengabaikan seruan Soni yang seperti memanggilnya. Ada satu tempat yang akan menjawab semua pertanyaannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN