Huzam mengendarai sepeda motor milik Ziya dengan kecepatan penuh. Feelingnya mengatakan bahwa kondisis di rumahnya, sedang tidak baik-baik saja. Bintang jarang sekali melakukan hal semacam ini. Tidak memberi kabar dan tidak mengangkat panggilan telepon Bu Ziya bukanlah sikap adiknya. Pagi tadi saat Huzam berangkat, sikap sang ibu juga tidak biasa. Sudah cukup lama Ningtiyas tidak melakukan pekerjaan sepagi itu. Sejak Suko--pria b***t di keluarganya pergi dari rumah.
Huzam memberhentikan motor itu. Segera ia turun dari sana dan berlari menuju depan pintu. Kedua tangannya mendorong keras ke dalam hingga ia bisa membukanya. Mata Huzam nanar mencari keberadaan Bintang.
***
"Dia putranya, Pak. Tidak mungkin kalau dia yang melakukannya," ucap Pak RT yang sudah mendengar kejadian di rumah Huzam dan langsung datang.
"Faktanya sang putra lah yang menemukan kondisi ibunya seperti itu."
"Bapak tidak boleh asal nuduh. Harus ada bukti dulu."
"Ehem! Ehem!" Soni yang sejak tadi melihat interaksi ketua RT dan salah satu rekannya itu pun bergabung. "Ada apa ini Pak. Kasak kusuk dari tadi?"
"Nah Pak Soni. Pak Soni kenal Huzam. Tidak mungkin kan dia yang melakukannya?"
Soni mengukir senyum tipis. "Harus melalui penyelidikan, Pak. Tidak bisa kita asal menyimpulkan. Ada proses nantinya."
"Nah, betul kan. Kenapa anda yakin sekali?" Pak RT kembali menatap ke salah satu petugas yang berjaga di TKP.
Bisa dibilang ini adalah mimpi buruk. Sebuah hal yang tidak pernah mampu dibayangkan oleh Huzam. Suatu hari, ia memang pernah memikirkannya tapi ia tak sanggup menerima. Selalu ia tepis pemikiran itu dan menggantinya dengan suatu hal yang berbeda.
"Zam," panggil seseorang yang sejak mendengar kejadian itu juga langsung datang.
Huzam menoleh. Wali kelas barunya sudah di rumahnya. Entah dengan menggunakan kendaraan apa karena sepeda motornya ia bawa.
"Kita keluar dulu ya, Zam. Jangan di sini." Ziya berusaha setenang mungkin membujuk Huzam. Ia tidak mau kedatangannya justru menambah perkara. Pak Soni sudah menjelaskan beberapa hal saat ia bertemu di depan.
Huzam tak merespons dengan baik. Ia menatap hampa ke lantai bekas ibunya terbaring dengan sebuah luka tikaman di perut. Perempuan itu tergeletak tak berdaya dan tak lagi bernyawa.
"Biar cepat olah TKPnya. Kita harus bisa bekerjasama, Zam," bujuk Ziya. Ia tidak sempat melihat kondisi terakhir Ningtiyas. Saat ia datang sebuah kantong jenazah sedang diangkat ke mobil petugas.
Kemalangan terkadang datang justru pada orang-orang yang kesusahan. Mereka yang sejak awal sudah menderita seolah diberi waktu untuk terus merasakan itu sampai kadar keimanan orang tersebut menjadi lebih baik lagi. Bagi seorang Huzam yang tidak memiliki apa-apa peristiwa ini jelas mengguncangnya. Ziya menatap iba murid istimewanya. Sungguh ia tidak mengerti mengapa ada orang-orang yang begitu mudahnya melakukan hal keji seperti merenggut nyawa.
"Ayo, Zam. Kita tunggu depan, ya," ujar Ziya. Ia masih terus berusaha.
Huzam menggeleng. Matanya terus menatap jejak itu. Seolah sang ibu masih terbaring tepat di depannya. Ia tak bisa mengabaikannya.
"Ibu," lirih Huzam. Tampak dua bola mata miliknya berkaca.
"Ibu...."
Huzam tak bisa lagi menahan. Jika selama ini ia menjadi pria yang tampak kuat, tidak dengan sore ini. Semua yang pernah ia lakukan pada sang ibu seolah terputar sendiri di depannya. Bagaimana ia membantah, membangkang dan selalu mengabaikan perhatian sang ibu. Sungguh ironis, saat ia sedang berusaha menjadi orang baik, ia justru tak bisa menolong ibunya. Sesak itu memuncak. Melukai hati terdalam Huzam. Ia adalah manusia yang tidak berguna. Pesakitan dengan kelemahan terbesar.
"Bu Ziya," panggil Soni. Rekan dari divisi lain di kantornya harus segera membereskan tempat kejadian perkara.
"Sebentar, Pak," jawah Ziya. Ia masih berharap Huzam mau mengikuti perintah tanpa harus dipaksa.
"Huzam, ayo kita pindah dulu," ucap Ziya. Ia menyentuh lengan kanan muridnya itu.
Seperti orang yang tidak memiliki tenaga Huzam akhirnya mau membawa dirinya beranjak dari tempat itu. Ia berjalan keluar dengan bantuan Ziya.
"Terima kasih, Bu. Nanti biar kami bawa Huzam ke tempat yang lebih baik." Ziya mengangguk kecil. Ia terus berjalan mendampingi Huzam hingga teras rumah.
"Bua Ziya!" seru Muslim yang setelah mendengar peristiwa itu memutuskan untuk datang. Ia bisa dengan jelas melihat Ziya menatih Huzam berjalan.
"Pak Muslim," jawab Ziya. Sigap Pak Muslim mendekat. Ia mengambil alih posisi Ziya. "Biar saya saja."
Ziya mengangguk. Ia menyerahkan lengan Huzam yang seperti tak bertenaga itu pada Muslim. Ia berjalan lebih cepat ke kursi dah menyingkirkan beberapa tas yang mungkin milik anggota kepolisian.
"Duduk sini," ujarnya. Muslim mengangguk, ia bantu Huzam sampau benar-benar bisa menduduki kursi itu. Ia lihat sekilas wajah muridnya yang memprihatinkan.
Huzam menghela napas panjang. Ini pasti hanya mimpi. Ibunya tidak mungkin seperti itu. Peristiwa sore ini tidak nyata. Jantung Huzam seakan diremas. Ia sadar bahwa ia hanya menolak semuanya. Jelas-jelas sang ibu sudah tiada sedangkan Bintang belum diketahui rimbanya. Huzam memejam. Siapa? Siapa yang tega berbuat semacam itu pada keluarganya? Siapa yang mampu melakukannya dengan begitu sempurna? Huzam menutup wajahnya. Ia tergugu dalam isak yang semakin menyayat.
***
Satu minggu pasca kematian Ningtiyas, proses penyelidikan terus berjalan. Huzam, dalam masa itu terus berada di bawah pengawasan tim medis kepolisian untuk dimintai keterangan. Semua yang mendengar kronologi bagaimana Huzam mendapati Ningtiyas terbujur kaku di rumahnya jelas paham. Huzam, sudah pasti mengalamai trauma.
"Bagaimana, Pak. Apa ada perkembangan?" tanya Ziya yang menyempatkan diri melihat Huzam. Sementara waktu, remaja itu tinggal di rumah sakit dengan penanganan dan pengawasan yang cukup ketat. Setelah duduk di teras Huzam tak sadarkan diri.
"Belum. Mungkin perlu waktu."
"Apa tidak ada cara lain selain menanyakannya pada Huzam? Masih sulit saya liat." Huzam masih tampak murung. Susah diajak bicara dan seperti merangkum peristiwa itu untuk diri sendiri.
"Ya. Kita tunggu beberapa hari lagi. Kalau perlu nanti periksa ulang. Di sini Huzam hanya saksi, Bu."
Ziya mengangguk. Ia setuju akan hal itu. Jangan sampai pihak kepolisian justru menganggap Huzamlah yang telah menikam ibunya. Ziya jelas tidak akan percaya.
"Bintang bagaimana, Pak? Apa sudah ada kabar?" Ziya sudah putus asa. Ia belum berhasil menemukan keberadaan muridnya itu.
Soni menghela napas. "Kita tunggu saja, Bu."
Dua orang itu yang sama-sama punya perhatian terhadap Huzam hanya bisa duduk menyaksikan. Mereka tidak mampu melawan waktu. Mereka hanya bisa menunggu sampai kabar baik itu tiba. Ziya merapal beberapa doa harian di dalam hati. Sementara Soni terus berpikir ada yang tidak beres sejak awal. Bagaimana mungkin tidak ada jejak sama sekali? Soni menyandarkan punggungnya ke sofa.
"Saya tau siapa pelakunya, Pak," ujar Huzam yang tiba-tiba sudah duduk di brankarnya. Sontak baik Soni maupun Ziya terlonjak.
"Huzam," desis Ziya. Akhirnya muridnya sadarkan diri setelah pingsan beberapa hari.
Ziya dan Soni gegas mendekat ke brankar Huzam. "Alhamdulillah. Ada yang sakit, Zam?"
"Saya tau pelakunya, Pak. Saya yakin seribu persen." Huzam mengulangnya. Ia menyampaikan informasi itu untuk Soni.
Soni mengangguk. Ia memahami perasaan Huzam. Sudah pasti Huzam ingin segera menemukan titik terang atas peristiwa itu.
"Huzam, kamu jangan terlalu berat berpikir. Tenang, Huzam," ujar Ziya. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi Huzam.
"Pak Soni harus menemukannya untuk saya."
"Pasti, Zam."
Huzam memejam. Ia bertekad akan melakukan apa saja untuk menemukan pria itu. Ia jamin orang yang mampu melakukan semua ini hanyalah pria itu.