28. Tanda Tanya

1501 Kata
Huzam tidak begitu nyaman saat sampai di sekolah. Seharusnya ia menunggu sampai teman Bintang datang menjemput bukan malah berangkat begitu saja dengan Niken. Ia mencoba berpikiran positif meski pagi tadi belum sempat berpesan seperti biasanya. Rumah Huzam meski masuk dalam wilayah pedesaan, hampir semua warganya bekerja di kawasan Taman Candi Borobudur. Pukul tujuh pagi biasanya lingkungan itu sudah sepi. Ditambah, rumah Huzam tergolong yang berada di ujung desa. Melewati turunan dan lebih berdekatan dengan kuburan. Huzam berusaha menepis semua pikiran buruk meski rasanya tidak nyaman sekali. “Huzam ikut saya!” seru Pak Muslim begitu melihatnya. “Saya juga, Pak?” tanya Niken antusias. Akan lebih senang jika ia juga diminta masuk ke ruang BK. “Huzam saja.” Huzam pun mengangguk. Ia mengurungkan niat untuk langsung menemui Bu Ziya. Pak Muslim sudah lebih dulu memanggilnya. “Duduk.” “Baik, Pak.” “Saya mau langsung ke inti.” Muslim menatap tajam ke arah Huzam. Ia sudah memastikan bahwa ruang BK tidak ada yang menghuni untuk pagi ini. Ia bebas menanyakan apa saja demi mendapatkan informasi. “Siapa yang membebaskanmu?” “Saya tidak tau, Pak.” “Jangan bohong. Keluarga Jaka sama sekali belum mencabut laporan.” “Asli, Pak. Saya tidak tau.” Huzam berkata jujur. Ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa semudah itu lepas dari jeruji. “Hapal dengan petugasnya?” Huzam menggeleng. “Tidak, Pak.” “Kenal dengan pimpian di sana?” “Apalagi, Pak. Sama sekali saya tidak tau.” “Aneh,” desis Muslim. “Memangnya kenapa, Pak? Apa benar yang meyeret saya ke bui orang tua Jaka?” Huzam sudah mendengarnya saat berada di kepolisian, tapi ia berusaha menyangkal. Sekarang, ia ingin memastikan. “Iya. Mereka merasa dirugikan.” Bahu Huzam seketika turun. Ia merasa terhianati lewat insiden itu. Ia kira kebencian keluarga Jaka tidak sampai separah itu. Namun, ia keliru. “Mereka tidak senang kamu bergaul dengan Jaka. Mereka menganggap kamu yang bikin Jaka seperti itu.” Huzam mendesah. Persahabatan mereka terjalin sejak lama. Ia sendiri paham mengapa Jaka berani melawan. Bukan semua mutlak karena pergaulan. “Sekali lagi saya tanya. Kamu beneran nggak tau?” Huzam mengangguk mantap. Ia memang tidak mengerti sama sekali. “Tidak, Pak.” “Ya sudah kalau begitu. Biarkan ini tetap menjadi rahasia. Saya pastikan insiden kamu dibui kemarin tidak sampai mana-mana. Mentok hanya beberapa guru saja.” Huzam tidak menanggapi. Hatinya kecewa karena orang tua Jaka menganggapnya separah itu. “Mana hp kamu?” “Hp, Pak?” “Iya.” “Buat apa?” “Serahkan ke saya. Hari ini hp kamu saya sita sebagai jaminan. Lanjutkan pekerjaan kamu di perpustakaan sebelum nanti sore berangkat ke pesantren. Sudah disiapkan semua?” Huzam merogoh saku celananya. Ia serahkan ponsel yang tidak begitu berharga itu. Biasanya juga jarang sekali terisi kuota karena ia tidak begitu mementingkannya. “Sekarang langsung ke perpus. Selesaikan dengan baik kolom pengabdian di saya.” “Baik, Pak.” “Satu lagi.” “Ya?” “Kalau ditanya orang-orang, jawab saja habis jatuh atau kecelakaan.” Huzam mengangguk lagi. Jelas hal itu hanya akan membuat citra buruk sekolahnya bertambah kalau sampai banyak yang tahu dua siswanya trlibat insiden balap liar. Huzam undur diri dari ruang BK. Gagal sudah niatnya menemui Bu Ziya atau teman-teman satu kelas. Pagi ini ia sudah harus ke perpustakaan. Muslim menilik sekilas ponsel Huzam. Nampak jelas walpaper senja yang seperti mirip dengan layar kunci milik Ziya. Muslim menggeram. Mereka mengambil gambar di spot yang sama. Hanya saja di tempat Huzam, hanya berupa stupa dan matahari yang turun dengan semburat waran orange-nya. Muslim menekan tombol power. Ponsel itu harus dimatikan agar tidak ada yang menganggu Huzam di tugas akhirnya sebelum ke pondok pesantren. Meski sedikit kesal, Muslim berusaha profesional. Ia yakin seribu persen seorang Ziya tidak mungkin terpikat oleh Huzam—murid bengal dengan segala prestasi buruk di sekolah. *** “Beneran besok ke pondok?” tanya Niken begitu ia bertemu Huzam di perpustakaan. Huzam mengangguk. Info terakhir yang ia dapat memang seperti itu. “Kamu nggak usaha ngejelasin kalau Jaka yang ngajakin? Dari dulu Jaka juga udah gitu, kan?” Niken masih tidak terima. Tiba-tiba ia mendengar berita hukuman pengabdian Jaka ditangguhkan. Huzam meraih beberapa tumpukan buku. Meski tangannya sedikit pegal karena pukulan sisa insiden malam itu, ia tetap berusaha memindahkannya tanpa perlu meminta bantuan Niken. Ia laki-laki harus bertanggung jawab terhadap tugasnya. Begitu pikirnya. Huzam pun berhenti sejenak. Sejak kapan ia merasa seperti itu? “Stempelnya, Zam.” Niken menunjuk stempel perpustakaan yang berada lebih dekat dengan jangkauan Huzam. “Nih.” Huzam melemparnya. “Makasih.” Huzam mengangguk. Ia mulai membuka lembar pertama buku paket itu. Melakukan tugas seperti di hari Jumat. Menyelesaikan semuanya dan harus selesai hari ini. Huzam tidak keberatan. Ia sedang berusaha menikmati setiap momen yang terjadi di hidupnya. Termasuk, menyetempel buku, dihajar ayah dari sahabatnya sendiri dan mendapatkan perhatian lebih dari seseorang. Ah, rasanya sudah mirip pungguk yang merindukan bulan. Pikiran Huzam hari ini terlampau tinggi. “Aku masuk kelas sendirian, dong, Zam. Kamu ke pesantren dan Jaka masih di rumah sakit,” keluh Niken. Ia menjadi tidak antusias untuk memulai kembali hari-hari normalnya di kelas. “Mau ngikut?” timpal Huzam. Ia tidak begitu yakin dengan pemikiran sahabatnya itu. Seorang perempuan tapi sikapnya jauh dari sikap makhluk tuhan dengan gelar tersebut. “Kalau boleh si iya, Zam. Mau ngapain coba di kelas? Gabut banget lah.” Huzam terkekeh. Bagi mereka mendengarkan ceramah guru jelas lebih membosankan dibandingkan melakukan aktivitas di luar. Mereka jelas lebih suka berjalan-jalan dan membuat kerusuhan di mana-mana dibandingkan patuh dan diam saja. Huzam memikirkan ulang berbagai macam hal yang sudah mereka lakukan. Kalau diruntut dari awal, saat akhirnya mereka bertiga bisa bertahan itu luar biasa. Mungkin, seharusnya mereka sudah drop out sejak lama. Keajaibanlah yang membawa mereka sampai di tahap ini juga jasa besar Pak Hamzah mantan wali kelasnya sejak kelas sepuluh yang kemudian diteruskan oleh putrinya untuk saat ini. Huzam menarik garis bibir. Rasanya ada yang mengaduk perutnya. Seperti ia sedang menyeduh kopi ternikmat yang pernah ada. Ditambah kepulan asap membumbung yang terasa sangat nikmat. Dari pagi hingga setelah waktu solat duhur selesai, Huzam dan Niken terkunci dengan kegiatan menyetempel buku itu. Mereka hanya berhenti sekitar lima belas menit di waktu istirahat. Sampai pada akhirnya cobaan berat itu selesai saat bel pulang berbunyi. Menggema di seluruh ruangan perpustakaan. “Akhirnya,” ujar Niken lega. Ia mengangkat kedua tangan seraya melakukan peregangan. Huzam terenyum puas. Tumpukan buku-buku itu berhasil mereka taklukan. Artinya pengabdian di sekolah dengan jalur Pak Muslim telah selesai ia tuntaskan. Huzam berdiri. Ia harus segera menemui wali kelas barunya. Ada hal yang ingin ia sampaikan. “Bareng lagi nggak?” tanya Niken. “Nggak usah, Ken. Kamu duluan aja.” “Oke.” Niken pun berlalu dari perpustakaan. Ia langsung memilih koridor menuju parkiran siswa sementara Huzam mengambil jalan lain. Niken tahu betul ke mana tujuan Huzam. Sedikit berlari Huzam melewati koridor kelas yang nantinya terhubung dengan ruang guru. Ya, tentu ia harus menanyakan beberapa hal pada Ziyadatul Muna perihal persiapannya ke pondok pesantren besok pagi. Huzam berseru senang dalam hati. Ia kalau tidak malu mungkin sudah akan berisiul. Tetapi dia tetaplah Huzam—veteran kenakalan di sekolahnya. Ia sedikit tetap berusaha menjaga image. Dari jauh rupanya Ziya sedang berjalan. Tampak gugup dari gestur langkahnya. Huzam yang pasti yakin akan berpapasan dengan wali kelasnya itu ikut mempercepat langkah. “Zam, hari ini Bintang nggak berangkat. Apa dia masih sakit?” tanya Ziya tergopoh. Ia baru saja mendapat laporan dari wali kelas Bintang. “Bintang nggak masuk, Bu?” tanya Huzam kaget akan berita itu. “Iya. Nomornya saya hubungi juga nggak bisa. Dia telepon kamu tidak?” Telepon. Di mana telepon genggamnya. Huzam meraba saku celananya dan menyadari jika ia menitipkannya di tempat Pak Muslim. Tepatnya di sita. Huzam mulai panik. Bintang belum sempurna pulih. Kalaupun sudah, mungkin panasnya tiba-tiba meninggi. Huzam dilanda kekhawatiran. “Coba saya hubungi lagi ya, Zam,” ujar Ziya. Ia mengeluarkan kembali ponselnya. “Duh, nggak berdering. Dari tadi gini. WA juga nggak terkirim.” Ziya ikut panik. Huzam semakin gusar. Pagi tadi ia lupa untuk berpesan. Sungguh, ia takut ada banyak hal yang akan terjadi di luar kendalinya. “Ayo Bintang, diangkat. Nggak biasanya gini,” racau Ziya. Ia hapal betul tabiat siswinya itu. “Bu....” “Ya, Zam?” “Boleh saya pinjam motor?” “Ya?” “Saya harus segera pulang.” Ziya berpikir sejenak. Maksudnya adalah Huzam tidak membawa kendaraan sendiri. Segera Ziya menyadari itu dan mengingat ucapan ibunya Huzam. Ziya pun mengangguk mantap. Ia buka tas gendongnya. Ia memang sudah akan pulang. “Ini, Zam,” ujarnya saat ia menemukan kunci motor matic itu. Huzam menerimanya. Ia harus segera sampai di rumah untuk memastikannya. “Di parkiran depan.” “Ya, Bu. Maaf saya pinjam dulu.” Ziya mengangguk. Jangankan motornya, seluruh hidupnya pun ia siap berikan untuk putra putri keluarga Ningtiyas. Ia sampai kapan pun tidak akan pernah lupa atas hal yang sudah dilakukan oleh ayahnya Huzam pada dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN