33. Babak Baru

1220 Kata
Huzam berjalan pelan menuju pelataran rumahnya. Hari ini Jaka berbaik hati mengantarnya setelah mereka banyak berbicara. Tidak ada lagi rasa tidak nyaman akibat kesalahpahaman. Keduanya kembali bersahabat seperti sedia kala.                “Kamu yakin, Zam? Nggak mau ke tempat lain aja?” Jaka sedikit prihatin dengan kondisi Huzam. Sekilas rumah yang sudah tiga bulan lebih itu ditinggalkan sahabatnya, masih tampak biasa. Tidak ada yang berbeda bahkan tampak jauh lebih terawat.                Huzam mengulas senyum. Sekarang, ia bahkan tidak takut apa-apa. Pulang ke rumahnya jelas bukan suatu perkara yang perlu ia khawatirkan.                “Mau masuk nggak?”                Jaka menggeleng. Bagaimanapun rumah itu pernah menjadi tempat pembunuhan. Meski belum jelas ujung kasus dari kejadian itu, tetap saja Jaka ngeri memikirkannya.                “Aku balik ya, Zam. Besok aku jemput jam delapan.”                Huzam mengangguk. Sabtu paginya mulai besok akan berbeda. Huzam pun melambaikan tangan. Ia biarkan Jaka meninggalkannya seorang diri. Huzam melanjutkan langkah. Ia merasakan seperti ada yang merawat rumah itu saat ia tak ada di sana. Tanaman tertata rapi. Lantai dan kaca tidak tampak kusam sama sekali. Huzam menarik napas dalam. Mau sesakit apa pun ingatan itu ia harus bertahan.                “Huzam!” seru seseorang dari samping rumahnya tepat saat Huzam hendak mengambil kunci di tempat biasanya.                “Pak ....”                “Saya Pak Darmo. Ketua RT,” terang Darmo. Ia mengulas senyum.                “Oh, ya, Pak. Maaf.”                “Ndak apa-apa. Anak muda mana ada yang kenal saya. Kamu sudah pulang?”                Huzam mengangguk. Apa mungkin Pak Darmo yang merawat rumahnya?                “Nyari ini?” tanya Pak Darmo setelah merogoh sesuatu dari saku celana.                “Bagaimana bisa?”                “Ini diterima dulu. Maaf kalau saya sama warga sekitar ada lancangnya. Kebetulan selama nak Huzam pergi, rumah ini dijaga warga. Beberapa juga bersih-bersih di sini, Zam.”                Huzam mengernyitkan kening. Sejak kapan warga desa peduli dengan keluarganya?                “Saya mewakili semua warga turut prihatin, Zam. Semoga kasusnya cepat selesai. Pelakunya ketangkep dan adik kamu ditemukan.”                Wajah Huzam berubah masam. Ia tak butuh ucapan seperti itu. Ia hanya betuh pembuktian. Namun, kebanyakan orang-orang hanya menyampaikan hal semacam itu saja. Baginya, itu tidak berpengaruh sama sekali.                “Nak Huzam tetap mau tinggal di sini?” tanya Darmo memastikan sekali lagi. Biasanya TKP semacam ini hanya akan ditinggalkan.                “Iya, Pak.”                “Ya sudah kalau begitu. Saya pamit, ya Nak Huzam. Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan bisa hubungi saya.”                Huzam mengangguk kecil. Ini jelas di luar kebiasaan Pak RT di wilayah tempatnya tinggal. Tidak mungkin mereka berubah baik jika tidak ada sebab yang pasti. Huzam membiarkan Pak Darmo pergi sampai benar-benar tidak terlihat dari tempatnya berdiri. Ia menghela napas sejenak, untuk kemudian membuka pintu rumahnya. Huzam tersentak. Semuanya masih tampak sama dan tersusun dengan rapi. Rumah ini benar-benar dirawat oleh seseorang.                ***                Sabtu pagi Jaka benar-benar datang. Ia tidak berani memasuki rumah Huzam dan hanya berteriak dari luar. Huzam, yang hampir semalaman hanya meratapi nasibnya terhuyung saat sadar ia ada janji dengan temannya. Gegas Huzam menyambar jaket.                “Bentar, Jak!” teriaknya dari dalam. Setidaknya ia harus membersihkan diri dulu sebelum memenuhi tugas penting hari ini.                “Nggak lama-lama. Aku merinding!” teriak Jaka lagi. Huzam tak menyahut. Ia sudah masuk ke kamar mandi yang ada di belakang rumah. Terpisah dengan bangunan utama. Huzam berusaha menepis bayangan ibunya yang tergeletak di lantai. Bersimbah darah dengan luka tikam di perut. Ia tepiskan semua kenangan pahit itu. Ia harus bisa agar kematian sang ibu tak sia-sia. “Lama amat!” gerutu Jaka saat melihat Huzam keluar dari rumah. “Kesiangan.” Jaka terperangah. Sudah jelas ada janji masih saja bangun siang. Ia juga sudah berusaha menghubungi tapi nomor Huzam tidak aktif. “Ayo buruan,” ujar Huzam. Ia tak sabar dengan tugas yang akan ia lakukan. “Mbonceng?” “Iya. Aku di belakang aja.” Huzam nyaman dengan posisi itu. Ia harus merenungkan banyak hal sebelum senin pagi sudah mulai mengikuti ujian. Pastinya ia akan bertemu dengan wali kelasnya yang selalu bersikap baik padanya. “Lewat depan aja, Jak. Ambil kiri.” Jaka pun menoleh. “Nggak salah? Sama aja muter, dong.” Huzam menepuk punggung Jaka. “Nurut lo.” Jaka pun mengangguk. Artinya mereka harus menempuh jalan memutar. Dengan begitu waktu yang dibutuhkan tentu menjadi lebih lama. Huzam menikmati posisinya di belakang. Tak lama lagi ia akan meninggalkan kota kecil ini. Kota yang masih kental akan kebudayaan meski namanya terkenal hingga mancanegara. “Berhenti dulu, Jak,” ujar Huzam saat mereka sampai di jalanan favoritnya. “Nggak salah? Janjian jam delapan loh.” “Bentar aja. Ambil sisi kiri.” Huzam menunjuk pinggiran sawah yang menghadap ke stupa Candi Borobudur.                Jaka lagi-lagi hanya bisa menuruti permintaan Huzam. Untuk sekarang ia tidak bisa berbuat banyak karena ia lah yang lebih membutuhkan keberadaan Huzam. Huzam pun turun dari motor Jaka. Ia mengamati bangunan megah di depannya. Empat bulan ia tidak melakukannya lagi karena harus berada di tempat lain. Satu fase kehidupan yang tidak pernah terpikirkan olehnya. “Di sini saja. Lebih aman, Pak.” Ziya menjadi orang pertama yang menyarankan hal itu. “Bu Ziya yakin?” Ziya mengangguk mantap. Setelah mengikuti perkembangan kesehatan Huzam juga mencari beberapa informasi melalui Pak Soni, mustahil kasus kematian Ningtiyas bisa diusut tuntas. Beberapa saksi berkata lain tidak sesuai keterangan yang diberikan Huzam. Ada beberapa benang lain yang nampaknya menjadi lebih kusut pasca pihak kepolisian menangani kasus itu. “Huzam. Bagaimana?” tanya Soni memastikan sekali lagi. Ada indikasi beberapa orang berniat menjadikan Huzam sebagai tersangka agar kasus itu bisa ditutup dengan baik. Huzam menatap wajah Ziya sebentar. Ia yang belum sempurna pulih dari traumanya tak bisa berpikir jernih. Ia sendiri masih cukup syok dengan kejadian yang menimpa keluarganya. Ia baru pulang setelah dirawat di rumah sakit kurang lebih satu minggu. “Sekolah tetap bisa jalan. Nanti ada orang pondok yang mengantar.” Ziya berusaha meyakinkan Soni sekaligus Huzam. Ia jamin pondok pesantren milik kakak iparnya bisa menjadi tempat tinggal Huzam untuk sementara waktu. “Baiknya saja bagaimana Bu. Saya ngikut.” “Baik kalau begitu. Saya minta buat orang pondok jemput sekarang.” Ziya sangat yakin dengan keputusannya. Ia bahkan meminta langsung kakak iparnya untuk menerima murid istimewanya itu. Ia selalu berusaha agar Huzam bisa menjalani kehidupan normal, minimal sampai remaja itu lulus sekolah. Itu janjinya. Huzam mendesah. Ia masih belum mengerti mengapa perempuan itu terus membantunya. Ia yakin di hari senin, perempuan itu juga akan menemuinya dan menanyakan banyak hal. Huzam menatap stupa Candi Borobudur itu. Kala senja di suatu waktu, ia juga menatapnya dengan perempuan itu berada di sampingnya. Huzam, untuk sementara waktu tak bisa memikirkan Ziya dan segala alasan perempuan itu membantunya. Huzam harus mencari tahu di mana Bintang dan menangkap pelaku pembunuhan sang ibu. Ia yakin di dunia ini hanya ada satu pelaku. Ia percaya yang bisa menangkapnya pun hanyalah dirinya. Ponsel Jaka bergetar. Nampak ia mengangkatnya dan bercakap lewat sambungan udara. Sudah pasti orang yang seharusnya mereka temui. Hari ini ia harus mengantarkan pesanan seperti dulu lagi. Ibu dan ayahnya bilang, tidak boleh salah tempat dan salah orang. Harus bertemu langsung dan diberikan tanpa perantara pada Pak Anggoro. Pria yang dulu harusnya ditemui oleh Jaka. “Ayo, Zam! Udah ditunggu!” Huzam mengangguk. Ia pandangi Arupadhatu sekali lagi. Ia sampaikan semua rindu yang kini tidak hanya untuk ayahnya melainkan sang ibu juga. Gegas Huzam menaiki motor Jaka. Babak baru kehidupannya sedang menunggu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN