“Langsung dalam aja, Zam,” ujar Jaka. Ia sudah mendapat izin dari satpam.
Huzam mengangguk. Pelan-pelan ia membawa kotak kayu yang disiapkan khusus oleh Jaka. Kali ini tidak besar seperti sebelumnya, melainkan hanya berbentuk persegi layaknya kotak kado yang sederhana.
“Ambil kanan.”
“Kanan?”
“Biasa lah. Namanya juga orang kaya, Zam. Bulan satu ke sini di vila A, bulan dua di B itu udah biasa.”
Huzam mengangguk lagi. Ia tidak begitu paham dengan maksud ucapan sahabatnya. Ia pun kembali berjalan. Kali ini di belakang Jaka.
“Siapa kalian?” sergah penjaga yang berdiri di dekat kawasan Pak Anggoro menginap. Jaka sedikit gugup tapi berusaha menepisnya.
“Ini, Pak.” Jaka menyerahkan secarik kertas yang diberikan oleh sang ayah.
Penjaga itu pun mengamati sejenak pesan itu. Sedikit ragu ia memperhatikan Jaka dan Huzam.
“Ya sudah,” jawabnya sambil mengedikan dagu ke arah dalam.
“Terima kasih, Pak.”
Jaka pun mendorong pintu yang lebih mirip dengan gerbang itu. Mereka bisa masuk tanpa pengawalan. Lagi baik Jaka maupun Huzam dibuat terpana dengan pemandangan di depannya. Huzam menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu kalau hotel-hotel di kawasan Borobudur ada yang sebagus ini.
“Ayo,” ujar Jaka. Huzam pun mengayunkan langkah.
Keduanya mulai berjalan. Hingga mereka baru sadar saat mulai memasuki area yang lebih dalam lagi. Sebuah kolam berukuran cukup lebar dengan pakaian berwarna hitam mengapung. Huzam dan Jaka saling melempar pandangan. Artinya....
“Buruan, Zam!” seru Jaka. Sigap Huzam menyerahkan kotak kayu itu pada Jaka. Tanpa berpikir panjang lagi ia melompat ke dalam kolam dan menarik seseorang yang mengapung di sana.
Pertolongan pertama Huzam dan Jaka berikan. Ia sebisa mungkin harus menolong nyawa orang yang tenggelam tadi. Harapan keduanya, mereka tidak terlambat.
“Bagaimana, Zam?” tanya Jaka dalam kepanikannya.
“Panggil penjaga di depan.”
Jaka pun mengangguk. Ia meletakkan kotak kayu itu di sisi tubuh pria yang tenggelam ini. Gegas ia berlari kembali menuju gerbang depan. Huzam terus berusaha. Sebodoh-bodohnya ia di sekolah, ia pernah tergabung dalam klub arung jeram. Ia paham akan hal-hal semacam ini.
“Tolong, kembalilah. Tolong jangan menyerah,” lirih Huzam. Ia teringat bagaimana ia gagal menyelamatkan sang ibu. Ia tidak ingin peristiwa semacam itu terulang lagi. Huzam terus melakukannya.
Jaka kembali dengan perasaan semakin tidak pasti. Di depan, pintu yang lebih mirip dengan gerbang tadi sudah dikunci dari luar. Meski sudah menggedor dengan keras, tetap tidak ada respons. Jaka menganggap ini sebuah jebakan.
“Penjaga kabur, Zam. Nggak ada orang di sana.” Huzam pun menoleh. Itu terdengar cukup aneh.
“Bagaimana ini?” tanya Jaka khawatir.
Huzam juga ikutan panik tapi ia sedang melakukan penyelamatan. Kali ini Huzam semakin berusaha. Ia tidak akan menyerah sampai nyawa laki-laki di depannya tertolong. Akhirnya ia benar-benar melakukan penyelamatan terbaik sesuai dengan prosedur yang biasa dilakukan.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Pria yang sudah mengapung itu pun kembali. Huzam dan Jaka bernapa lega. Mereka berhasil menyelematkannya.
“Bapak tidak apa-apa?” tanya Huzam cukup panik. Wajah pria tersebut tampak pucat.
Pria itu pun mengangguk. “Terima kasih, terima kasih sudah menyelamatkan saya.”
Huzam dan Jaka mengukir selarik senyum. Mereka ikut lega saat kata itu meluncur dari pria tersebut.
“Sama-sama, Pak.”
Huzam dan Jaka saling melempar pandang. Mereka sudah pasti tak bisa kembali dari hotel mewah ini jika ternyata harus menjadi saksi tenggelamnya seorang pria berusia sekitar lima puluh tahunan. Huzam mngusap keningnya. Bulir-bulir keringat mengucur di sana. Ia cukup lelah.
“Bapak tidak apa-apa?” seru laki-laki lain yang tergopoh datang. Wajahnya tak hanya panik melainkan sudah pucat pasi.
“Nggak apa-apa. Aman. Bantu saya berdiri.”
Sigap pria berkaos hitam berkerah itu membantu pria yang hampir tenggelam berdiri. Ia berusaha menatihnya.
“Minta mereka masuk,” ujar pria itu.
“Baik, Pak.” Sambil membantu atasannya, pria berkaos hitam berkerah itu meminta Huzam dan Jaka mengikutinya. Baik Huzam maupun Jaka tidak begitu yakin, tapi akhirnya mereka melangkah juga. Tak lupa Jaka membawa serta kotak kayu titipan ayahnya.
Apa yang tampak di luar dan dikagumi oleh Huzam, rupanya belum seberapa dibandingkan dengan yang ada di dalam. Huzam dibuat takjub lagi dengan interior desain yang ada di tempat penginapan itu. Sungguh, Huzam tidak pernah tahu jika ada yang seperti ini. Huzam dan Jaka berdiri mematung di tengah-tengah ruangan. Mereka tidak paham harus bagaimana.
“Minta mereka duduk,” ujar pria yang selamat dari tenggelemnya itu.
“Baik, Pak,” jawab pria berkaos hitam berkerah patuh.
Jaka dan Huzam sebenarnya mendengar perintah itu, tapi mereka masih mengamati. Suasana di sini cukup menegangkan.
“Kalian silakan tunggu di sini.”
“Baik, Pak.”
Huzam dan Jaka pun menduduki sofa yang jelas tidak pernah mereka coba sebelumnya. Lagi, Huzam mengedarkan pandang. Ia selalu penasaran seperti apa rasanya tinggal di tempat semacam ini dengan segala kemewahan. Akankah kehidupannya berbeda dari sekarang? Mungkinkah ia tidak perlu mengalami hal-hal mengerikan nan menyedihkan? Huzam menarik garis bibir. Terasa konyol saat ia menertawai takdir.
Jaka mengusap-usap kotak kayu. Huzam, temannya selalu baik pada siapa saja. Huzam tak peduli apakah ia kenal atau tidak dengan orang tadi, tapi Huzam sigap menolong. Jaka ingat betul pesan khusus dari orang tuanya. Kalau bisa ia menjauh dari sahabatnya. Orang tuanya tidak suka apalagi setelah ia dikeroyok geng motor. Namun, semua itu jelas bukan salah Huzam. Jaka dirundung dilema. Haruskah ia benar-benar melakukan pesan sang ayah atau cukup berpura melakukannya saja.
“Ada apa?” tanya Huzam saat Jaka tertangkap basah mengamatinya.
Jaka menggeleng. Ia meyakinkan diri agar membatalkan misi rahasia yang tidak diceritakan pada Huzam. Ia seharusnya menjadi salah satu orang yang ikut andil dalam kejadian hari ini.
“Nggak apa-apa.”
Kening Huzam berkerut. Cukup aneh saat Jaka seperti itu. Ia pun menunduk hingga matanya bersirobok pada kotak kayu. Ia teringat akan pesan Jaka kemarin siang.
“Kita berikan saja apa adanya.”
Huzam mengernyit. “Gagal?”
“Aku nggak tega sama bapak-bapak tadi. Aku nggak mau mencuri.”
Huzam cukup kecewa. Mereka bahkan sudah menukar dengan barang lain. Namun, Jaka justru berubah pikiran.
“Uangnya tetap aku kasih, Zam. Kita berikan yang asli saja.”
Huzam merasa dibodohi. Mengapa Jaka membatalkan niat awal di saat-saat terakhir. Segala sesuatunya menjadi tidak menyenangkan.
“Kasihan bapaknya udah kelihatan tua.”
Huzam pun terkekeh. Jaka selalu polos seperti biasa. “Ya udah baiknya menurutmu aja, Jak.”
Jaka mengangguk. Ia membuka kotak kayu yang seharusnya tersegel itu. Tak lupa mengambil yang asli dari saku celananya. Tanpa merasa bersalah sama sekali ia menukarnya.
“Aman,” ujarnya senang.
Huzam pun menggeleng. Ia sendiri tidak terlibat pada isi barang. Ia hanya bertugas menemani dan mendapatkan uang dari Jaka. Jika ada barang berharga yang nantinya bisa menjadi uang lagi, jelas itu jatuhnya bonus. Jaka tersenyum miris. Kadang, ia memang geram dengan orang tuanya. Hampir saja ia menempatkan sahabatnya sendiri pada mara bahaya. Ia diminta menuduh Huzam melakukan pencurian. Sungguh, skenario yang cukup buruk.
Sementara di tempat khusus, dua pria tengah mengamati pergerakan remaja di ruang tamunya. Seperti dugaannya ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Mana yang anaknya pengirim barang?” tanya Anggoro pada Arbrito—pengawalnya.
“Itu, Pak. Yang membawa kotak kayu.”
“Berarti yang menyelamatkan saya temannya?”
Arbrito mengangguk. Seingatnya dulu, anak dari pengirim barang juga mengantar kain bersama teman yang sama.
“Licik persis ayahnya.”
Arbrito tak berani menimpali. Ia hanya berdiri tegap sambil menunggu instruksi.
“Lakukan jual beli seperti biasa. Setelahnya tolong bawa anak ini lagi. Dia layak mendapat hadiah karena menolong saya.”
“Baik, Pak.” Arbrito berjalan keluar dari kamar atasannya. Ia tidak akan membantah perintah Anggoro. Ia juga tidak mempertanyakan alasan yang melatarbelakangi perintah tadi.
Anggoro kembali mengamati monitor. Tampak ia tertarik dengan remaja yang menyelamatkannya tadi. Ia tahu ini hanya sebuah opera untuk menemukan orang yang tepat, dan ia rasa ia sudah mendapatkannya.
“Huzam,” lirihnya.