“Valerie … ayo sarapan, Sayang.”
Val yang sedang menyisir rambutnya mengernyit mendengar panggilan mamanya. Rasanya aneh mendengar Mama memanggilnya semanis itu. Tidak seperti biasanya, menggunakan nada yang membuat Mariah Carey minder.
“Valerie … nanti kamu terlambat. Cepat turun!”
Panggilan Mama terdengar lagi. Begitu menggesa. Tumben. Biasanya juga dia berangkat tanpa sarapan Mama oke-oke saja. Val mempercepat sisirannya pada rambut. Meski dia sedang dalam mode tidak enak, penampilan tidak boleh memperlihatkan suasana hatinya. Val menatap pantulan wajahnya di dalam cermin. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
Gio bilang sewaktu dalam perjalanan kembali ke rumah kemarin, dia tidak akan menyentuh Val sampai Val sendiri yang meminta. Hhh, mimpi aja terus! Mana mungkin Val meminta duluan. Sampai mati pun Val akan mempertahankan diri. Biar saja Gio terus menunggu dan berharap, Val sudah terlanjur muak pada lelaki itu.
Merenggut kegadisannya begitu saja, menghancurkan masa depannya, dan memutus kemungkinan dia bakal bisa mendapatkan kebahagiaan dengan orang yang dia sukai. Mana bisa Val memaafkan begitu saja perbuatan Gio dan teman-temannya. Bagaimana dia harus menjelaskan pada orang yang kelak bakal menjadi suaminya kalau dia sudah nggak perawan? Mengingat hal-hal seperti itu membuat rasa sakit di dadanya kembali hadir.
Val menutup mata dan mengatur napasnya.
“Semua akan baik-baik saja hari ini, Valerie. Kamu kuat. Kamu bisa. Selama nggak ada orang yang tahu, kamu aman. Cuma Gio yang harus kamu waspadai,” katanya lirih pada diri sendiri. Dia melirik clutch bag berisikan peralatan perangnya. Hari ini dia merasa tidak perlu membawanya.
Val tersenyum pada cermin lalu mengembuskan napas cepat. Dia siap menjalani hari dengan pura-pura baik-baik saja.
Dituruninya anak tangga seperti biasa. Cepat dan menghentak.
“Hati-hati turun tangganya, Sayang. Nanti kamu tergelincir.”
“Tiap hari juga Val turunnya begini. Mama tumben banget bersikap manis kayak gini,” katanya tanpa memperhatikan siapa-siapa saja yang duduk melingkari meja makan. Pandangannya fokus ke dalam tasnya untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
Mama terkekeh gelisah. Menyebalkan sekali kedengarannya. Setahu Val Mama tidak ikut perkumpulan arisan ibu-ibu sosialita yang gemar bersikap pura-pura. Dan sekarang Mama terdengar seperti itu. Aneh sekali.
“Kamu, kok ngomongnya sembarangan. Mama, kan selalu bersikap manis sama kamu.”
“Udah, ah. Mama abis kesambet apa, sih?” tanya Val sambil duduk dan mengambil roti di atas meja. “Papa semalam kasih Mama apaan sampai aneh gini?” Val mengangkat wajah dan memandang Papa yang tersenyum lebar di hadapannya.
Dengan wajah cerah Papa mengolesi rotinya dengan selai. Tapi bukan itu fokus Val. Di sebelah Papa ada adiknya. Lantas siapa lelaki yang duduk di sebelahnya?
Val menoleh perlahan ke sisi kirinya. Pada lelaki dengan kemeja dan dasi yang sedang menghirup minuman dari cangkir. Terlihat nikmat dan menyebalkan.
Hampir saja Val terjatuh dari kursi saking kagetnya. Tak menduga akan melihat lelaki menjengkelkan ini sepagi ini. Di awal hari yang dia harapkan baik-baik saja.
“Lu ..., lu …, kenapa lu ada di sini?”
Val mendengar Mama terkekeh sok manis. “Ya tentu buat jemput kamu ke sekolah, Sayang. Kata Nak Gio, mulai sekarang kamu pergi dan pulang nggak boleh sendirian lagi. Dia takut terjadi apa-apa padamu. Manis sekali, kan?”
Val mendesah frustasi. Lelaki menjengkelkan ini sudah mulai mengatur hidupnya! Diantar jemput setiap hari? Yang benar saja! Dipandanginya lelaki yang tidak mengalihkan perhatiannya dari cangkir minumnya.
Merasa dipandangi dengan tatapan jutek oleh Val, Gio menoleh dan tersenyum manis sekali. Val menyipitkan mata, meminta penjelasan apa maksud perbuatannya. Val pikir, setelah dia bilang tidak akan menyentuhnya, itu artinya dia akan sedikit menjauh dan membiarkan Val sendirian. Ternyata Gio punya cara untuk menjeratnya. Ah, tentu saja …. Pemangsa mana mau melepas buruannya. Iya, kan?
“Cepat habiskan sarapannya. Abis antar kamu aku langsung ke kantor. Aku juga nggak mau terlambat.” Gio tersenyum pada Val, tapi nada suaranya penuh ancaman. Membuat Val ingin menyiramkan gelas susunya ke wajah tampan Gio.
“Oh, iya.” Gio mengambil sesuatu dari saku kemejanya. “Ini. Pakai ini mulai sekarang. Aku nggak mau ada alesan lobet lagi. Nomerku sudah ada di situ. Angkat setiap kali aku menghubungi. Oke?” Gio meletakkan ponsel terbaru di atas meja. Membuat mata Vano membelalak seketika.
Mata Val memicing. Dan sekarang telekomunikasinya mulai dibatasi?
“Ponselku masih bagus, kok,” tolaknya tanpa menyentuh ponsel yang disodorkan Gio.
“Ponsel kamu itu sudah sering lowbet, Sayang. Sudah ambil saja. Gio benar, kamu itu susah sekali dihubungi. Jangan sampai bikik khawatir orang-orang yang menyayangimu, Val.” Mama menyentuh bahu Valerie.
Seandainya Mama tahu, yang Val lakukan sekarang karena tidak mau membuat mamanya khawatir. Tetapi pengorbanannya terlalu besar. Val harus menukarnya dengan kebebasan yang dia miliki.
“Kalau Kakak nggak mau, buat aku saja!” teriak Vano. Mama langsung mendelik.
“Nanti aku belikan buat kamu, asalkan kakakmu ini mau menerima ponsel yang aku berikan,” kata Gio membuat Vano tersenyum makin lebar. Tentu saja Vano langsung membujuk dan mengancam Val.
“Sudah, Kak terima saja. Atau rahasia Kakak yang itu aku bocorkan!”
Apa? Bahkan kini adiknya sudah mulai mengancamnya? Memang pandai sekali Gio mengambil hati orang. Val mengetatkan gerahamnya menahan kesal.
“Oh, ada rahasia di antara kalian? Mau tahu, dong!” kata Gio mencondongkan tubuh ke depan Vano.
Buru-buru Val mengambil ponsel dari meja dan memasukkannya ke dalam tas. “Nggak ada rahasia! Itu akal-akalan Vano aja,” katanya sambil meneguk milonya. Lalu Val berdiri dan mencium tangan dan pipi mamanya. Dia memutari meja dan melakukan hal yang sama pada Papa. Terlalu lama di sini bakal semakin banyak Gio memegang rahasianya.
Kemudian berdiri di sebelah Gio. “Katanya nggak mau terlambat. Ayo cepat kita pergi,” katanya tanpa senyum
Melihat tingkah Val Gio tersenyum dan bangkit dari meja. Melangkah ke arah Mama dan mencium punggung tangan perempuan itu.
“Maafin Val, ya. Dia masih kekanakkan. Mungkin karena terlalu dimanja.”
“Nggak papa, Ma. Saya suka, kok, cewek manja.”
Milo di perut Val langsung berkontraksi. Bikin Val pengen mengeluarkan isi perutnya sekarang juga. Dengan ujung matanya dia melihat Gio yang melangkah ke arah Papa dan mencium punggung tangannya juga. What the ….!!! Yang benar saja, Papa itu, kan bawahannya Gio!
“Yang sabar, ya, Pak Gio. Anak kami memang begitu sifatnya.”
“Dia masih malu untuk menunjukkan perasaannya. Kalau kami sedang berdua dia manis sekali, kok, Pa. Tenang saja, Gio akan kasih perhatian lebih banyak lagi untuk dia supaya percaya dirinya meningkat.”
Hhhhh, Val benar-benar ingin mencabik-cabik mulut lelaki itu. Kata-katanya bikin tekanan darah Val melonjak tajam. Sekuat tenaga Val berusaha menahan diri agar dia tidak meledak dan memukuli kepala Gio supaya otak warasnya kembali.
“Vano, aku pergi dulu, ya … Dah, Mama, Papa!” pamit Gio lalu meraih tangan Val untuk digenggam. Tentu saja Val menolak dan berusaha melepaskan diri.
“Nggak usah malu, Papa sama Mama, kan sudah tahu dan kasih restu. Yuk, aku anter ke sekolah,” ajaknya sambil menggenggam erat jemari Val dan menariknya.
Val meringis merasakan betapa kuatnya genggaman Gio. Lelaki ini … mulutnya saja yang manis. Wajahnya saja yang tampan. Tapi kelakuannya … sungguh berengsek! []
================
©elopurs – 2021