9-Posesif

1175 Kata
“Valerie!” panggil Gio ketika dilihatnya Valerie berlari menjauh begitu mobil berhenti di depan sekolah.   Gadis itu pura-pura tidak dengar.   “Awas, ya!” kata Gio sembari menekan sebuah nomor di ponselnya.   Valerie yang sedang berjalan menuju kelasnya terkejut ketika lagu Doraemon mengalun dari dalam tasnya. Semua mata yang berada di sekitarnya memandangnya sambil terkikik.   “Sialan Gio. Dia pikir aku anak teka apa dikasih ring tone doraemon? Berengsek emang. Mana kudu dijawab lagi! Apaan, sih?” kata Val sambil memandang sengit nama yang tertera di layar ponsel. ‘Pacarku.’   “Apa lagi?” tanya Val ketus ketika ponselnya tersambung.   “Kembali ke mobil. Sekarang juga!” katanya tajam.   Arrghhh!! Memang Gio kurang ajar. Mau dia, tu apa, sih sebenarnya? Val pikir dia bisa sedikit menghirup udara kebebasan ketika sudah tiba di sekolah. Tapi Gio seperti enggan melepas Val. Dengan malas bercampur kesal, Val membalikkan tubuh dan berjalan ke arah mobil Gio terparkir.   “Apa?” tanyanya ketika dia berdiri di depan lelaki itu. Gio tersenyum mengejek dengan tubuh bersandar di badan mobil. Kedua tangannya terlipat di depan d**a.   Val melihat ke sekeliling. Dia baru menyadari kalau sedari tadi anak perempuannya memperhatikan Gio, mereka saling berbisik dan menunjuk dengan tatapannya. Ada beberapa kata yang tertangkap telinga Val. Seperti …   “Siapa itu ganteng banget?”   “Nggak mungkin pacarnya Val, kan? Apa nggak ketuaan? Tapi ganteng banget, sih. Hot. Dewasa.”   “Coba ada anak sekolah ini kayak dia, ya.”   Sementara anak-anak cowoknya menatap sinis pada Gio. Merasa tersaingi barangkali. Lagipula, aura Gio dan anak SMA jelas beda. Gio lebih dewasa dan tubuhnya lebih …. argghhh! Tiba-tiba Val terbayang lagi d**a Gio yang kotak-kotak.   “Apa? Cepetan! Gue nggak mau jadi perhatian orang!” Val kembali pada modenya ber-lu gue sama Gio. Kalau di depan mamanya, dia tidak berani melakukan itu. Nggak enak sama Papa. Gimana gimana juga, Gio itu bosnya Papa.   Gio tersenyum miring. Lalu menyodorkan tangan kanannya ke arah Val.   Kening Val berkerut. Apa maksudnya coba? Dia memandang Gio minta petunjuk. Kayak lagi ke dukun aja minta petunjuk.   “Cium tangan dulu sama pacar,” kata Gio kalem. Rasanya Val ingin dibawa ke UGD sekarang juga. Atau kalau bisa dia pengen mencekik Gio, menampar bolak balik, memutilasi, menginjak-injak, dan membuang tubuhnya ke laut lepas biar dimakan hiu. Sebel!   “Ayo cepat! Kalau nggak cium nanti gue nggak mau pergi!” ancamnya.   Val semakin merapatkan gerahamnya. Gio benar-benar keterlaluan. Dengan ulahnya ini, seolah memberikan pengumuman ke seantero sekolah kalau Val sudah ada yang punya dan nggak ada yang boleh mengganggunya.   Gio berengsek! Dasar kadal Asgard! Kutu gurun! Sempak basah!   Tapi tentu saja kemarahan itu hanya ada dalam kepalanya saja. Val tidak bisa berbuat apa-apa jika berhadapan dengan lelaki ganteng dan menyebalkan ini. Dengan buru-buru, Val meraih tangan Gio dan menciumnya. Lalu membalikkan badan dan berlari. Malu.   “Nanti pulang sekolah gue jemput, ya, Beb!”   Masih terdengar suara Gio di belakangnya.   Beb? Tuhan, bisa nggak hari ini sekolah mendadak libur? Ada gempa bumi, kek. Kejatuhan meteor, kek. Atau hal seabsurd, hujan batu misalnya. Apa saja yang penting dia nggak ada di sekolah ini hari ini. Sungguh Val malu keluar pada jam istirahat nanti. Pasti anak satu sekolah sudah mulai menggunjing sekarang.   “Itu cowok yang sama yang waktu itu nyariin elu, kan?” Ika menepuk bahunya dan mensejajari langkah Val ke dalam kelas. “Kok, kalian mesra banget pake cium tangan segala kayak penganten baru aja. Katanya dia bukan siapa-siapa elu.” Ika merasa tak enak karena Val tidak jujur padanya.   “Dia emang bukan siapa-siapa gue,” kata Val sambil mengempaskan diri ke bangku. Dilihatnya Sarah memasuki kelas. “Duduk sebelah gue kalau mau tahu ceritanya.” Perintah Val.   Demi gosip super hot dari tangan pertama, narasumber langsung, tentu saja Ika mau. Dia mengusir Sarah yang baru datang dan menyurh gadis itu duduk di kursi seberang kanan.   “Jadi, jadi, siapa dia? Kayaknya beda jauh umurnya sama kita,” tanya Ika sambil menopang kepalanya menghadap ke Val.   “Atasan bokap gue,” sahut Val malas. “Pemilik perusahaan tempat bokap kerja.”   Ika langsung menegakkan tubuhnya. Dia tahu di mana ayahnya Val bekerja. “Wah tajir, dong! Terus apa hubungannya sama elu? Kalian dijodohin?”   Val termenung. Nggak mungkin dia membuat alasan kalau hubungan mereka diawali dengan perkosaan dan saat ini dia cuma jadi b***k Gio karena kartu AS-nya dipegang lelaki itu.   “Seperti itulah. Gio meminta ama bokap buat pacaran ama gue. Tapi gue nggak mau. Gue nggak punya perasaan sama dia,” keluh Val. Kecuali perasaan benci, Val tidak punya perasaan lain pada lelaki itu.   Sahabatnya ini terlihat tidak percaya dengan perkataan Valerie. Dirabanya kening Val dan disamakannya dengan derajat panas keningnya.   “Sejak kenal elu pertama kali, gue tahu kalau elu tuh beda. Tapi gue nggak nyangka kalau elu, tu buta. Itu cowok se hot itu lu tolak? Gila! Buat gue aja sini!”   Val memutar bola matanya. Kebiasan yang dia lakukan kalau ada sesuatu yang di luar logikanya terjadi di sekitar dia. “Kalau dia mau, silakan aja, Ka,” kata Val lesu. Seandainya semudah itu. Yang dia alami saat ini, Gio malah semakin berusaha membuatnya nggak bergerak.   “Asal lu tau aja, dia over protektif! Nih!” Val meletakkan ponsel pemberian Gio di meja. “Ponsel khusus untuk menghubungi dia. Nggak boleh diabaikan. Nggak boleh dimatikan dan setiap dia chat atau nelpon harus dibalas dan diangkat. Berangkat sekolah diantar, pulang sekolah dijemput. Emang enak?”   Ika mengambil ponsel baru Val dan mengaguminya. “Wah beruntung banget lu dicintai segede itu sama cowok seganteng dia.”   Nggak salah denger? Beruntung katanya? Val menggeleng dan mengaktifkan mode silent ponselnya karena bel sudah berbunyi. Namun lampu menyala ketika dia hendak memasukkan ponsel ke tas bagian bawah. Gio menelepon.   “Apa?” tanya Val ketus. Ika yang tahu panggilan itu dari mana langsung menempelkan kupingnya di kuping Val.   “Kenapa kamu nggak ngasih tahu kalau sudah di kelas?” tanya Gio.   Hih, pentiing ya? “Nggak sempat. Udah, ya. Gurunya udah datang. Ponsel gue silent.”   “Telepon gue kalau udah jam istirahat. Video call, jangan chat! Kalau enggak, gue dateng ke sekolah,” ancam Gio. Dan Val percaya Gio bukan sekadar menggertak. Dia akan melaksanakan ancamannya jika Val tidak menurut.   Tanpa menjawab, Val mematikan ponsel dan meletakkannya di dasar tas. Menumpuknya dengan buku-buku dan memasukkannya ke laci.   “Awas HP lu pecah, Val. Hati-hati.” Ika meringis ketika melihat sahabatnya uring-uringan begini.   “Nggak bakal miskin dia kalau harus ngebeliin gue HP satu lagi,” kata Val sebel.   Ika makin meringis. Sebenarnya dia iri dengan nasib sahabatnya. Dicintai lelaki setampan dan setajir Gio. Aneh banget kalau Val malah terkesan membencinya.   Sementara Sarah yang sedari tadi menguping, tidak berani mengatakan apa-apa atau bahkan bergabung dengan pembicaraan mereka. Dia masih merasa kalau Val marah padanya setelah malam itu. Sarah merasa jika ada sesuatu yang terjadi pada saat dia meninggalkan Val sendirian di ujung jalan. Sesuatu yang sudah mengubah perasaan Val setiap melihatnya. Termasuk ketika dia masuk tadi.   Sarah tahu kalau Val enggan duduk dengannya lagi. []    ================ ©elopurs – 2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN