Kondom. Tisu. Celana dalam ganti. Handuk kecil. Panty liner. Pembersih kewanitaan.
Done!
Val mengecek lagi peralatan perangnya dan mencoba mengingat-ingat apa lagi yang kurang.
Meski ia sangat ingin menghindar dari keharusan melayani Gio, Val tetap merasa perlu bersiap-siap. Terutama kondom. Val tahu, seks sembarangan bisa mengakibatkan hamil sebelum waktunya. Val tidak mau itu terjadi. Meski ia juga tidak bisa memastikan apakah kejadian malam itu telah membuat satu dua spermaa khilaf lalu mereka bercinta di rahimnya? Jika sampai ia hamil, apa yang harus ia lakukan? Val belum berpikir sejauh itu. Ia hanya berdoa tak satu pun spermaa bertemu ovum dan mereka akan mati dalam lima hari.
"Val! Ini masih pagi! Makan rotimu, bukannya tape ketan. Nanti kamu sakit perut, Val!"
"Enggak, Ma. Perut Val kuat. Lagian kayaknya seger makan tape pagi-pagi. Apalagi kalau ada es krim."
"Kamu kayak orang ngidam, deh. Sudah panggil Papa sana. Bilang nanti keburu roti bakar dan kopinya dingin. Kamu mau minum apa, Val?"
"Milo aja, Ma," jawabnya sambil mengoleskan tape ketan ke roti bakar. Mama geleng-geleng melihat kelakuan Valerie. Anak perempuannya memang memiliki selera makan yang tidak biasa.
Mama pernah dibuat senewen oleh Val ketika ia makan nasi disiram teh panas. Alasannya karena Mama tidak masak sayur berkuah hari itu. Padahal ia sedang sungguh-sungguh ingin sesuatu yang panas dan berkuah. Ketika Mama tanya, apa rasanya? Val hanya menjawab, enak. Wangi teh.
"Pa. Papa. Ditunggu Mama di bawah. Sarapan sudah siap nanti keburu dingin." Val mengetuk pintu kamar orang tuanya. Ia mendengar langkah kaki mendekati pintu.
"Sebentar lagi Papa turun," kata Papa ketika pintu terbuka. Wajahnya terlihat bingung.
"Kenapa, Pa?"
"Engg, coba kamu panggil Mama sebentar. Ada yang mau Papa tanyakan." Val mengangkat bahu dan bergegas menemui Mama. Ia mencium sesuatu yang tidak beres.
"Ma, disuruh Papa naik. Val pergi duluan, ya. Ada janji ngecek tugas sama Ika." Val mencium tangan Mamanya.
"Habiskan dulu milomu. Mama mau keatas dulu. Vano! Habiskan susumu. Jangan dibuang!" Mama melotot pada Vano, adik Val. Ia memang suka membuang susunya. Vano kesal, karena setiap pagi harus minum s**u sebagai ganti sarapan. Padahal ia tak merasa lapar atau haus sama sekali.
Val berlari-lari kecil pergi dari rumah. Setelah agak jauh baru ia berhenti untuk mengatur napas. Walau Mama dan Papa tidak mungkin mengejarnya, Val tetap menoleh ke belakang untuk memastikan. Tangannya membuka risleting tas dan mengecek kembali semua peralatan perangnya. Terutama kondom yang ia curi dari kotak P3K di kamar mandi orang tuanya tadi pagi sewaktu mereka berdua joging. Papa pasti sedang kebingungan kenapa kondomnya hilang satu. Lagipula siapa suruh meletakkan benda sepenting itu berserakan begitu saja di kotak P3K?
Val sudah bertekad, jika memang ia harus melayani Gio siang ini, ia harus bisa memaksa Gio menggunakan kondom. Ia tidak mau menanggung resiko hamil atau tertular penyakit kelamin. Gio pasti sering berganti-ganti pasangan bercinta. Semalam Val mencari informasi sebanyak mungkin di google tentang kehamilan dan juga penyakit kelamin.
Ah, membayangkan ia berduaan di kamar hanya dengan Gio membuat Val kembali gelisah.
Sesampainya di sekolah, Val menarik tangan Ika dan mengajaknya mojok di kelas.
"Lu kudu, musti, harus bantu gue!"
"Apaan, sih, Val? Tugas akuntansi dah bikin belum?"
"Dah beres."
"Sini pinjem, gue mo nyamain jawaban."
"Entar dulu. Gue mo minta tolong, Ka. Penting." Val membesarkan bola matanya. Tanda Ika harus memperhatikan dirinya.
"Oke. Gue dengerin. Cepetan."
"Ka, nanti siang, kalau ada cowok nyariin gue, lu bilang sama dia kalau gue udah pulang duluan karena ..., Karena ... Apa, ya?" Val berusaha mencari alasan yang benar-benar tak terbantahkan. Seolah memang ia harus pulang dan itu mendesak. Bukan karena sengaja menghindari Gio.
"Kenapa? Sakit?"
"Terlalu mengada-ada, nggak, sih menurut, lu?"
"Lagian siapa, sih cowok yang bakal nyariin elu? Kok lu nggak pernah cerita sama kita?"
"Karena dia nggak penting. Dan gue sebenernya nggak mau berurusan sama dia."
"Sejak kapan? Kapan lu ketemu sama ni cowok?"
"Sejak hari ini gue nggak mau ketemu dia. Dan nggak tau kapan tepatnya gue ketemu dia." Val bergidik. Bayangan malam itu kembali melintas. Wajahnya kembali sendu. Terluka.
"Val, lu yakin gak ada yang mau diceritain ke kita? Ke gue?"
Val menggeleng. Ia mendesah.
"Nggak sekarang, Ka. Sekarang gue minta lu tolongin gue menghindar dari cowok ini. Pleaseee."
"Siapa namanya?"
"Gio."
"Dan dia siapanya elu?"
"Bukan siapa-siapa gue."
***
"Apa? Sudah pulang!?"
Suara keras Gio membuat beberapa siswa yang melintas memandangi Gio dengan tatapan ingin tahu.
"Hapenya lobet. Val minta gue buat nyampein ke ... Om."
"Eh, bocah, gue bukan om-om, ya. Umur gue cuma beberapa taun di atas lu! Sekarang lu ngomong jujur sama gue, di mana Valerie?"
Mendengar suara kasar Gio, Ika terpancing emosinya. Tangannya berkacak pinggang.
"Lagian punya muka boros banget. Lu emang cocok dipanggil om! Mana selera parfum lu norak amat, ya?" Ika mengembang-kempiskan hidungnya. Seperti ada aroma mengganggu ketika Gio juga balas berkacak pinggang.
"Kenapa parfum gue? Ini parfum mahal tau! Uang jajan lu aja kalo dikumpulin selama setahun belum tentu bisa ngebeli ni parfum."
"Lu yakin ini wangi parfum? Bukan bau ketek lu? Atau mungkin bau mulut lu yang kudu dicuci pake rinso campur bayclin. Biar rada bersih omongannya."
"Kurang ajar ni bocah! Kalo bukan cewek ingusan udah gue hajar dari tadi."
"Kalau mau hajar, hajar aja. Nggak usah ngeliat gue cewek atau umur gue. Cowok kayak lu, mah, ngomong doang yang gede. Nyali ciut. Beraninya ngancam. Lu pasti pake jurus ngancam juga ke Val, kan? Huh, dasar cemen!"
Gio mengepalkan kedua tangannya di samping badan. Ia harus tetap menjaga emosi dan kesadarannya. Beberapa siswa sudah mulai berhenti dan memperhatikan keributan mereka berdua. Gio melayangkan pandang ke sekitaran sekolah. Ia yakin Val sedang bersembunyi di suatu tempat. Sejak pagi ia sudah berkeliaran di sekitar sekolah Val dan ia yakin betul jika Val belum pulang. Gio mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
"Udah gue bilang ponselnya lobet," kata Ika kalem.
Gio mendengus kesal dan masuk sambil membanting pintu mobil. Ia pergi meninggalkan Ika yang diam-diam mengembuskan napas lega.
Di salah satu sudut sekolah, Val merasa waktu berjalan terlalu lambat. Ia bergerak-gerak gelisah menunggu kedatangan kabar dari Ika. Ia mendekap tasnya erat-erat. Jika rencana berhasil, peralatan perangnya tak perlu digunakan hari ini.
***
"Sudah kuduga lu belum pulang. Cepat masuk, sebelum gue seret paksa!"
Ap-apa?
Val begitu terkejut sehingga tak bereaksi saat Gio menarik sikunya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil.
"Sekali lagi lu ngerjain gue kayak gini, video dan foto lu bakal terpasang di i********:!"
"Foto?"
"Iya, foto. Lu pikir gue cuma punya video doang. Gue juga punya foto lu lagi maen sama Stephen dan Argus. Ya agak buram, sih tapi cukup jelas untuk memastikan kalau itu lu." Gio tersenyum sinis sambil menyalakan mesin mobil.
Val memandangi Gio dengan tatapan tak percaya. Pemuda ini begitu menyebalkan. Sempat-sempatnya ia mengabadikan banyak hal di saat mabuk. Sesuatu di dalam perutnya mendesak ingin keluar. Mulutnya kering mendadak. Val memandangi Gio dengan kebencian meluap. Ia tak percaya harus berurusan dengan pemuda sekejam Gio.
"Lu belum makan siang, kan? Kita isi perut dulu. Gue nggak mau ntar lu pingsan karena kelaperan. Olahraga kasur itu perlu energi cukup besar."
"Gue nggak laper."
"Turun ajalah dulu. Kalau nyium aroma makanan pasti perut lu nggak nolak."
Gio memberhentikan mobilnya di pelataran kafe yang cukup terkenal di Bogor. Ia membuka pintu di sisi Val dan menariknya turun. Val menepiskan tangan Gio dan pasang muka super jutek.
"Gue bisa jalan sendiri," katanya sambil mendekap tasnya erat-erat.
"Serah, lu."
Gio berjalan mendahului Val, bertanya sesuatu pada petugas yang menyambut di pintu masuk lalu memberi tanda ke arah Val. Menunjukkan kalau ia datang berdua. Seorang pelayan perempuan dengan rok super mini berjalan memandu mereka. Ia berhenti di sebuah sofa nyaman yang berada di pinggir taman dalam yang sejuk dan mempersilahkan mereka berdua duduk. Dua buah daftar menu diletakkan di hadapan mereka berdua. Pelayan itu mengeluarkan notes dan pena dari apron-nya. Siap mencatat pesanan Val dan Gio.
"Menu spesial dua," kata Gio tanpa membuka daftar menu. Matanya memperhatikan Val yang membuang muka dan lebih tertarik melihat ikan koi di kolam daripada memilih menu.
"Minumnya?"
"Sesuatu yang berenergi untuk saya dan yang menyegarkan untuk dia." Gio kembali memesan untuk Val ketika dilihatnya gadis itu tak ada niat untuk memesan sesuatu.
"Ada yang lain?"
"Itu saja. Tolong cepat, ya. Kami buru-buru."
"Seharusnya lu beli makanan di bungkus aja kalau buru-buru," kata Val ketus.
"Seharusnya lu lebih memperhatikan kondisi lu. Gue tau lu laper tapi gengsi."
"Dan seharusnya lu memperhatikan pelayan tadi yang keliatan banget minta disapa. Taruhan, dia pasti mau kalo lu ajak tidur sekarang juga."
"Lu cemburu?" Gio terkekeh. Val melotot.
"Gue nggak salah denger, kan? Cemburu? Gue benci setengah mati ama lu."
"Benci sama cinta itu cuma dibatasi garis tipis, Val. Hati- hati kalau memilih perasaan," ujar Gio sendu.
Val mendengus. Tahu apa Gio soal cinta? Di otak mesumnya pasti yang ada cuma seputar s**********n.
Sok puitis!
"Pengen pipis gue denger lu ngomong," katanya sambil bangkit dari duduk.
"Jangan coba-coba kabur. Inget, rahasia lu ada ma gue."
Val mendengus lagi. Ia sadar, percuma saja mencoba melarikan diri dari Gio selama video dan foto-foto dirinya ada pada cowok b******k itu.
Di toilet, Val menangis di depan cermin. Sesak memenuhi dadanya. Ia merasa sedang berjalan menuju jurang. Saat ini ia tak ubahnya p*****r yang sedang menjajakan diri. Tubuhnya seolah tak memiliki arti.[]