Badai itu datang, Sayang. Dia mengaburkan ingatan dan bersdiap menenggelamkan.
Bersdiaplah! Atau waktumu akan lewat. Dan sesal tak akan dilebih-lebihkan datangnya.
=*=
Pukul 6.
Dia terbangun dan masih di Bogor. Udara selalu terasa lebih sejuk di sini dibanding Jakarta. Entah sampai kapan dirinya akan bersembunyi di kota semelankolis Bogor. Baginya Bogor melankolis. Hujan senantiasa membuat udara menjadi basah dan beruap. Udara lebih suram dari seharusnya. Seperti kaca jendela yang buram berselimut debu. Bogor membuatnya malas. Meski proyek bualan miliknya telah lama usai, dia masih belum ingin kembali ke Jakarta. Bukan karena muak dengan pikuknya, Bogor juga tak kalah pikuk, namun dia muak dengan pikiran-pikiran kusut yang selalu bersemayam di otaknya ketika menginjakkan kaki di Jakarta. Pekerjaan itu, nama baik itu, dan sederetan t***k-bengek yang ditimpakan kepadanya sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarga. Jika bukan karena wajah lembut Bunda (seharusnya dia memanggil nenek kepada perempuan itu. Atau oma.) dan tatapan sayu penuh harap kakak perempuannya, Gio sudah lama pergi meninggalkan rumah yang seperti neraka dunia baginya.
Alarm berbunyi lagi. Pukul tujuh.
Semalam, dia menghabiskan waktu lagi dengan teman-teman Bogornya. Mereka berpesta hingga teler, berakhir dengan memeluk perempuan ke tempat tidur masing-masing. Dan dia masih di sini. Perempuan itu. Yang telah membantunya mengeluarkan kotoran-kotoran yang menyumbat kepalanya. Perempuan itu mendengkur lirih. Sepertinya dia puas. Juga lelah. Entah berapa kali dia mengunjungi tempat tertinggi malam tadi. Gio tak memberinya istirahat. Dia terus memacu perempuan itu seperti dia menunggangi kuda-kuda jantan di ranch Paman Oki. Tapi ini betina dan perempuan itu bukan kuda. Gio menarik selimut perempuan itu yang melorot hingga memperlihatkan p****g merah mudanya. Setelah kesadarannya datang pagi ini, dia tidak memiliki gairah lagi kepada perempuan itu. Pikirannya melayang kepada tubuh mungil dengan p******a sebulat bola tenis. Dia punya janji dengan Val siang ini. Dan jarum jam di dinding berdetak terlalu lambat. Gio melangkah keluar kamar. Dia butuh kafein pagi.
Dering nyaring berbunyi melengking di apartemennya yang kosong. Kali ini bukan alarm. Dari nada deringnya, Gio tahu itu telpon dari siapa.
Kakak perempuannya.
Kakak perempuannya yang cantik memang rutin menelponnya setiap hari. Setiap pagi, menjelang siang, pada saat makan tengah hari. Ketika hari hampir gelap dan sebelum Gio benar-benar rebah. Lima sampai enam kali sehari dia tak pernah lelah mengharap Gio mengangkat telepon. Kadang-kadang, jika suasana hatinya sedang baik, Gio akan mengangkat telepon itu dan membiarkan kakak perempuannya berbicara sendiri. Dia hanya berbaik hati mengangkat telepon, meski nantinya tidak berbicara sepatah kata pun di telepon. Bahkan Gio sangat berhati-hati agar desah napasnya tidak terdengar di ujung telepon.
Kakak perempuannya.
Karena dialah, Gio ada di Bogor saat ini. Karena dialah Gio enggan pulang ke Jakarta meski Sang Jenderal-sebutan Gio untuk ayahnya-berulang kali menyuruhnya pulang dan membantunya mengurus perusahaan. Jenderal berjanji akan memberi izin kepadanya untuk tidak tinggal serumah dengan mereka. Namun Jakarta tetaplah Jakarta. Kecoa yang tinggal di gudang perkakas saja bisa mengetahui kedatangan Gio. Jika mengetahui Gio kembali ke kantor setiap hari, kakaknya akan dengan senang hati melacak di mana dia tinggal. Dan itu artinya Gio akan kembali ke neraka.
Kembali ke hari-hari di mana dia akan terus menerus menutup wajah dengan kedua tangannya. Menulikan telinga dan membutakan mata. Jika saat ini dia belum gila, itu karena selama dia di rumah, dia tidak akan kembali jika Subuh belum datang. Pada saat itu tak ada lagi kehidupan yang menantinya dengan pandangan sayu dan senyum secair matahari pagi. Dia selalu luluh. Selalu menyerah. Selalu mengikuti apa pun permainannya. Hingga rasa muak itu melanda dan menyadarkannya pada suatu pagi.
Selama ini, Gio selalu bertanya, apakah kedua orang tuanya mengetahui semua kejadian yang menimpa dirinya?
Namun berbagai pertanyaan selalu menuntunnya pada satu jawaban yang dia anggap paling benar.
Orang tuanya membiarkan kejadian itu berlanjut. Terus berlanjut. Seolah mereka bersyukur karena pada akhirnya, dinasti mereka terjaga kemurniannya dari pengaruh luar yang mungkin tidak semurni kelihatannya.
Cuih!
Gio muak. Kini dia muak!
Dilihatnya lagi layar ponsel. Pesan dari kakaknya. Deretan tulisan muncul tanpa perlu Gio membuka chat.
Gee, Sayang.
Pulanglah. Kakak rindu padamu. Pada malam-malam kita. Kamu pasti merasakan itu bukan?
Dulu, mungkin dia menikmati malam-malam itu. Dulu, ketika darah mudanya masih mencari pelampiasan kepuasan dan kakaknya dengan senang hati mengajari dan memberikan apa yang Gio inginkan. Dulu, Gio menyukai kegiatan malam mereka ketika Mama dan Papa sudah tidur lalu dia atau kakaknya akan menyelinap ke kamar. Itu dulu dan sekarang tidak lagi. Semakin Gio dewasa, semakin dia tahu kalau perbuatan mereka salah. Bukan hanya perbuatannya tapi kakaknya juga salah. Dan orang tuanya tak bisa menolong.
Diteguknya sedikit kopi yang masih menguarkan asap panasnya. Pikirannya melayang lagi pada anak SMA itu. Perasaannya berbeda. Ketertarikan yang melebihi rasa tertarik pada perempuan lawan jenisnya yang lain. Wajah itu, yang bisa dia lihat sekilas dalam keremangan malam. Juga ketakutan itu, air mata itu. Akhh, ada rasa sesal yang menjalar di dadanya.
Klik!
Pintu kamar terbuka. Perempuan semalam membalut tubuhnya dengan selimut. Dia cantik. Tapi tidak secantik semalam ketika wajahnya masih penuh dengan coretan make-up. Sepertinya Gio sudah menghabiskan lipstik yang dioleskan tebal-tebal di bibirnya. Beda dengan anak SMA itu, cantiknya alami. Tanpa polesan.
“Pagi sekali kamu bangun. Apa tidak lelah?” sapanya.
Gio mendengkus. Bukan urusannya mau dia lelah atau tidak.
“Ini sudah cukup siang. Hampir jam makan siang. Bukan pagi lagi. Pulanglah. Dan mandilah di rumah. Aku tidak suka kamar mandiku bau perempuan,” kata Gio ketus. Dia berjalan ke laci terdekat dan membuka kuncinya. Mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu. Diacungkannya uang itu.
“Ini bayaranmu.” Diletakkannya di meja tamu. “Dan ini uang taksi.” Diambilnya lagi beberapa lembar lalu diletakkannya di atas uang yang ada di meja.
Gio menaruh dompetnya lagi di laci. Lalu mengeluarkan rokok dan pemantiknya. Menutup laci dan menguncinya.
“Pulanglah sebelum rokokku habis atau aku harus menyeretmu keluar,” katanya tanpa menoleh pada wanita yang berdiri diam memandanginya.
Bukan kali pertama dia ditiduri lelaki ini. Tapi baru kali ini lelaki yang selalu memberinya tips besar ini berlaku kasar padanya. Wanita itu paham dia hanya wanita penghibur semalam saja. Sudah seharusnya dia terbiasa mendapat perlakuan sehina apa pun. Walau sakit hati, tapi wanita itu mencoba memahami lagi posisinya. Dia mengambil uang di atas meja, lalu bergegas ke kamar lagi untuk berpakaian.
Di balkon, Gio membiarkan asap rokok memenuhi isi kepalanya dan membuat siluet wajah anak SMA. Perasaannya semakin berdebar ketika menyusun rencana untuk menjebaknya hingga dia akan menjadi miliknya. Gio tersenyum angkuh, membayangkan wajah itu ketika melihat apa yang dia miliki di ponselnya. (*)