5. Keserakahan Dian dan Heru

2254 Kata
'Wah, uang dalam cek ini banyak sekali. Aku bisa menggunakan uang ini untuk membeli perhiasan, pakaian, dan rumah meskipun tidak mewah setidaknya rumah yang layak. Kehidupanku juga akan jauh lebih baik nantinya, aku tidak perlu sasah-susah lagi seperti sekarang ini.' 'Aku juga akan membuka usaha sembako nanti dengan Mas Heru, dengan begitu masa depan kami akan lebih terjamin. Soal Namira dan Mertuaku, masa bodo dengan mereka. Kalau mereka susah itu bukan urusanku, dan Mas Heru. Terpenting uang ini hanya aku yang tahu, dan akan menjadi milikku,' batin Dian, seraya memengang cek dari Hans tadi. Ekspresi wajah Dian begitu sumringah, wanita berumur 25 tahun itu tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya. Karena baru kali ini, ia bisa melihat nominal uang 500 juta secara nyata. Meskipun saat ini masih dalam bentuk sebuah cek yang telah ditandatangani oleh Pak Wijaya langsung tadi. Hans sedari tadi menunggu jawaban dari Dian, hanya bisa bersabar menunggu. Tiba-tiba Heru muncul dari arah kamarnya, suami dari Dian itu serta adik kandung dari almarhum Pak Amir. Sedikit terkejut saat melihat pria yang tidak dikenalnya, duduk di hadapan suaminya. Heru yang dasarnya pria pencemburu itu langsung menghampiri Hans, dan menanyakan kepentingan Hans di dalam rumahnya. Sedangkan Dian, masih berada di dunia khayalannya saat membayangkan uang sebesar 500 juta akan Dian gunakan nanti. Dian pun tidak tahu, kalau kalau suaminya tiba-tiba telah menarik jas Hans dengan ekspresi marah. "Siapa kamu, hah? Kenapa ada di sini, dan bersama istriku?'' tanya Heru marah, seraya menarik kerah beserta jas yang dikenakan oleh Hans. Hans tidak sempat mengelak, dan menghindar saat Heru datang tiba-tiba lalu menarik kerahnya kuat. Sebagai seorang tangan kanan, dari keluarga terpandang dan kaya raya. Hans telah dibekali oleh ilmu bela diri, untuk melindungi dirinya dan juga Tuannya saat dalam situasi berbahaya. Perlakuan suami Dian sedikit kasar itu, bagi Hans hanya hal kecil. Hans dengan mudah membalik keadaan, dengan memiting tangan Heru kini pria di hadapannya yang berteriak kesakitan dan membuat lamunan Dian seketika buyar. "Akkhhh, sakit! Lepaskan tanganmu, dari tubuhku," teriak Heru keras, bahkan dengan ekspresi marah. "Saya akan melepaskan tangan Anda, kalau Anda mau di ajak kerja sama. Satu lagi, jangan kasar sama saya. Sebab kalau Anda kasar, maka saya akan jauh lebih kasar pada Anda, apa Anda mengerti?'' peringat Hans, tanpa rasa takut. Wanita berusia 25 tahun itu langsung sadar dari lamunannya, ia dibuat terkejut saat melihat suaminya di kasari Hans. "Heh! Heh! Apa yang kamu lakukan pada suamiku, lepaskan tanganmu ini. Cepat lepaskan, karena kamu menyakiti suamiku," panik Dian, seketika berdiri dari duduknya lalu berusaha membantu Heru suaminya lepas dari tangan Hans. Mendengar suara Dian, Hans menatap sesaat suami istri itu. Lalu ia teringat perintah dari Tuan Besar-nya Pak Wijaya. 'Aku harus melepaskan pria ini, karena tujuanku ke mari bukan untuk mencari masalah. Melainkan melaksanakan tugas dari Tuan Besar, ini soal Tuan Muda Arsen. Aku tidak mau, masalah Tuan Muda Arsen sampai fatal karena aku tidak becus melaksanakan perintah Tuan Besar,' batin Hans, tidak lama ia pun melepaskan Heru. Tentu saja, dengan peringatan darinya. "Baiklah, saya akan melepaskan Anda. Tapi, saya harap Anda setelah ini mau bekerja sama dengan saya. Apalagi istri Anda sudah menerima sesuatu dari saya,'' tekan Hans serius. "Iya, sekarang lepaskan dulu tanganmu ini!'' ucap Heru setuju. Hans pun melepaskan Heru, suami Dian itu pun merasa penasaran dengan apa yang diucapkan oleh Hans tadi. "Sayang, apa maksud dari pria ini telah memberikan sesuatu padamu? Katakan, jangan sampai dia memberimu sesuatu dan itu membuatku marah, ya," tanya Heru, terselip perasaan cemburu di dalamnya. Meskipun Heru adalah tipe suami pencemburu, Dian sama sekali tidak bisa membuat suaminya marah ataupun berprasangka buruk padanya. Akhirnya, Dian menceritakan tentang kedatangan Hans, dan juga kabar kecelakaan yang menimpa ipar, dan kakak ipar beserta Namira. "Sssttt! Mas Heru jangan berprasangka aneh-aneh dulu, aku akan menceritakan semuanya. Tapi, lebih baik kita cerita sambil duduk saja, ya. Aku capek kalau berdiri begini terus. "Baiklah, kita duduk di situ. Aku benar akan marah, kalau kamu menceritakan tentang perselingkuhanmu, ya, Dian!" ucap Heru masih berpikiran cemburu. "Iya, Mas," jawab Dian, seraya mengaitkan tangannya di lengan suaminya menuju kursi. Hans melihat itu duduk di posisinya semula, seraya menunggu apa yang akan wanita di hadapannya ucapkan pada suaminya. Perdebatan di ruang tamu tadi, tidak sampai ke telinga Nenek Ratih. Karena saat ini Nenek Ratih sedang tertidur di kamarnya, setelah salat magrib tadi. Kamar Nenek Ratih juga tidak jauh dari ruang tamu, mengingat rumah yang ditinggali itu bukanlah rumah besar, dan tingkat. Melainkan rumah sangat sederhana, layaknya rumah di kampung. Nenek Ratih tidur dengan pulasnya mungkin karena faktor kelelahan, karena seharian ini Nenek Ratih bekerja membereskan seluruh rumah. Mengingat menantunya Bu Rina biasanya yang mengerjakan pekerjaan rumah, sedang pergi bersama Pak Amir dan putrinya Namira. Untuk merasakan ulang tahun putri mereka, sedangkan Dian hanya bersantai layaknya Nyonya. Heru yang tidak sabaran langsung meminta sang istri menceritakan perihal kedatangan Hans di rumahnya, ia tidak mau kecolongan istrinya akan menjalin kasih dengan pria lain. Mengingat selama ini, ia pria banyak menganggur dari pada bekerja. "Sekarang katakan, kenapa pria itu ada di sini, Dian?!'' tanya Heru, seraya menatap tajam Hans sesaat. Dian yang masih memegang cek dari Hans, langsung menunjukkan cek itu pada suaminya. Tentu saja Dian tidak melepaskan senyuman, dari bibirnya. "Lihat ini, Mas. Ini adalah cek, yang di dalamnya ada sejumlah uang sangat banyak. Jadi, kita bisa menggunakan uang ini untuk kepentingan kita," heboh Dian, seraya menunjukkan cek itu pada suaminya. "Cek? Apa maksudmu, Dian! Kenapa juga kamu bisa memegang cek itu, apa kamu melakukan sesuatu? Jangan-jangan kamu menjual diri pada pria itu, lalu kamu mendapatkan sejumlah uang di dalam cek itu, benar begitu?'' tanya Heru dengan ekspresi marah, ia sudah berpikiran negatif tentang Dian istrinya. "Aku tahu aku bukan pria yang bisa membahagiakan dirimu selama kita menikah, tapi, jangan mengkhianati cintaku. Apalagi dengan berselingkuh dengan pria itu,'' sambung Heru. Hans mendengar kata selingkuh itu, hanya tersenyum samar. Tepatnya senyum mengejek, soalnya dirinya juga sama sekali tidak tertarik sama Dian. 'Dasar pria pencemburu, belum juga mendapatkan penjelasan istrinya sudah mengatakan hal aneh. Aku sama sekali tidak tertarik dengan istrimu itu, aku lebih mencintai kekasihku dari pada wanitamu,' kesal Hans dalam hati. Dian mendengar kata negatif dari suaminya merasa malu sendiri, karena Heru terlalu berpikiran sempit. "Eh, jaga bicaramu, Mas. Kamu ini, bikin aku malu saja dengan Pak Hans." "Diam dulu, dan dengerin ucapanku sebelum menuduhku telah berselingkuh," sanggah Dian tidak suka akan ucapan suaminya. Dasarnya Heru, karena kecemburuan telah merasuki dirinya membuat ucapan Dian istrinya sama sekali tidak membuat dirinya percaya. "Makanya, jelasin semua. Biar aku percaya, jangan bicara sepotong dan aku mengartikan sendiri ucapanmu tadi," tuntut Heru mulai meninggi nada bicaranya. Dian sesaat hanya bisa menghela nafas, ia yang cukup paham sifat suaminya tidak lagi menunda. Akhirnya, ia mengatakan berita kecelakaan itu pada suaminya. Heru mendengar kabar kalau kakaknya meninggal, sangat cukup terkejut. "Kamu ini, Mas-mas, cemburuan sekali. Pria di hadapan Mas Heru itu hanya memberi kabar padaku, kalau Kak Amir, Kak Rina dan Namira mengalami kecelakaan parah. Nyawa Kak Amir dan Kak Rina tidak bisa di selamatkan, sedangkan Namira kini sedang mendapatkan perawatan intensif di salah satu rumah sakit," terang Dian kesal, karena sifat dari suaminya. Degh! 'Tidak! Itu tidak mungkin, kalau Kak Amir kecelakaan, dan meninggal. Kalau Kak Amir meninggal, lalu bagaimana kehidupanku bersama Dian,' batin Heru terkejut. Heru bukannya sedih, karena kakaknya meninggal. Ia malah ketakutan sendiri bagaimana nasib rumah tangganya, sebab selama ini ia banyak bergantung pada kakaknya. Mengingat selama ini, ia jarang bekerja. Melihat reaksi suaminya yang sangat terkejut itu, Dian melanjutkan ucapannya lagi. Tentu saja, ia menceritakan perihal cek di tangannya. "Kecelakaan itu terjadi tanpa sengaja, dengan anak dari majikan Pak Hans. Jadi, kedatangan Pak Hans ke mari ingin membuat kesepakatan dengan kita." "Tentu saja, dengan cara Pak Hans memberikan cek ini padaku sebagai uang tutup mulut. Lihatlah, Mas, uang di dalam cek ini sangat cukup banyak sekali. Kita bisa menggunakan apa saja," terang Dian, sambil menunjukkan cek pemberian Hans pada Heru suaminya. Heru mengambil alih cek itu, lalu melihat sendiri isi dari cek itu. '500 juta, uang sebanyak ini aku bisa menggunakan ini untuk membuka usaha dan membahagiakan Dian serta Melissa putriku,' monolog Heru. "Bagaimana, apa Mas sudah mengerti maksudku setelah menerima uang ini, Mas? tanya Dian, tidak sabaran ingin tahu isi hati suaminya. "Iya, aku mengerti. Sekarang biar aku bicara dengan pria ini, setelah itu kita melihat keadaan Namira di rumah sakit dan membawa jenazah Kak Amir dengan Kak Rina,' jawab Heru cepat, dan masih memegang cek dari istrinya tadi. "Baik, Mas." Heru mengarahkan pandangan ke arah Hans, dan mulai bicara serius. "Aku telah mendengar dari istriku soal cek ini, tapi, aku belum puas bila belum mendengar penjelasan darimu. Sekarang katakan, kenapa Kakakku bisa kecelakaan dan akhirnya meninggal?'' tanya Haru dengan nada dinginnya. Hans yang memang telah mendapatkan amanah, dan perintah dari Pak Wijaya menjelaskan kembali pada suaminya Dian. "Benar yang dikatakan oleh istri Anda, Pak. Saya datang ke mari, karena memiliki maksud. Yaitu, dengan memberikan cek berisi uang itu agar kalian tutup mulut, dan menutup kasus kecelakaan tanpa harus membawa ke ranah hukum.'' "Mengingat kalau Tuan Muda saya, benar-benar tidak sengaja menabrak mobil dari keluarga Anda. Ini mungkin sudah ketentuan takdir, maka saya harap Anda berdua tidak lagi mengungkitnya." "Apalagi Tuan Besar saya telah memberikan uang cukup banyak sebagai uang tutup mulut, rasanya cukup setimpal." "Bila kalian telah menerima uang itu, berarti tandanya kalian berdua tidak boleh bilang sama siapapun kalau kecelakaan itu di lakukan oleh Tuan Muda saya. Jika Anda berdua melanggar, saya dan Tuan Besar tidak akan tinggal diam." "Apalagi dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Tuan Besar saya, saya yakin cukup mampu membuat kalian berdua berada dalam situasi sulit nanti," peringat Hans dengan nada serius. Dian dan Heru saling berpandangan, keduanya yang mengerti maksud dari ucapan Hans seketika menganggukkan kepalanya. Keduanya mengerti, dan pasti akan melakukan ucapan Hans. "Baiklah, kami berdua akan menutup mulut kami. Kami berjanji, tidak akan membocorkan informasi pada siapapun. Termasuk pada Ibu saya," jawab Heru mantap. Karena Heru dan Dian lebih mementingkan menerima uang suap dari Pak Wijaya dari pada melaporkan Arsen ke pihak kepolisian. "Bagus, itu jawaban yang sangat bagus. Anda telah menyetujuinya, jadi, tolong Anda tanda tangani ini," ucap Hans, dengan menyodorkan selembar kertas berisi surat perjanjian, di atas meja beserta bolpoin agar Heru dan Dian langsung menandatangani. Sesaat Dian dan Heru berpandangan kembali, kali ini keduanya langsung mengangguk. "Bagaimana, Mas, ayo tanda tangani ini, ya. Ini kesempatan emas kita, setelah ini kita tidak akan hidup susah lagi," gumam Dian, masih di dengar Heru suaminya. "Ayo, jangan ragu lagi. Kalaupun Kak Amir, dan Kak Rina sudah meninggal mereka sudah tidak akan kembali lagi. Jadi, ini salah satu cara kita untuk bertahan hidup. Bukankah selama ini Kak Amir yang lebih banyak memenuhi kebutuhan kita, sekarang Kak Amir sudah tidak ada. Maka kita hanya menggantungkan cek ini," bujuk Dian. Heru yang mendengar ucapan Dian istrinya semua benar, karena selama ini hanya Amir kakaknya yang bekerja dan memenuhi kebutuhan semua keluarga. Ketika Amir telah meninggal, maka tidak akan lagi ada yang membantu memenuhi kebutuhan dirinya dan istrinya. 'Aku tidak munafik, apa yang dikatakan Dian semuanya benar. Aku harus menerima uang tutup mulut ini, untuk kelangsungan hidupku dan istriku nanti. Kalau aku menolak, maka aku yang akan terpuruk bersama Dian,' batin Heru. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Heru memutuskan untuk menandatangani surat perjanjian yang diberikan Hans tadi. "Kamu benar, Sayang. Baiklah, kita akan tanda tangani surat perjanjian ini. Setelah itu, kita akan menutup mulut kita,'' putus Heru menyetujui. Dian mendengar itu sangat senang, karena suaminya nurut padanya. Sebab percuma saja, saat menuntut Arsen. Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa, selain kemiskinan yang akan mereka dapatkan. Sebab tulang punggung di rumah ini telah tiada. 'Yes, Mas Heru mau menandatangani surat perjanjian itu. Dengan begini, kami akan kaya dan tidak akan kekurangan apapun setelah Kak Amir meninggal,' batin Dian bahagia. Tidak lama, Heru menandatangani surat perjanjian itu lebih dulu. Setelah itu diikuti oleh Dian. "Surat perjanjian ini telah Anda berdua tanda tangani, saya harap Anda patuh akan perjanjian dari surat ini." "Oh, satu lagi. Uang yang diberikan Tuan Besar saya sangatlah banyak, saya harap Anda berdua mau merawat gadis kecil itu selayaknya kedua orang tua dari gadis kecil itu." "Uang dari Tuan Besar saya ini, jangan sampai Anda habiskan sendiri. Berikan hak itu pada gadis kecil itu, apa Anda berdua mengerti," ucap Hans mengingat. "Baik kami mengerti," jawab Dian dan Heru berbarengan, lalu keduanya saling berpandangan penuh arti. "Karena sudah malam, saya pamit. Saya harap, setelah ini Anda berdua datanglah ke rumah sakit untuk membawa pulang jenazah kedua saudara Anda," pamit Hans. "Tentu saja, tenang saja sebentar lagi akan bersiap ke rumah sakit," jawab Dian cepat, seraya mengantar Hans sampai di depan pintu. Tidak lama Hans pun melangkah ke arah mobil, dan tidak lama ia masuk lalu mulai mengendarai mobil kembali ke rumah sakit. Sedangkan Dian langsung berlari ke arah suaminya, tentu dengan ekspresi sedikit kesal. "Mas, pokoknya aku tidak mau tahu. Uang itu hanya milik kita, soal Namira biarin saja. Yang penting kita memiliki semua uang itu, agar kita bisa hidup lebih baik," ucap Dian sinis saat menyebut nama Namira gadis kecil yang kini telah menjadi anak yatim piatu. "Iya, Sayang, siapa juga yang mau memberikan uang ini sama Namira. Uang ini buat kita semua, bersama Melissa. Kita bisa buat beli rumah dan juga usaha, biar kita tidak susah lagi. Nanti juga aku akan jual rumah ini, buat tambahan beli rumah." "Soal Ibu dan Namira, biar mereka menempati gudang di belakang rumah ini. Kita bisa hidup enak nantinya, tanpa kesusahan lagi," jawab Heru tanpa belas kasihan. Keserakahan mereka membuat hati nurani keduanya buta, hingga akan menelantarkan seorang ibu dan anak yatim-piatu itu dalam kesengsaraan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN