6. Air Mata Seorang Ibu

1485 Kata
Masih dalam rumah sederhana, sepeninggal Hans yang kini kembali ke rumah sakit. Untuk melaporkan, bahwa perintah Pak Wijaya telah berhasil ia laksanakan dengan baik. Sepasang suami-istri itu, masih berada di ruang tamu. Sesaat keduanya sedang membahas masalah cek dari Hans tadi. "Sayang, kamu simpan cek itu di dalam lemari. Taruh di tempat yang aman, dan paling tersembunyi. Karena sebentar lagi, kita harus pergi ke rumah sakit," saran Heru pada istrinya. Merasa yang dikatakan suaminya ada benarnya, Dian langsung mengangguk setuju. Tidak lama, ia pun seketika berdiri dan berniat pergi ke kamarnya. Tapi, langkahnya terhenti karena ia penasaran kapan kira-kira uang dalam cek itu dicairkan. "Ah, benar juga apa yang Mas katakan. Sekarang aku akan ke kamar dulu, lalu menyimpan cek ini baik-baik. Terus aku mau ganti baju, Mas Heru tunggu aku, ya," ucap Dian membenarkan, seraya berdiri. Baru beberapa langkah, Dian berbalik dan menanyakan perihal uang di dalam cek. "Mas, kapan kira-kira uang di dalam cek ini kita cairkan. Aku sungguh tidak sabar, ingin melihat uang dan memegang uang sebanyak di cek ini," sambung Dian dengan nada antusiasnya. "Kita pikirkan nanti, setelah pemakaman Kak Amir dan Kak Rina. Apa kamu mau, orang-orang curiga, soal uang itu? Tidak 'kan. Jadi, lebih baik kita tunggu waktu yang tepat, ya," jawab Heru, masih di posisi duduknya. "Baiklah, aku menurut saja sama Mas Heru," putus Dian, setelah itu ia langsung masuk ke dalam kamarnya. Ketika Dian ganti pakaian, Nenek Ratih yang terbangun dari tidurnya karena haus mulai turun dari ranjang. Sesaat dalam benaknya, ia teringat putra sulungnya apakah sudah pulang atau belum. 'Tenggorokanku kering sekali, lebih baik aku ambil minuman dulu di dapur,' batin Nenek Ratih. Tidak lama, Nenek Ratih mulai turun dari ranjang. 'Rasanya aku sudah tidur terlalu lama, apakah Amir, Rina dan Namira sudah pulang? Semoga saja sudah, entah mengapa seharian ini aku merasakan firasat tidak enak,' gumam Nenek Ratih, seraya membetulkan rambutnya dan diikat. Nenek Ratih mulai bejalan keluar kamar, bertepatan ia melihat menantu keduanya yang terlihat rapi. Sedikit heran, dan penasaran Nenek Ratih menghampiri menantunya Dian. "Nak, kamu mau ke mana? Sudah rapi begini, apa kamu mau pergi? "Oh, iya, apa Amir, Rina dan Namira sudah pulang, Nak?'' tanya Nenek Ratih dengan kata lembutnya. Sebelum Dian memberitahu Nenek Rati tentang kabar kecelakaan Amir, Heru yang sama-sama mendengar kata ibunya langsung berdiri dari duduknya, lalu menghampiri sang ibu untuk memberitahu kalau kakaknya Amir dan istrinya telah meninggal. "Ibu, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sama Ibu. Kuharap Ibu sabar, dan kuat, ya," ucap pelan Heru, seraya menggenggam kedua telapak tangan Nenek Ratih. Seketika rasa haus yang sempat Nenek Ratih rasakan itu hilang begitu saja, setelah mendengar ucapan putranya. Tiba-tiba perasaan Nenek Ratih tidak enak, rasa ketakutan dalam dirinya mulai timbul entah karena apa. "Apa, Nak. Jangan membuat Ibu takut. Oh, iya, di mana Amir? Apa Kakakmu sudah pulang, Her? Ibu dari siang merasa khawatir, dan perasaan Ibu sama sekali tidak enak. Ibu takut terjadi apa-apa sama mereka,'' tanya Nenek Ratih dengan rasa khawatirnya. Heru sebenarnya adalah pria yang baik, hanya saja sejak ia mengenal Dian dan kini telah resmi menjadi istrinya. Sifat baik, dan patuh pada ibunya entah hilang begitu saja. Heru hanya akan menuruti ucapan istrinya, sekalipun itu harus menyakiti hati Nenek Ratih. 'Bagaimana ini, apakah aku harus memberitahu Ibu kalau Kak Amir, dan Kak Rina sudah meninggal. Aku takut, Ibu akan terkejut dan sedih banget. Tapi, kalau tidak kuberitahu sekarang tetap saja saat jenazah mereka tiba di sini Ibu tetap akan akan tahu,' batin Heru bingung. Dian yang paham akan sifat suaminya, langsung menyenggol lengan Heru. Wanita itu langsung memberikan saran, tepatnya perintah agar suaminya memberitahu perihal kematian kakak iparnya. "Mas Heru! Lebih baik kamu beritahu Ibu saja, atau aku yang memberitahu. Kita ini sudah tidak punya banyak waktu, dan kita harus cepat pergi ke rumah sakit," ucap Dian sedikit keras, seketika membuyarkan lamunan Heru. Heru yang tersadar, bertepatan sang ibu merasa penasaran. Kenapa Heru dan Dian akan pergi ke rumah sakit, malam-malam seperti ini. "Kalian mau ke rumah sakit, ngapain ke sana? Siapa yang sakit, Nak?'' tanya Nenek Ratih, dengan pandangan ke arah Dian dan Heru. Heru yang di tatap sinis oleh istrinya, seolah dalam tatapan itu agar dirinya cepat memberitahu kabar kematian Amir sama ibunya. "Begini, Bu. Tadi, aku dapat kabar dari pihak rumah sakit. Kalau mobil yang dikendarai Kak Amir mengalami kecelakaan, dan kondisi mobilnya rusak parah ---" Ucapan Heru terpotong, saat Nenek Ratih sangat terkejut sekaligus ingin tahu kabar keadaan putra, dan menantu beserta cucunya. "Lalu bagaimana keadaan Amir, Rina, dan Namira? Mereka bertiga baik-baik saja bukan, katakan Heru? Bagaimana keadaan Kakakmu sekarang, katakan?!'' desak Nenek Ratih tidak sabaran, dengan memegang lengan Heru kuat. "Kak Amir dan Kak Rina meninggal, setelah sampai di rumah sakit. Mereka tidak dapat di selamatkan, Bu," ucap Heru dengan nada bergetar, ia menahan tangis. Bagaimanapun Amir adalah sosok kakak yang paling baik untuknya, selama ini hanya Amir yang selalu memenuhi kebutuhan di rumah ini dan menjadi tulang punggung keluarga. Degh! ''Amir dan Rina meninggal? Tidak mungkin, mereka sedang pergi merayakan ulang tahun Namira. Pasti mereka sekarang dalam perjalanan pulang, kamu jangan asal bicara tentang Kakakmu itu tidak baik. Ucapan adalah doa, Nak. Jadi, bicara yang baik-baik tentang Kakakmu Amir. Kalau dia meninggal, lalu bagaimana kehidupan kita siapa yang mencari nafkah buat kita." "Memang salah Ibu, karena tidak bisa membuat kehidupan di rumah ini membaik. Dari dulu, kita hanya hidup susah. Setelah Amir bekerja, semua terasa membaik dan Ibu mensyukuri itu. Dalam tiap doa Ibu, Ibu hanya memohon kebaikan dan keselamatan serta kesehatan Amir. Sebab hanya padanya kita bisa bertahan hidup sampai sekarang," marah Nenek Ratih, karena tidak suka mendengar kalimat yang diucapkan oleh putra keduanya. Melihat ibunya tidak percaya, Heru dengan meneteskan air mata ia mengatakan kabar kematian kakaknya lagi. Barulah Nenek Ratih sadar, kalau putra bungsunya itu tidak bohong dan mengatakan kabar yang sebenarnya. "Ibu, dengarkan aku. Kak Amir dan Kak Rina memang sudah meninggal, barusan saja pihak rumah sakit menelepon Heru. Ibu harus percaya kabar ini, Ibu juga harus kuat dan tabah menerima semuanya. Aku juga sedih, Bu. Sama kayak Ibu, yang tidak percaya." "Tapi, kenyataan itu benar adanya. Sekarang aku mau pergi ke rumah sakit, untuk mengambil jenazah Kak Amir dan Kak Rina. Kalau Namira, katanya Namira baik-baik sekarang Namira mendapatkan perawat dari pihak rumah sakit," jelas Heru dengan air matanya. Sekalipun Heru bersikap cuek pada Kakaknya selama ini. Tapi, tidak memungkiri dalam hati kecilnya ia sangat menyayangi kakaknya Amir. Tes. Setetes air mata dari kelopak mata keriput itu luruh juga, air mata yang sedari tadi Nenek Ratih tahan akhirnya tumpah. "Hiks, bagaimana bisa!'' "Amir anakku! Rina anakku! Kenapa nasibmu begini, Nak." "Amir anak kesayangan Ibu, kenapa kamu tega meninggalkan Ibu, Nak. Apa kamu tidak sayang sama Ibu? Bahkan saat kamu pergi, kamu tidak mau melihat Ibu dulu," tangis Nenek Ratih begitu pilu, karena malam ini ia kehilangan kedua anak sekaligus. Baginya menantunya Rina bukan hanya sekadar menantu, Nenek Ratih telah menganggap Rina seperti anaknya sendiri. Dalam rumah sederhana itu begitu nyaring terdengar suara tangisan seorang ibu yang begitu menyayat hati, hingga terdengar sampai keluar rumah bahkan sampai di telinga tetangga. Nenek Ratih yang terduduk di lantai, dengan deraian air mata itu sama sekali tidak di tenangkan oleh Dian. Menantunya itu malah bersikap sinis dengan mertuanya, tentu saja tanpa rasa iba dalam hatinya. Karena baginya di rumah ini hanya Heru, dan putrinya Melissa. Selebihnya, ia tidak mau ambil pusing. Heru melihat ibunya terpukul karena kabar kematian kakak dan kakak iparnya, berusaha menenangkan. "Sudahlah, Bu, jangan sedih seperti ini. Ayo kita duduk di kursi saja, Ibu yang tenang. Kita sekarang hanya bisa mendoakan mereka, dan paling penting kita rawat Namira dengan baik," bujuk Heru, dan berusaha menenangkan. "Tapi, Ibu belum terima, Her. Ini terlalu mendadak, dan berat sama Ibu. Hiks, Ibu merasa ini seperti mimpi buruk. Semoga saja apa yang kamu katakan tentang mereka hanya sebuah mimpi," sanggah Nenek Ratih, masih tidak terima kalau Amir putranya dan Rina menantunya telah meninggal. "Ibu, jangan bilang seperti itu. Semuanya sudah takdir, Kak Amir dan Kak Rina memang sudah meninggal. Ini bukan mimpi, Bu. Ini kenyataan, kalau Ibu tidak percaya pukul Heru sekarang. Pukul terus dan tampar wajah Heru, biar Ibu sadar kalau semuanya bukan mimpi tetapi kenyataan," ucap Heru, terus berusaha menyakinkan. Lagi-lagi Nenek Ratih yang telah tersadar kalau ucapan Heru adalah kebenaran, membuat ia tidak bisa membendung air matanya kembali. Ia menangis pilu, karena rasa kehilangan cukup besar baginya. "Ternyata ini bukan mimpi, ucapanmu benar. Amir anakku, jangan tinggalkan Ibu, Nak," tangis Nenek Ratih pilu. Sedangkan Dian, yang sudah muak melihat drama air mata di hadapannya mulai membujuk suaminya ke rumah sakit untuk mengambil jenazah kakak iparnya. 'Dari pada melihat drama air mata, lebih baik aku mengajak Mas Heru ke rumah sakit. Lebih cepat membawa jenazah Kak Amir dan Kak Rina pulang lalu menguburkan mereka, maka akan cepat pula aku akan mencairkan uang di dalam cek itu,' batin Dian. Suara tangisan keras dari Nenek Ratih, mengundang tetangga dan kini mulai berdatangan ke rumah duka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN