Setelah perdebatan yang cukup panjang antara aku dan Adrian, akhirnya kami sampai juga di sekolah. Aku menatap lapangan sekolah yang sepi. Hari ini merupakan libur kelulusan bersamaan dengan libur kenaikan kelas yang menambah panjang waktu kosong di sekolah.
"Luna, kamu tunggu sini aja ya. Biar aku yang parkir di belakang," ucap Adrian lalu menurunkan aku di pintu gerbang, aku menganggukkan kepalaku sambil berjalan masuk ke arah lapangan depan menunggu Adrian selesai memarkirkan mobilnya.
Karena sekolah sebenarnya tidak boleh membawa mobil, Adrian biasa memarkirkan mobilnya di lapangan samping sekolah. Parkiran di lapangan sekolah hanya dipakai oleh guru dan beberapa siswa aja, tidak bisa menampung banyak mobil.
"Panas banget," gumamku menatap teriknya matahari, padahal saat ini masih terhitung pagi tapi matahari seakan tengah marah hari ini karena bersinar bergitu terangnya.
Aku menunggu Adrian di pintu gerbang sambil memainkan ponselku, sudah hampir lima menit sosok Adrian masih belum terlihat juga batang hidungnya. Aku mengetikkan sesuatu di ponsel pintarku, menemukan nomor Adrian dan langsung meneleponnya.
"Di mana?" tanyaku masih sambil menatap ke arah ujung jalan, masih belum menemukan sosok Adrian yang muncul dari sana.
"Ini aku udah di jalan ke sana, bentar ya."
Terdengar jelas napas Adrian yang seakan terburu - buru, beberapa saat kemudian aku melihat sosok Adrian yang keluar dari ujung jalan.
"Lama banget, ya udah."
"Iya-iya, sabar ya."
Aku mengangguk meski tahu jika Adrian tidak dapat melihat anggukanku dengan jelas. Panggilan itu juga aku matikan setelah melihat Adrian yang semakin dekat. Terdengar napasnya yang terburu-buru, karena aku terus memintanya untuk lebih cepat.
Jarak parkiran dan gerbang masuk sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja untuk ukuran orang yang berjalan dari parkiran ke sini harusnya tidak menghabiskan waktu selama itu.
Aku masih memainkan ponselku, membalas pesan dari ayah yang mengkhawatirkanku. Aku membalas agar ayah tidak perlu khawatir tentang aku karena aku akan baik - baik saja, lagian aku juga tidak sendirian lagi sekarang.
"Lun," ucap Adrian menepuk pundakku membuatku sedikit merasa kaget.
"Lama banget astaga," ucapku protes, sedangkan Adrian ia malah tercengir seakan tidak bersalah.
Aku mengambil langkah lebih dulu tapi dengan cepat Adrian mampu menyusul langkahku. Kami bersama-sama berjalan menuju ruang Aula, untungnya saat masuk acara baru saja dimulai.
Kepala sekolah memberikan sambutan yang cukup panjang, membuat beberapa siswa yang mulai berbisik dan mengobrol sedikit tidak mendengarkan sambutan dari kepala sekolah.
Sekitar 15 menit kemudian, sambutan dari kepala sekolah berakhir lalu acara yang memang sudah ditunggu akhirnya tiba. Pengarahan mengenai acara perpisahan dijelaskan sedetail mungkin, membuat kami semua sebagai siswa semakin tertarik.
Pada tiap tahunnya, acara perpisahan sekolah adalah acara yang selalu ditunggu-tunggu. Karena disinilah semua bisa menampilkan bakat mereka dan juga sebagai perpisahan terhadap masa sekolah menengah atas.
Awal dan langkah baru menuju masa yang lebih dewasa, tentu saja dengan persaingan yang lebih ketat.
"Mau buat atau beli baju, Lun?" tanya Adrian menatapku, aku menaikkan kedua bahuku karena aku juga masih memikirkannya.
Adrian mencoba bertanya kepadaku beberapa pertanyaan, tapi tidak aku tanggapi karena masih fokus untuk mendengarkan arahan. Entah mengapa rasanya hari ini Adrian banyak berceloteh, sedangkan aku untungnya masih memiliki banyak stok kesabaran untuknya.
"Mau couple-an?" tanya Adrian lagi.
Aku terbatuk saat baru saja meminum air minumku, membuatku langsung menatap Adrian kesal. Bahhkan, sebagian bajuku basah.
"Lap dulu, Lun," ucap Adrian dengan nada yang terdengar bersalah.
Bisa - bisanya Adrian memberi rencana untuk memakai baju couple, membuatku menatapnya horor. Sedangkan Adrian terlihat canggung terlihat dari cengiran kecil yang ia tunjukkan.
"Lagian, ada-ada aja. Dengerin dulu deh," balasku mengomeli Adrian.
Jantungku tiba-tiba berdegup cukup keras, pertanyaan yang keluar dari mulut Adrian membuatku terdiam beberapa saat. Hingga, tanpa kusadari arahan dari pengurus sekolah sudah selesai.
Semua orang perlahan mulai meninggalkan aula pertemuan tidak terkecuali dengan aku dan Adrian yang masih mengikutiku. Teman seangkatanku mulai meninggalkan sekolah, mungkin untuk mempersiapkan perpisahan yang sudah tidak lama lagi.
"Astaga," ucapku terkejut lalu menghentikan langkahku, hampir saja aku terjatuh karena tali sepatuku terinjak oleh diriku sendiri.
"Hati - hati dong Luna," ucap Adrian menatapku, untung saja aku tidak merasakan sakitnya jatuh ke lantai karena Adrian yang dengan sigap menarik dan menahanku.
"Ya mana tahu kalo kelepas," ucapku menatapnya sebal, lagi pula bagaimana aku bisa sadar jika ikatan itu terbuka padahal beberapa saat lalu saat masih duduk di aula tali sepatuku masih terikat kencang.
Aku hendak mengikatnya sebelum tiba-tiba Adrian memurunkan tubuhnya lalu dengan posisi berjongkok dan meletakkan salah satu kakinya ke lantai ia mulai mengikat tali sepatuku.
"Kamu ngapain?" ucapku cepat karena saat ini beberapa orang yang lewat tengah menatap ke arahku, melihat Adrian yang dengan baik hatinya mengikatkan tali sepatuku yang terlepas.
Jantungku, entah mengapa terasa lebih berdebar daripada sebelumnya. Aku melihat setiap langkah dan gerakan dari Adrian saat mengikat tali sepatuku.
"Udah selesai," ucap Adrian singkat dengan senyuman lembutnya membuat aku menatapnya canggung.
Setelah itu Adrian berdiri, kini posisi kami berhadap-hadapan. Aku menatap mata Adrian begitu pula dengan Adrian yang membalas menatap mataku. Bagiku, mata Adrian terasa teduh dan sangat sesuai dengan sifatnya yang hangat.
"Kenapa diem? Ayo jalan," ucap Adrian menghentikan keheningan antara kami.
Aku memutar badanku kembali, membelakangi Adrian namun langkah kakiku terhenti dan aku langsung terhuyung saat seseorang berlari dengan cepat seakan terburu-buru melewatiku dan tidak sengaja mendorong diriku.
Keseimbanganku mendadak hilang, untungnya dari belakang Adrian menangkapku ke dalam peluknya, membuatku kembali terdiam. Saat ini posisiku tengah di dalam pelukan Adrian, tubuhku seakan menjadi kaku.
"Kenapa bisa dua kali," gumamku dalam hati.
Belum selesai jantungku berdegup dengan cepat karena masalah tali sepatu, sekarang aku harus dihadapkan dengan masalah tertabrak dan jatuh di pelukan Adrian.
"Aku tahu kalau pelukanku hangat, tapi nggak enak Lun kalo di lihat banyak orang."
Aku langsung mundur melepaskan pelukan Adrian, sial bisa - bisanya pipiku terasa memanas. Senyum di bibir Adrian seakan mengejekku, membuat aku berjalan lebih dulu meninggalkan Adrian yang mungkin sedang tersenyum penuh kemenangan.
***
Setelah kejadian tadi pagi, aku kesal kepada Adrian. Karena aku yang terus diam, akhirnya ia mengajakku ke mall sekalian juga aku ingin meminta Adrian membantuku memilih hadiah untuk ayah.
"Makasih," ucapku pada Adrian yang membantuku saat sepatuku terasa licin di lantai.
Hawa dingin dari dalam mall keluar saat pintu masuk terdorong, suhu yang berbanding sangat terbalik dengan udara panas di luar. Aku berjalan memperhatikan setiap toko-toko yang aku lewati, sebenarnya aku masih bingung ingin memberi hadiah ayah apa karena aku tidak begitu tahu apa yang ayah sukai dan apa yang ayah tidak sukai.
Aku masuk ke sebuah toko yang menjual pakaian kantor diikuti oleh Adrian yang tetap berjalan di sampingku. Aku melihat dengan teliti setiap barang, berharap menemukan sesuatu yang bagus untuk ayah.
Tidak banyak memang yang aku miliki, meski sebenarnya itu sebagian dari hasil aku menulis selama ini tapi setidaknya aku ingin memberikan sesuatu untuk ayah.
"Ini kayaknya bagus, Lun," ucap Adrian menghentikan langkahnya yang juga akhirnya membuatku ikut berhenti.
Adrian menunjukkan beberapa pilihan dan model bentuk dasi kepadaku. Tapi, entah mengapa aku kurang menyukai entah warnanya ataupun motifnya.
"Keluar yuk," ucapku sedikit berbisik pada Adrian.
Bagaimana tidak, sebenarnya ada beberapa sudut yang belum aku lihat di toko itu tapi para penjaga yang mengikuti kami bahkan lebih dari dua orang membuatku tidak nyaman untuk memilih sesuatu. Apalagi terkadang mereka mendekat, padahal aku atau Adrian cuma memegang beberapa barang, itu pun untuk mencoba mengetahui kualitas dari barang itu.
"Nggak nyaman banget, kayak kita yang mau maling aja sampe diikutin. Buat jadi males nggak sih," ucapku mengeluarkan kekesalan yang tadi aku pendam.
Adrian juga setuju dengan pendapatku, bahwa tidak ada salahnya jika mereka mengawasi tapi jika terlalu banyak yang mengawasi pada akhirnya juga membuat pembeli tidak nyaman.
"Ke sana coba ya," ajakku langsung menarik pergelangan tangan Adrian.
Sebenarnya aku tidak sadar saat menarik pergelangan tangan Adrian, tetapi aku lebih tertarik dengan sesuatu yang terpajang di etalase toko tersebut.
Aku berdiri memeriksa kualitas dari benda tersebut, menanyakan Adrian apakah ini bagus atau tidak karena menurutku sebagai laki-laki sedikit banyak Adrian dapat menbantuku memilihkan barang.
"Mau beli ikat pinggang?"
Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandanganku.
"Ini bagus," lanjut Adrian menunjuk sebuah ikat pinggang yang juga sedari tadi ikat pinggang itu merupakan salah satu kandidat dari yang aku pilih.
Dengan bantuan Adrian aku langsung menunjukkan ikat pinggang itu kepada pegawainya dan ia segera membungkuskan ikat pinggang itu untukku.
Kami keluar setelah aku selesai menbayar. "Kira-kira Ayah suka nggak, ya?" tanyaku pada Adrian.
"Orang tua itu, akan menyukai apa pun yang diberikan anaknya."
Aku mengangguk setuju, menatap dengan senang kotak di tanganku.
"Mau makan di luar?" tanya Adrian, aku yang juga merasa lapar mengangguk setuju. Lagian jika makan di mall juga hanya makanan cepat saji yang tidak terlalu baik bagi kesehatan.
"Boleh mau makan di mana?" tanyaku pada Adrian karena jujur saja aku tidak memiliki ide untuk makan di mana.
"Mau makan sushi?" tanya Adrian meminta persetujuanku.
Aku berpikir sebentar, "Boleh juga. Aku udah lama nggak makan sushi," jawabku dengan anggukan.
"Tunggu bentar aku ambil mobil," ucap Adrian. Aku menyetujuinya dan menunggu Adrian yang punggungnya kini sudah tidak terlihat.
Aku pikir Adrian akan mengambil waktu beberapa saat untuk mengambil mobil, aku berencana untuk memberi es krim sambil menunggu Adrian.
Langkah kakiku berjalan ke toko es krim yang terletak di belakangku, untungnya tidak terlalu ramai. Aku langsung memesan 2 es krim, untukku dan untuk Adrian.
"Tunggu sebentar ya, Mbak," ucap petugas itu lalu mulai membuatkan es krim untukku.
Beberapa saat kemudian, es krim itu selesai dibuat lalu aku membayarnya sebelum menerimanya. Aku tidak tahu apa yang Adrian suka tapi aku membeli rasa matcha, kesukaanku.
Ponselku terdengar berbunyi, aku rasa Adrian sudah berada di depan membuat aku semakin mempercepat langkahku. Benar saja, setelah sampai depan aku melihat mobil Adrian sudah menunggu.
Adrian langsung membantuku untuk membuka pintu mobil, karena tanganku yang masih memegang es krim. Aku menatap Adrian yang bergeser, memberiku space untuk masuk ke dalam mobil.
"Makasih, ya," ucap Adrian menerima satu es krim dari tanganku, lalu aku masuk setelah kembali menutup pintu mobil.