Seperti hujan deras di hari yang cerah, aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Om Juna. Mataku menatap ke arash sosok yang bersama Om juna, orang yang membuatku menerima julukan anak pembunuh sekaligus orang yang ingin aku lihat meski hanya sekali sebelum aku mati kini muncul dihadapanku.
Mataku bergetar mematapnya, dadaku terasa sesek seketika. Aku tidak pernah menyangka jika aku sebenarnya tidak sesiap ini untuk bertemu dengannya, mataku pedas hampir saja aku menangis jika aku tidak menahannya.
Mana mau aku menangis di depan orang yang sangat ingin aku benci meski tetap saja tidak bisa, aku tidak ingin orang itu menatapku dengan tatapan iba atau lemah.
"Apa, Om?" ucapku tidak sadar, mulitku terkaku bahkan aku menggigit bibir bawahku karena menahan tangis.
"Dia Raka. Sahabat Om dan juga Ayah kamu Luna," ucap om Juna membuat nalasku terasa semakin sesak.
Aku menatap sosok itu, entah apa yang ia pikirkan hingga dengan beraninya ia muncul di hadapanku, terlebih di sekolahku tepatnya. Beberapa orang memandangku penuh tanda tanya, mereka terlihat berbisik menatapku membuat aku semakin merasa risih.
"Om, boleh nggak kalo kita pergi dulu? Luna nggak mau orang membicarakan kita," ucapku setelah beberapa saat menyadari banyak siswa lain membicarakanku, Om Juna yang mengerti mengikuti permintaan Luna. Lalu menyuruh Luna masuk ke dalam mobil.
Aku menatap ke belakang ada Adrian yang masih berdiri dan menunggu, "Om sebentar," ucapku lalu berjalan ke arah Adrian.
Mata Adrian menatapku dengan penasaran, "Lun, ada apa?" tanyanya saat aku sampai dihadapannya.
Aku menatap Adrian yang menahan tangannya, "nggak apa-apa. Maaf aku harus pergi," ucapku melepaskan genggaman Adrian pada lenganku, lalu aku berjalan meninggalkan Adrian yang masih terdiam.
Saat aku masuk ke dalam mobim, sasana di dalam mobil menjadi dingin karena tidak ada pembicaraan apa pun. Aku hanya diam tanpa berbicara, pandanganku menarap jendela.
"Kamu mau bicara di mana Luna?" tanya om Juna dengan berhati - hati.
"Ke rumah Luna aja Om," ucap Luna yang dijawab anggukan Om Juna, aku kembali diam setelah itu.
Mobil melaju dengan kecepatan cukup tinggi, tidak perlu waktu lama om Juna sudah memarkirkan mesin mobilnya tepat di apartemen. Setelah aku tinggal sendiri aku memutuskan tinggal di apartemen milik ibu, aku tidak sanggup jika harus tinggal di rumah dan syukurlah om Juna dan tante Erly mengerti keadaanku.
Setelah keluar dari mobil aku berjalan menuju lift, di belakangku om Juna dan pria itu diam tanpa berkata apapun. Setelah keluar lift aku berjalan menuju apartemenku lalu membuka pintu apartemen membiarkan Om Juna dan laki-laki yang dikenalkan oleh om Juna sebagai ayahku masuk.
"Luna, Om akan kasih waktu buat kalian bicara," ucap om Juna terdengar canggung lalu keluar dari dalam apartement. Om Juna berjalan kembali ke luar meninggalkan aku dan laki-laki itu yang entah aku harus memanggilnya apa.
Selama beberapa saat kami terdiam, "Luna, ayah tahu ini sangat canggung tapi sekarang ayah senang bisa bertemu langsung dengan kamu. Sebelumnya ayah meminta untuk semuanya," ucap ayah menatap mataku dalam, aku menatapnya dengan pandangan dingin.
"Mengapa kembali?" tanyaku, dari ribuan pertanyaan yang selama ini muncul entah mengapa pertanyaan itu yang pertama terucap dari mulutku.
"Luna, Ayah minta maaf sama kamu dan tolong percaya sama Ayah. Apa yang selama ini Luna dengar itu tidak benar," ucap Ayah dengan pandangan mata dalam, aku tahu dia mungkin sakit hati denganku tapi jika mengingat yang sudah kualami aku tahu sakit hatiku lebih dalam daripada ini.
"Lalu mengapa Ayah dipenjara selama ini, yang entah ada di mana jika itu tidak benar," lanjut Ayah mencoba untuk membela dirinya.
Aku menggelengkan kepalaku, "Luna tolong percaya sama Ayah, maaf jika selama ini Ayah tidak pernah ada di samping Luna dan Ibu."
"Ibu? Ayah tau apa memangnya tentang semua yang terjadi sama Ibu? Ayah nggak tau apa-apa!" ucapku dengan nada tinggi, jujur saja aku sangat kesal dan marah saat mendengarkan ucapannya.
Air mata mulai turun mengalir melewati pipiku, entah mengapa kekecewaan dan kebencian ini tidak bisa aku hilangkan. Berkali-kali ibu mengenalkan ayah kepadaku saat aku kecil, meski hanya lewat foto yang mulai terlihat usang saat itu. Ibu menjelaskan jika ayah adalah orang terbaik dan bertanggung jawab yang ia kenal, bahkan jika ibu diberi kesempatan kedua untuk memilih, ibu tetap memilih ayah sebagai suaminya.
"Maaf, Ayah tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf, Ayah hanya menjadi beban kalian. Maaf, tapi izinkan Ayah untuk membayar semua itu. Sekarang cuma kamu yang Ayah punya," ucap Ayah dengan mata memerah, air mata menuruni pipiku.
Aku semakin menangis mendengar kata-kata itu, entah mengapa aku makin teringat dengan semua ucapan ibu mengenai kebaikan ayah. Tetapi, tetap saja aku merasa jika aku masih tidak bisa untuk menerima semua ini.
"Bagaimana? Bagaimana cara Ayah membayar semua itu?" tanyaku dengan nada yang terdengar dingin.
"Apapun itu Ayah akan lakukan, Ayah akan secepat mungkin mencari pekerjaan lagi dan mengembalikan kepercayaan kamu. Yakinlah jika Ayah sangat menyayangi kamu, Luna."
"Lalu, bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan label anak pembunuh yang ada padaku? Bagaimana aku menghapusnya?" tanyaku masih dengan menangis sedangkan ayah kini terdiam disampingku.
Hari ini pertama kalinya aku melihat air mata yang mengalir di pipi Ayah. Aku diam lalu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarku, meninggalkan ayah tanpa sepatah kata pun. Mungkin, hari ini adalah hari yang menyakitkan untuk aku dan ayah. Hari ini, kami sama-sama menangis dengan beban pikiran kami yang mungkin berbeda.
Aku tahu ayah pasti kesal denganku, tapi bagaimana dengan aku. Bertemu secara tiba - tiba seperti ini juga membuatku terkejut. Rasanya aku ingin berlari menghindar jika tidak mengingat jika aku harus menghadapi apa yang terjadi sekarang, meskipun aku masih takut.
Mataku tertutup dalam beberapa saat, air mata mengering di pipiku dengan mata yang masih sembab ketika kantuk menyergapku. Kepalaku terlalu pusing dan lelah untuk memikirkan hal ini lebih lanjut, untung saja kantuk menyelamatkanku kali ini membawaku dalam gelapnya malam.
Cahaya masuk melewati gorden yang masih tersibak, sepertinya aku lupa menutupnya semalam. Aku terbangun dengan mata yang membengkak karena semalaman menangis. Jam di dinding kamar menunjukkan jam 6 pagi, hari ini sepertinya aku tidak akan pergi ke sekolah. Terlalu banyak masalah yang melayang dipikiranku.
Aku membuka pintu kamar, tidak ada siapa pun di ruang tamu dan dapur. Aku melihat sepiring nasi goreng sudah tersaji di atas meja makan dengan sebuah kertas yang berisi pesan jika ayah akan memberikan aku waktu. Ayah akan pulang saat aku tertidur dan pergi saat pagi.
Aku mengambil s**u yang ada di dalam kulkas lalu meminumnya. Kepalaku terlalu berat untuk terlalu lama berdiri, akhirnya aku memilih kembali ke kamar. Aku menyambungkan telepon pintarku dengan pengisi daya, terlihat gambar baterai yang mulai naik dan turun menandakan jika pengisian daya dimulai.
Rasanya aku ingin kembali tidur, tapi sayang tidak bisa. Aku membuka laptopku dan melanjutkan pekerjaanku. Entah karena terbiasa, saat sedang banyak pikiran aku biasanya mengerjakan tugas untuk mengalihkan pikiranku dari permasalahan. Aku menghidupkan ponselku yang masih mengisi daya saat teringat harus mengirimkan draf bab pertama pada editorku. Sebelumnya aku mengirimi pesan permintaan maaf karena telat mengirim naskahku, untungnya aku tidak mengalami masalah dan langsung aku kirimkan kepadanya.
Aku membuka pemberitahuan dan melihat apa saja yang aku lewatkan, tapi aku sedikit terkejut saat melihat 28 panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak aku kenal. Aku melihat kembali nomor tersebut dan berniat mengirimkan pesan, jikalau saja ada hal penting yang aku lewatkan.
08179274**
15.00
Lun, gak apa apa kan?
15.02
Lun?
15.03
Lun ada masalah?
15.10
Lun, kok nomer kamu gak aktif?
15.11
Lun, aku Adrian.
15.12
Lun, tadi siapa?
15.35
Lun, bls pesan ini klo kamu udh aktif
08.15
Aku gak apa-apa.
Aku menyimpan nomer Adrian, entah mengapa ada sedikit ketenangan saat menerima perhatian itu dari Adrian.
Adrian memanggil
"Halo," ucapku dengan suara serak.
"Lun, baik-baik aja kan?" tanya Adrian dari balik telepon.
"Iya," jawabku singkat.
"Syukur deh, Lun. Kirain kenapa-kenapa. Dihubungin juga susah banget."
"Maaf."
"Nggak apa-apa, selagi kamu nggak kenapa-kenapa."
"Tapi, bukannya sekarang lagi jamnya Bu Puji?"
"Aku izin ke toilet Lun," ucap Adrian yang menbuatku tertawa kecil.
"Ya udah, balik ke kelas sana."
"Iya-iya, kalo ada apa-apa langsung hubungin aku ya, Lun."
"Iya, ya udah aku matiin, ya?"
"Iya," jawab Adrian. Aku langsung mengakhiri panggilan, aku menatap tidak percaya pada layar ponselku.
Aku membuka daftar kontak di ponselku dan mencari kontak Om Juna. Aku langsung menelponnya sesaat setelah menemukannya.
"Halo, Luna ada apa? Ada masalah?"
"Em ... Om maaf kalo Luna bikin Om khawatir. Om nggak perlu cemas, Luna baik-baik aja."
"Bagus kalo gitu Lun."
"Em ... Om, boleh minta nomer telepon pria itu?"
"Kayaknya Ayah kamu belum ada handphone Lun, jadi Om nggak ada kontaknya. Memangnya Ayah kamu kemana Lun? Kemarin baik-baik aja 'kan?"
"Iya Om, tadi ada ninggalin note katanya mau pergi cari kerja. Ya udah Om kalau gitu, Luna mau beresin rumah dulu ya Om."
"Ya udah Lun, kalau ada masalah cerita ya."
"Iya Om, makasih ya. Luna tutup ya Om," ucapku lalu mengakhiri panggilan setelah menerima jawaban dari Om Juna.
Aku merapikan kamar dan rumah, setelah selesai aku segera mengambil tas selempangku dan memasukkan payung lipat ke dalam tas. Aku mengambil sebotol minuman di kulkas, lalu menatap nasi goreng yang mulai mengeras di piring. Dengan pena yang aku keluarkan dari dalam tas, aku mengambil selembar note dan menempelkannya di pintu kulkas.
Silakan lakukan apa pun di sini, terserah kapan akan pergi dan kembali. Asal, jangan mengangguku.
Anggap saja kita tidak pernah saling kenal.
Pandangan mataku berhenti seketika menatap ke arah note yang tertempel di pintu kulkas, aku menarik napasku dalam. Berbicara dengan sosok yang harus aku panggil ayah saat ini rasanya sangat tidak mudah, aku belum begitu siap untuk ini semua.
Memang aku ingin ia kembali, karena ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya. Tapi aku tidak menyangka jika aku akan bertemunya dengan cepat dan semudah ini, tidak pernah terlintas di benakku. Padahal, aku memang bisa meminta bantuan untuk bertemu dengan ayah sejak lama tapi entah mengapa semua orang berusaha membuatku mengalihkan pikiranku untuk bertemu dengan ayah.
Napas berat kembali aku hembuskan, aku tahu om Juna pasti tahu banyak tentang ayah tapi yang membuatku sedikit kecewa adalah ketika om Juna tidak memberitahuku terlebih dahulu mengenai kembalinya ayah. Tapi sebagai orang yang selalu membantuku, alangkah tidak tahu dirinya aku jikaa bersikap seperti itu kepada ok Juna yang selama ini selalu ada. Langkah kakiku bergerak meninggalkan dapur, aku berdiri sambil mengambil langkah kembali menuju ruang tamu lalu mendudukkan diriku sendiri di kursi sofa yang terlihat nyaman itu sambil masih bergelut dengan isi kepalaku.