BAB 3

1386 Kata
Aku melepaskan tanganku setelah Adrian menarikku keluar cukup jauh dari kelas, ia menatapku entah dengan tatapan seperti apa karena aku tidak bisa mengartikannya. "Maaf, tapi sebaiknya jangan ikut campur. Aku akan membersihkan mejamu,” ucapku dengan nada dingin, aku benar - benar ingin menghindari Adrian. Entah mengapa, perasaanku mengatakan akan sangat rumit menghadapi Adrian. Makanya, aku lebih memilih untuk menghindarinya dari sekarang. Aku tidak mempunyai waktu untuk mengurusi masalah lain, sedangkan masalahku sendiri sudah banyak. "Aku tidak ikut campur, hanya saja mereka juga mengotori mejaku," jawab Adrian santai. "Itu semua karena aku, jadi aku meminta maaf. Aku akan membersihkannya," ucapku lagi namun kali ini lebih tegas dari sebelumnya. "Gak perlu, biar aku saja. Lagian itu mejaku kenapa kamu yang membersihkannya," ucap Adrian menjawab ucapanku. "Bagaimanapun aku akan bertanggung jawab," ucapku tetap mempertahankan perkataanku, itu memang karenaku sedangkan tidak mungkin aku membiarkan Adrian yang notabennya murid pindahan malah harus mengatasi itu. Entah aku harus berterima kasih kepadanya atau harus malu karena semua ini. Sebagai anak baru, Adrian tidak seharusnya menerima semua itu. "Lain kali, biarkan saja. Aku sudah terbiasa." Aku pergi berjalan meninggalkan Adrian yang masih diam di tempatnya. Meskipun begitu, setidaknya aku bersyukur Adrian tidak mengejarku atau lanjut berbicara kepadaku setelah aku berjalan melewatinya begitu saja. "Luna, gimana udah selesai?" tanya Editorku mengecek pekerjaanku, memang aku tengah disibukkan dengan merevisi beberapa bab dari novelku yang akan segera diterbitkan. "Bentar lagi, Kak. Ini udah editing terakhir." "Oke-oke. Nanti langsung kirim ke email aja, ya." "Oke, Kak," jawabku sambil masih menatap fokus layar laptop. Aku menyimpan file yang baru saja kukerjakan, lalu mengirimkannya lewat email. "Kak, udah aku kirim. Cek aja ya di email yang biasa," ucapku yang dijawab anggukan. Aku mengemasi beberapa buku dan memasukan laptopku ke dalam totebag. "Kak, aku duluan, ya," ucapku yang masih dijawab dengan anggukan. Aku keluar dari kantor sederhana, satu-satunya tempat yang menerimaku karena bakatku. Aku mengikuti jejak ibu sebagai penulis sebuah n****+. Sebenarnya ini bukan pekerjaan yang bisa menjamin masa depan, tapi sudah cukup jika hanya untuk memenuhi beberapa kebutuhan. Meski, aku tetap harus berhemat. Aku masuk ke dalam sebuah rumah kecil peninggalan ibuku sejak 2 tahun yang lalu. Aku kembali ke rumah ini setelah mendapatkan banyak larangan dari Om Juna karena ia merasa aku masih terlalu muda untuk semua ini. Tapi, setelah aku mencoba meyakinkannya akhirnya dia menyetujui keputusanku. Tok... Tok... Tok... Aku berjalan dan menarik daun pintu, terlihat Om Juna dan Tante Erly datang. Aku mempersilakan mereka masuk. "Kamu baru pulang?" tanya Tante Erly. "Iya, Tante. Nyerahin naskah terakhir sekalian rapat." "Gimana jadinya? Lancar?" sambung Om Juna. "Alhamdulillah, Om," jawabku. Aku membawa nampan yang di atasnya tertata dua gelas teh hangat yang baru saja aku buat. "Silakan diminun, Om, Tante." "Ini, ada beberapa bahan makanan buat disimpen." "Ya ampun, harusnya nggak perlu. Maafin Luna karena ngerepotin Om sama Tante terus." "Enggak apa-apa kok, lagian Tante sama Om udah anggap Luna kayak anak sendiri." "Ya udah Luna, kita pamit pulang dulu ya. Soalnya temen Tante yang baru pulang dari Jepang mau mampir ke rumah." "Iya Tante, maaf kalo Luna nggak bisa nyediain apa-apa." "Gak apa-apa, ya udah Om sama Tante pamit ya." Aku mengikuti Om Juna dan Tante Erly, mengantarnya ke mobil. Perlahan mobil berjalan menghilang melewati jalan, aku kembali masuk ke rumah. Setelah membereskan rumah, aku melirik jam yang sudah menunjukkan jam 10 malam. Aku membuka buku yang berisi tugas dari guru dan mencoba mengerjakannya. "Luna, udah ngerjain PR?" Aku menatap sosok yang baru saja datang dan duduk di sampingku. Ia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya dan mengambil buku tulis yang berada dihadapanku. "Liat, ya," ucap Adrian yang langsung membuka halaman pertama dari buku tulisku tanpa menunggu izinku terlebih dahulu. Aku ingin melarang sebenarnya, tapi Adrian terus saja berbicara jika ia tidak lupa mengerjakan tugasnya. Aku bersikap tidak peduli dan memberikan buku bersampul putih dari bawah laci mejaku pada Adrian yang tentu saja langsung diterimanya dengan semangat. "Ini yang pertama dan terakhir," ucapku dengan sedikit berbisik, tapi yakin dapat didengar oleh Adrian. "Nih, makasih, Lun. Untung aja dikit," ucap Adrian mengembalikan bukuku. Bel masuk berbunyi, tak lama seorang guru masuk ke kelas. Ia mulai menjelaskan pelajaran dan menuliskan beberapa rumus kimia di papan tulis. "Lun." "Luna." "Lunaaa!" Aku menoleh ke arah Adrian setelah beberapa orang yang duduk di sekitar kami menoleh karena mendengar suara Adrian. "Istirahat makan bareng yuk nanti, aku nggak ada temen. Kayaknya makanan di kantin enak," ucap Adrian setengah berbisik. "Silakan makan di kantin. Aku bawa bekal." "Yah, Lun," ucap Adrian memelas, tapi tetap tidak terlalu aku gubris. "Ya udah, tapi kita temenan, kan, Lun?" "Nggak," jawabku singkat. Aku berdiri dari tempat dudukku dan seperti biasa mampir ke loker untuk mengambil bekal makananku lalu berjalan ke taman belakang sekolah. Aku membuka kotak makananku, beberapa sosis telur dengan saus tiram dan nasi. Tidak banyak memang lauk yang aku bawa, tapi cukup untuk makan siangku hari ini. Bruggg.... Aku menatap ke sebelahku, ketika Adrian datang membawa s**u kotak dan beberapa makanan ringan. Entah bagaimana ia menemukan aku lagi di sini, padahal aku terbiasa sendiri. "Kamu?" ucapku nenatap kehadiran Adrian. "Makan bareng, Lun," jawab Adrian lalu memakan roti yang ia bawa. "Bukannya banyak yang mau temenan sama kamu?" tanyaku sedikit heran. "Salah, Lun. Yang bener banyak yang mau manfaatin." Aku menatap Adrian sekilas tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan, entah apa yang ia maksud. Aku menyelesaikan makanku dan merapikan kembali kotak bekalku. Adrian yang mungkin melihatku juga ikut memasukan beberapa makanan yang ia bawa tadi ke dalam kantong plastik. Sedangkan aku kini berjalan meninggalkan Adrian yang masih sibuk, sebenarnya aku ingin membantu Adrian tapi aku tidak ingin Adrian menjadi lebih akrab denganku. Saat akan membuka pintu hampir saja aku terjatuh karena keramik basah yang menjadikannya licin pada lantai. Beberapa teman sekelasku mulai tertawa, aku tetap diam dan berjalan menuju kursiku. "Adrian, kemana aja lo? Nanti pulang mabar ayo?" ajak seseorang pada Adrian yang Salsa tidak kenal sama sekali, mungkin teman Adrian. "Gue nggak bisa," jawab Adrian cuek. Adrian lalu duduk di sebelahku, aku tahu itu setelah melihat sepatu biru Adrian. "Adrian, ini." "Anak pembunuh, awas gue mau bicara sama Adrian." Aku berdiri setelah suara yang aku yakini milik Anggi berbisik di telingaku. Aku mengangkat kepalaku dari atas meja, sebenarnya leherku sakit karena cukup lama menunduk. "Sorry ya, udah mau masuk. Gue juga nggak suka cokelat," ucap Adrian menahan lenganku saat aku baru berdiri dari mejaku dan bersiap keluar. Anggi menatap mataku tajam, lalu pergi meninggalkan mejaku dan Adrian. "Lain kali, nggak perlu pergi." Aku diam setelah mendengarkan ucapan Adrian. "Ke depan bareng, Lun," ucap Adrian. Aku mengangguk sambil masih merapikan beberapa buku pelajaran ke dalam tasku. "Udah, Lun?" tanya Adrian yang sudah lebih dulu menyelesaikan kegiatannya. "Udah," jawabku singkat lalu berdiri setelah Adrian juga berdiri dan memberikanku ruang untuk lewat. "Ya udah, ayo." Aku dan Adrian berjalan bersama, entah hanya aku yang merasa atau bagaimana tapi mengapa makin banyak tatapan tajam dari murid lain saat melihat aku dan Adrian. "Nggak usah dianggep, Lun," ucap Adrian tiba-tiba. Aku dan Adrian terus berjalan melewati lapangan sekolah, "aku bawa motor, mau bareng nggak?" tanya Adrian. "Nggak," jawabku cepat. Tapi, saat itu pandanganku beralih pada sosok yang kukenal. Aku melihat sosok Om Juna yang ada di depan pintu gerbang melambaikan tangannya padaku. Aku mempercepat langkahku mendekati Om Juna, entah mengapa tiba-tiba firasatku tidak enak karena jarang sekali Om Juna ke sekolah karena aku yang melarang dan menolak. "Luna," ucap Om Juna lembut. "Tumben, Om. 'kan nggak perlu jemput Luna." Sebenarnya aku merasa senang dengan om Juna uang menyisihkan waktunya untuk terus peduli kepadaku, tapi aku juga menjadi merasa tidak enak karenanya. Aku tidak pernah meminta om Juna menjemputku, bahkan ia pernah menawarkanku untuk memberiku supir yang akan mengantar jemputku tapi dengan cepat aku menolak. Sudah terlalu banyak yang aku terima mana berani aku menerima lagi, aku tidak ingin lebih banyak berhutang budi. "Luna, sebenarnya ada yang mau ketemu sama kamu." Aku dapat melihat Om Juna yang sedikit khawatir dan berbicara dengan hati-hati, entah mengapa aku juga merasakan perasaanku semakin buruk. "Siapa Om?" tanyaku datar meski sebenarnya aku tahu siapa yang berada di dalam mobil Om Juna karena aku sudah melihat dari jauh saat berjalan mendekati Om Juna. Tepat saat itu, sisi lain pintu mobil terbuka menunjukan seorang pria yang selama ini aku pertanyakan dan hanya mampu aku lihat dari foto yang selalu ibu tunjukkan padaku saat aku kecil. "Dia Ayahmu, Luna."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN