BAB 12

1351 Kata
Setelah kondisiku yang menurun beberapa hari lalu, akhirnya pagi ini aku datang ke sekolah lebih awal, aku duduk di kursiku. Untungnya kelas masih kosong, membuatku mengambil kesempatan untuk tidur. Aku sengaja datang ke sekolah lebih awal karena malas dengan keramaian di pagi hari, terlebih di depan sekolah biasanya akan macet karena kendaraan yang berlalu - lalang di tambah dengan kendaraan yang berhenti setelah mengantar di depan sekolah. Datang lebih awal bukannya tidak seenak itu, apalagi di tambah suasana sekolah yang masih sepi membuat rasa tenang dan nyaman sebenarnya. Namun tidak berlaku bagi seseorang yang tidak menyukai suasana sepi, tapi untuk aku suasana seperti ini sangat menenangkan. Tanganku aku telungkupkan, memendam kepalaku dari balik tanganku. Aku memang merasa ngantuk namun aku tidak bisa untuk tidur dengan nyenyak, setiap ada sedikit suara aku pasti terbangun. Srttttt.... Aku terbangun dari tidurku yang entah sudah berapa lama, aku melihat Adrian baru saja datang. Ia menarik kursi, lalu duduk disampingku. Mataku menatap Adrian sekilas, tanpa berbicara aku menatap ke sekeliling kelas sejenak yang memang ternyata suasana kelas masih sepi hanya beberapa orang saha yang baru datang. Aku membalikkan kepalaku, aku menatap Adrian yang menatapku dengan senyum kecil. Adrian menangkupkan sebelah tangannya dan menjadikannya sangahan untuk kepalanya, ia menatapku membuatku memejamkan mataku menghindari tatapan Adrian. "Kamu keganggu ya?" ucap Adrian. Suara Adrian memang terdengar lembut meskipun agak serak, aku tidak menjawab dan mengabaikan pertanyaan Adrian. Entah mengapa aku terlalu malas menanggapinya, moodku juga pagi ini tidak terlalu baik sehingga aku lebih memilih untuk diam saja. Aku bangkit dari posisiku menjadi duduk tidak lagi menyandarkan kepalaku pada meja. Tangan kananku memegangi kepalaku yang terasa sedikit pusing dan berat. "Udah nggak apa-apa, Lun?" tanya Adrian. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, kulihat sekotak s**u dan sebungkus roti lalu ia serahkan kepadaku. Aku menatap bungkusan sarapan yang diberi oleh Adrian, tuben sekali Adrian begitu perhatian. "Makan, Lun. Jangan lupa sarapan." Mataku mengarah ke arah Adrian, dengan senyum tipis di sudut bibirku aku menggelengkan kepalaku pelan menolak pemberian Adrian. "Em ... aku baru makan obat jadi nggak bisa minum s**u. Kamu aja yang makan," ucapku pada Adrian, tapi ia tetap memberikan s**u dan sebungkus roti itu kepadaku. "Luna, masih masuk sekolah ya. Kirain udah nggak sekolah lagi," ucap Anggi yang bertingkah seakan kaget saat melihatku berada di dalam kelas. Aku berusaha untuk tidak memedulikannya, apalagi saat tiba-tiba ia duduk di depanku. Untungnya, Adrian yang seakan mengerti langsung meminta Anggi kembali ke tempat duduknya meski dengan alasan bel masuk sudah berbunyi. Tidak lama, seorang guru benar-benar masuk dan memulai pelajaran. Deretan angka memenuhi papan tulis, aku pun ikut menyalin deretan angka tersebut ke dalam buku catatanku. Semalam aku belajar cukup lama, untungnya lagi Adrian dengan baiknya rela menyalinkan catatan pelajaran yang selama beberapa hari ini sudah aku tinggalkan. Tidak terasa pelajaran pertama berhasil, pelajaran kedua kami diakhiri dengan jam pelajaran kosong karena besok adalah hari pertama pelaksanaan try out. Apalagi masa-masa ujian nasional semakin dekat membuat semua orang berkonsentrasi. "Makan bareng nanti, aku bawa bekal." Aku tersenyum kecil, lalu mengangguk sambil masih mengerjakan beberapa soal dari buku contoh soal ujian nasional yang aku dapatkan dari Adrian. Memang perlahan Adrian bisa mengajakku berbicara dengan santai meskipun aku sering mendiamkannya atau tidak menyautinya, tetapi Adrian tetap saja tidak menyerah mengajaku berbicara membuatku terkadang merasa tidak enak kepada Adrian jika harus mendiamkannya terus menerus. "Udah bel," ucap Adrian. Entah dari mana semangat itu berasal, ia lebih dulu berdiri dari duduknya lalu memberikanku jalan. Kami berjalan bersama melewati koridor, anehnya tidak seperti biasanya kali ini aku tidak melihat tatapan benci dari murid lain. "Ngerasa aneh nggak?" tanyaku pada Adrian yang berjalan disampingku. "Apa yang aneh? Nggak ada tuh," balas Adrian. Aku tidak mengambil pusing dan terus saja berjalan hingga ke ruang penyimpanan. Kami berpisah, karena ruang penyimpanan siswa perempuan dan siswa laki-laki yang berbeda. Aku membuka lokerku, di dalamnya aku melihat lokerku bersih untuk pertama kali. Biasanya, sudah banyak sampah yang berjatuhan saat aku membuka loker. Memang bukan hal baru aku melihat lokerku seperti ini, setelah berita mengenai ayah tidak berhenti tersebar dari sejak aku masih di sekolah dasar aku juga sudah terbiasa menerima hal seperti ini bahkan rasanya dulu lebih buruk daripada ini. Bagiku, perlakuan mereka sekarang sedikit lebih baik. Tanpa pikir panjang, aku hanya mengambil bekal yang tadi kuletakkan di dalam loker lalu berjalan keluar ruang penyimpanan. Aku menarik sedikit sudut bibirku saat melihat Adrian, lalu menghentikan langkahku tepat di depannya. "Udah, Lun?" Aku mengangguk, lalu kami berjalan bersama menuju taman belakang. Seperti biasa taman ini sepi, hanya beberapa siswa saja yang lewat setelah praktikum. Selain itu, sebenarnya taman belakang ini cukup menyenangkan karena tanaman bunga sedang mekar dengan indahnya. "Kamu nggak malu bawa ginian?" tanyaku menahan tawa. Aku tidak masalah jika Adrian membawa bekal makanan, mungkin itu masih hal yang biasa tapi yang membuatku tertawa lebar adalah kotak makanannya yang berwarna pink. Bahkan milikku saja tidak berwarna pink, aku tertawa lepas saat tidak bisa menahan tawa lagi. "Terus ketawain aja, iya terus." Tawaku makin keras, apalagi melihat ekspresi kesal dari wajah Adrian yang menurutku semakin lucu. "Lagian, kamu bawa kotak bekal siapa, sih?" tanyaku diakhiri dengan tawa yang masih belum hilang. "Punya adekku, Lun. Puas ngetawainnya?" "Lagian, warna pink lagi. Gambar Hello Kitty, cie ...." "Please, Lun. Masalahnya kotak bekal punyaku Mama lupa naruh di mana. 'Kan udah nggak pernah bawa ginian," ucap Adrian yang terdengar seperti membela diri. "Iya percaya deh sama meong pink," ucapku mengolok-olok Adrian. Aku tertawa puas sambil membuka kotak bekalku, setelah beberapa saat menenangkan diri aku mengakhiri tawaku meski wajah cemberut Adrian masih bertahan. "Ya udah makan. Ini kamu mau nggak? Tante Erly masakin semur ayam sama tahu," tawarku menyodorkan kotak yang berisi lauk kepada Adrian. "Wah ... aku suka banget semur tahu, Lun." Adrian mencomot sepotong tahu dari kotak lauk, aku dapat melihat Adrian merasa puas dengan rasa semur tahu buatan Tante Erly. Siapa pun yang pernah makan masakan Tante Erly, memang pasti akan merasakan ketagihan. Entah apa resep yang digunakan, tapi masakan Tante Erly memang selalu enak. "Ini cobain juga, Lun," ucap Adrian gantian menyodorkan kotak lauknya. Aku mengambil dan mencicipinya, ternyata masakan Mama Adrian juga cukup enak tidak kalah enak dengan masakan Tante Erly. Selama beberapa saat kami terdiam, hanya ada suara angin yang mengenai daun tedengar sesekali. Kami lebih sibuk dengan makanan kami, membuatku bersyukur mempunyai teman makan seperti Adrian. Tidak terasa, makanan yang kami makan habis dengan cepat. Kami membungkus dan menyusun kembali kotak bekal dan meminum air mineral botol yang tadi sempat Adrian beli di kantin. Aku berdiri dari tempatku duduk lalu duduk di ayunan, mengayunkan dengan perlahan, membiarkan angin membelai rambutku lembut. "Kok tumben panas banget, ya," ucapku menutupi sinar mentari yang menyinari padanganku dengan tangan. "Neduh aja, Lun," ucap Adrian duduk di bawah pohon. Aku menggeleng dan memilih masih duduk di bawah ayunan. Sejuk sebenarnya, tapi mungkin matahari tengah bersinar cerah hari ini, oleh karena itu panas yang dipancarkan tidak seperti biasa. "Udah lama banget nggak gini, anginnya adem juga." "Lun, inget, kamu baru sembuh kemarin. Jangan aneh-aneh, deh," protes Adrian, ia juga menatapku kesal karena aku yang tidak mendengarkannya. "Btw, coba buka kotak itu." Aku menunjuk sebuah kotak kecil yang tadi kusembunyikan di bawah kursi, untungnya Adrian tidak menyadarinya. "Apa ini?" tanya Adrian bingung. "Buka aja," ucapku membuat Adrian penasaran. Tanpa banyak tanya, ia membuka penutup kotak itu. Mengambil sebuah kertas yang sudah kutulis tadi pagi. Selamat, kamu mendapatkan hadiah. Silakan ambil sendiri hadiamu, kode pertama : gelap. "Ini apa?" tanya Adrian menatapku penuh keheranan. "Hadiah," ucapku senang. "Cuma surat?" tanyanya bingung. "Kamu liat kodenya, itu kode pertama. Kamu harus cari sendiri kode selanjutnya dan temuin tempat hadiahnya." "Ya ampun, Lun," ucap Adrian tidak yakin dengan kelakuanku. "Ini kamu nggak lagi jahil 'kan?" lanjutnya lagi sambil menatapku penuh heran. "Enggak, beneran ada hadiah kok. Tapi temuin sendiri tempatnya," balasku percaya diri. "Oke, pasti aku temuin." "Adrian bisa minta tisu," ucapku saat aku merasakan tiba-tiba pilek. Memang biasanya aku akan tiba-tiba pilek saat berada di udara yang terlalu panas atau berada di ruangan yang terlalu dingin. Tubuhku memang terlalu sensitif dengan udara, aku mengusap hidungku karena pilekku semakin membuat hidungku berair. Adrian berjalan mendekatiku membawa sebungkus tisu, "Luna! Kamu mimisan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN