BAB 13

1402 Kata
Aku melihat Adrian yang berlari mendekatiku, tapi pandanganku semakin kabur. Saat aku merasa Adrian menyentuh pundakku aku langsung kehilangan kesadaranku. Tubuhku terjatuh di dalam pelukan Adrian yang segera menangkapku sebelum menghantam lantai. Saat aku terbangun, mataku melirik seluruh ruangan yang ternyata sekarang aku tengah terbaring di ruang perawatan sekolah, untungnya di sampingku ada Adrian meskipun saat ini ia masih menatapku dengan pandangan khawatir. Adrian meraih tanganku mengenggamnya begitu erat, aku ingin memanggilnya karena menelungkupkan kepalanya pada genggaman tangan kami tapi aku seakan tidak bisa berbicara. Aku mencoba untuk menggerakkan jariku dan saat Adrian menyadari jariku bergerak ia langsung menatapku penuh perhatian. "Hei," ucapku pelan memegang lengan Adrian, namun sorotan mata Adrian masih menatapku bingung. Aku tersenyum kecil membalas senyum Adrian, matanya terlihat sayu dan lemah. Aku ingin mengatakan aku tidak apa - apa tapi mulutku seakan sulit untuk kubuka, bahkan saat Adrian meletakkan tanganku kembali di kasur aku tidak bisa mengangkatnya kembali. Adrian langsung meraih tanganku, "Bentar, ya. Aku panggil dokter dulu," ucap Adrian berdiri dari duduknya dan berjalan keluar ruangan. Tidak lama, aku mendengar suara langkah kakinya terdengar cepat, benar saja tidak lama ia kembali dengan seorang lelaki berusia sekitar 30-an yang memakai jas putih. "Saya periksa sebentar, ya," ucap dokter tersebut mulai mengecek kondisiku. Aku mengangguk membiarkan dokter itu memeriksa diriku, ia menempelkan stetoskop di dadaku sambil memperhatikan jam yang ada di pergelangan tangannya. "Apa kamu susah bernapas?" tanya dokter padaku. Mendengar pertanyaan itu aku mencoba menarik napas lalu menghembuskannya beberapa kali, "enggak, Dok," ucapku setelah mencoba beberapa kali menarik napas. Suaraku terdengar pelan dan serak, tenggorokanku rasanya begitu kering. Ini saja aku sudah bersyukur bisa menjawab pertanyaan dari dokter tadi dengan baik tanpa masalah. Sebelumnya aku tidak memperhatikan kondisi pernapasanku, saat dokter bertanya aku langsung mencobanya. Kemudian dokter itu menyorotkan cahaya dari senter pada mataku, entah apa yang ia periksa aku juga tidak mengerti. "Kamu kayaknya kelelahan dan kamu juga demam. Apa demam kamu tinggi kemarin?" tanya Dokter berusaha untuk mencari tahu keadaanku, ia bahkan mengecek infus yang tergantung. Aku terdiam sebentar lalu menggeleng, "Enggak, Dok. Saya baik-baik saja," ucapku karena entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang aneh. "Dia baru pulang dirawat di rumah sakit beberapa hari lalu dok," jawab Adrian memberikan penjelasan kepada dokter, aku benar - benar lupa jika Adrian tahu tentang keadaanku kemarin. "Kalau begitu, saat infus habis kamu sebaiknya pulang dan istirahat di rumah. Keadaan kamu belum pulih," ucap Dokter itu memberikanku saran, lalu ia pergi keluar ruangan meninggalkan aku dan Adrian. "Kamu sebaiknya kembali ke kelas aja," ucapku meminta Adrian pergi kembali ke kelas, waktu sangat berharga untuk murid kelas 3 seperti kami, aku juga tidak ingin belajarnya Adrian malah terganggu karena aku. Adrian menggelengkan kepalanya cepat, "gak apa - apa, aku akan temenin kamu di sini," ucap Adrian menolak ucapanku untuk kembali. "Gak Adrian, aku baik - baik aja di sini. Lagi pula aku tinggal nunggu cairan infus habis," ucapku dengan pelan berharap Adrian akan mengerti maksudku. Senyum kecil terlihat di sudur bibir Adrian, "enggak sampai aku ngehubungin ayah kamu," ucap Adrian tegas. "Ayah?" ucapku mengulangi pertanyaan Adrian, aku masih ragu apakah aku harus benar - benar menghubungi ayah. "Lun, nomer telepon Ayah kamu berapa? Biar aku kabarin," ucap Adrian yang membuatku terdiam beberapa saat, pikiranku masih bergulat. Aku memikirkan jika bersama dengan ayah, mungkin aku merasakan tidak nyaman. Aku juga tidak tahu harus bersikap seperti apa di depannya. Untuk saat ini, menghindar mungkin yang terbaik. "Ayah aku kayaknya kerja. Kalo kamu nggak keberatan bisa tolong telepon Tante Erly? Nomornya ada di ponselku, aku taruh di dalam tas. Kamu bisa ambil," ucapku menjelaskan letak ponselku karena aku tidak membawanya, aku juga tidak ingat nomor ponsel siapapun. "Ya sudah, aku ke kelas sebentar. Gak akan lama," ucap Adrian langsung berdiri daei posisi duduknha dan berjalan meninggalkanku sendiri di ruangan ini. Adrian mengangguk, lalu memintaku untuk menunggu sebentar karena ia akan ke kelas dan mengambil ponselku. Aku mengangguk, pilihanku hanya Tante Erly, jika Om Juna mungkin ia akan langsung memberi tahukan keadaanku pada ayah dan itu sama saja bohong jika sampai kejadian. Tidak lama kemudian, Adrian kembali dengan membawa ponselku setelah sebelumnya ia menelepon Tante Erly lalu memberikan ponselku kembali. "Iya Tante, Luna ada sama Adrian. Masih di UKS," ucap Adrian pelan. "Luna, Tante Erly mau bicara," ucap Adrian menyerahkan kembali ponselku. Aku mengambil ponsel yang disodorkan oleh Adrian dan langsung berbicara dengan Tante Erly. "Halo Luna," ucap tante Erly dengan nada suara yang terdengar cemas. "Iya, Tante." Terdengar helaan napas dalam dari balik telepon, "kamu gak kenapa - kenapa 'kan?" tanya tante Erly yang masih terdengar panik. Aku diam sejenak, "Tante tenang dan jangan panik, aku gak apa - apa. Kutarik napasku dalam dan aku terus mencoba untuk meyakinkan tante Erly yang terdengar sangat panik di telepon, aku bahkan mendengar langkahnya yang sangat cepat. "Kamu istirahat, Tante sekarang langsung ke sana. Jangan ngapa - ngapain," ucap tante Erly cepat, napasnya juga terengah - engah. "Iya Tante," jawabku langsung menuruti ucapannya. "Luna, kamu tunggu ya. Ini Tante langsung ke sekolah," ucap Tante Erly, aku dapat mendengar langkah kaki tante Erly yamg terdengan terburu - buru. "Tante jangan panik, aku nggak apa-apa. Tante, Oh iya, Luna mohon jangan bilang sama siapa-siapa, Tante aja yang ke sini. Ayah jangan tahu," ucapku memohon pada tante Erly, aku tidak ingin ayah yang sedang berkerja malah terganggu karenaku. "Iya, Lun. Tante berangkat dulu," ucap tante Erlya , setelah itu panggilan di antara kami berakhir. "Kamu balik ke kelas aja," ucapku saat melihat Adrian yang masih berada di ruang perawatan. "Nggak bisa, aku tungguin sampe Tante Erly datang. Aku khawatir, Lun," balas Adrian keras, membuatku malah menatapnya kesal. Aku menatap mata Adrian dalam, "kata kamu tadi mau balik ke kelas setelah nelpon, sekarangkan sudah. Lagi pula tante Erly akan segera datang," ucapku dengan nada sedikit meninggi, bahkan suaraku menjadi serak. Bukannya pergi, Adrian membuka sebotol air minum dan memasukan pipet ke dalamnya lalu menyodorkannya kepadaku. "Minum dulu," ucap Adrian lembut membantuku minum, aku menghisap air di dalam botol dengan bantuan pipet. "Tuh 'kan, kalau gak ada aku kamu gak bisa minum. Jadi biarin aku di sini," ucap Adrian mencari pembenaran untuk alasannya. Kali ini aku mengalah dan mengikuti perintah Adrian. Dari wajahnya saja terlihat jika ia cemas, aku hanya tidak ingin menambah beban pikirannya. Hampir 15 menit aku menunggu bersama Adrian, Tante Erly masuk diikuti dengan dokter yang tadi merawatku. "Terima kasih sudah merawat Luna," ucap Tante Erly pada dokter tersebut. "Sama-sama, Bu," balas dokter tersebut. Tante Erly langsung memeriksa kondisiku saat sampai, lalu meminta bantuan Adrian memapahku menuju mobil. "Tas aku masih di kelas," ucapku teringat dengan barang-barangku yang masih berada di dalam kelas. "Nanti aku anterin, kamu istirahat aja." "Iya bener, nanti tolong kamu beresin barangnya Luna ya, Adrian. Tante permisi dulu," ujar Tante Erly menyetujui ucapan Adrian. Adrian menutup pintu mobil, lalu Tante Erly memutar menuju kursi kemudi. Setelah berpamitan dengan Adrian, Tante Erly langsung menginjak gas mobilnya membawaku kembali ke apartemen. "Luna, kamu udah kabarin Ayah kamu?" tanya tante Erly. Aku menggeleng."Jangan bilang siapa-siapa ya, Tan. Jangan bilang ke Om Juna juga karena pasti bakal bilang ke Ayah." "Kamu ini, kalau begitu Tante harus sering pantau kamu. Kamu harus kabarin Tante terus kalau ada apa-apa," balas Tante Erly dengan nada yang terdengar khawatir. Sebenarnya aku merasa bersalah karena sudah membuat banyak orang khawatir dengan kondisiku, aku juga kesal karena tidak biasanya aku mudah sakit seperti ini. "Kamu istirahat aja. Nanti kalau sudah sampai Tante bangunin." Aku mengangguk dan menuruti ucapan Tante Erly. Lagi pula, jika bukan karena Tante Erly aku tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Hampir 20 menit berlalu, aku sudah mencoba tidur dengan berbagai arah, tapi aku tidak dapat memejamkan kepalaku. Apalagi leherku yang terasa sakit entah mengapa membuatku merasa tidak nyaman. "Loh, kok nggak tidur?" tanya Tante Erly sesaat setelah ia membuka pintuku. "Tante dari mana?" tanyaku menatap tante Erly yang baru kembali. "Tante habis beliin kamu obat. Pokoknya ini harus banget dihabisin. Walau kamu ngerasa udah oke, tapi harus habis ya." "Iya Tante. Makasih banyak, ya.' "Tante harus balik ke kantor, tapi Tante nggak yakin ninggalin kamu sendirian." "Ya ampun, Luna udah gede. Nggak apa-apa, Tante ke kantor aja. Luna janji akan baik-baik aja. Nanti kalo ada apa-apa Luna langsung hubungi Tante." "Bener ya?" tanya Tante Erly menatapku mencari kejujuran. "Iya Tante, hati-hati ya." "Ya udah, Tante pergi dulu." Tante Erly keluar dari kamarku setelah ia cukup yakin dengan janjiku, aku menghela napas lega karena tidak ingin lebih banyak merepotkan Tante Erly.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN