Hari ini aku merasa sangat bahagia, padahal sejak kemarin aku kesal terus menerus kepada Adrian, tapi tadi setelah Adrian meyakinkanku aku ingin tetap mencoba untuk mempercayainya. Adrian masih menatapku dalam membuatku salah tingkah sendiri karenanya, sama seperti tadi Adrian terus mengenggam tanganku sambil berbicara, sesekali ia bahkan melirikku seakan memastikan ekspresiku.
Adrian banyak cerita hari ini, tentang pekerjaannya barunya, ternyata Adrian juga sedang dalam masalah karena pekerjaanya menuntutnya untuk deadline yang cepat. Aku merasa sedikit bersalah karena tidak ada saat Adrian membutuhkan dukunganku dan malah terus memerus kesal karena alasan yang jelas padanya.
Setelah tadi Adrian juga menbahas hubungan kami, membuatku berpikir untuk berpikiran terbuka dan tidak terlalu menanggapi hal - hal yang tidak penting. Aku senang, karena Adrian tetap memikirkan hubungan kami, seperti Adrian yang biasanya aku kenal.
"Nanti malam makan di rumah ya, Mama minta aku ngajak kamu. Kamu bisa 'kan?" tanya Adrian, aku berpikir sejenak sebelum menjawab ajakannya.
Seketika aku terdiam, jujur saja sudah lama aku tidak bertemu dengan mama Adrian. Meskipun kami sesekali berbicara melalui pesan, ajakan mendadak Adrian membuatku merasa tidak enak. Mama Adrian selalu baik denganku begitu pula dengan Rara yang kini sudah semakin besar.
Aku cukup dekat dengan adik Adrian, bahkan pernah aku, mama Adrian dan Rara pergi bertiga dan berjalan-jalan. Sesekali juga mama Adrian mengajakku makan berdua atau menitipkan Rara ke rumahku dan membuat ayah senang marena ia merasa memiliki dua anak perempuan
.
"Kok kamu baru bilang, aku gak enak gak bawa apa-apa. Mama kamu 'kan selalu titipin makanan kalo kamu ke rumah," ucapku memprotes Adrian yang malah bilang saat kami tengah dalam perjalan, jika saja ia bilang sebelumnya aku bisa saja menyiapkan sesuatu.
"Hahaha ..., udah gak apa-apa. Mama bilang kalo kamu cukup datang saja ke rumah," ucap Adrian mencoba menenangkanku yang menatapnya kesal, padahal sebagai pacar aku juga harus bersikap sopan kepada mama Adrian.
"Jadi gimana apa kamu mau makan malam di rumah?" tanya Adrian menanyakan lagi pertanyaanya.
Aku terdiam sebentar, "iya aku mau," ucapku mengiyakan ajakan Adrian, lagi pula ayah sebelumnya mengirim pesan kepadaku jika akan pulang terlambat malam ini.
Tanpa terasa hari sudah mulai menggelap saat aku dan Adrian menghabiskan waktu seharian di rumah pohon, entah bagaimana Adrian bisa memikirkan ide ini.
Dulu saat kecil, aku bercita - cita tinggal di rumah pohon. Aku melihatnya di tv itu tampak sangat keren dengan pemandangan dari atas, tetapi setelah semakin dewasa aku sadar jika ternyata mencari rumah pohon itu cukup susah.
Aku cukup kagum dengan persiapan Adrian yang sudah menyimpan semua minuman dan cemilan di sini. Kami berniat untuk pulang agar tidak terlalu larut, sebelumnya kami memasukkan sampah plastik dari apa yang kami makan dan minum tadi ke dalam sebuah kantung.
Adrian turun lebih dulu dengan membawa sampah plastik itu, aku memintanya sedikit hati-hati saat kulihat ada lumut yang mulai mengisi tangga kayu ini. Ia menuruni satu persatu anak tangga, tetesan air mulai turun dan angin mulai berhembus kencang menerbangkan beberapa daun yang berada di atas tanah.
Setelah sampai bawah, gantian aku yang tutun ke bawah. Adrian terus menatapku was-was, karena saat turun memang berbeda rasanya dengan saat naik.
Aku melangkahkan kakiku perlahan mencari pinjakan yang kokoh. Aku sedikit terganggu saat angin menerbangkan debu membuat mataku kelilipan. Aku menghentikan langkahku sejenak karena angin yang semakin kencang seperti menandakan akan turun dengan deras hujan. Adrian terus mengawasiku, memintaku untuk tetap berhati-hati dan tidak perlu terburu-buru.
"Awas, licin. Jangan terlalu pinggir," ucap Adrian ikut memberikan arahan.
Akhirnya, aku sampai di bawah setelah beberapa saat. Lalu kami kembali ke mobil dan bergegas menuju rumah Adrian.
"Kita beli kue dulu ya, di toko yang aku waktu itu minta temenin kamu."
"Untuk apa? Udah gak usah repot-repot," tolak Adrian.
"Gak bisa, bentar aja. Aku gak enak nih," ujarku sedikit memohon pada Adrian berharap ia mengerti perasaanku.
Mama Adrian sangat baik padaku, dari kalung yang hingga saat ini kupakai sampai terjadang mama Adrian memberikanku baju atau sepatu yang aku tahu cukup bagus dan mahal.
Sedangkan aku, aku jarang bertemu dengan mama Adrian. Makanya, untuk kali ini aku ingin memberikan sesuatu.
Adrian mematikan mesinnya saat sudah sampai di toko kue yang aku maksud, aku mengajak Adrian untuk masuk dan membantuku memilihkan kue.
"Mama sama Rara suka yang mana?"
"Mereka suka apa pun sih," ucap Adrian setelah beberapa saat mengingat.
Adrian terus mengikutiku berjalan melihat setiap kue yang terpajang, aku juga bingung akan membeli kue apa.
"Kalo yang ini suka ga? Ada banyak buahnya juga," tanyaku pada Adrian meminta pendapat menujuk sebuah kue yang dikelilingi oleh bunga.
"Boleh juga," balas Adrian setelah beberapa saat melihat kue yang tadi kutunjuk.
Aku langsung memesan kue itu dan berjalan ke kasir. Adrian mengeluarkan dompetnya hendak membayar namun langsung aku cegah.
"Ini aku beliin mama kamu, masa kamu yang bayar."
Aku menyerahkan kartu kreditku. Setelah itu, kueku mulai dimasukan ke dalam kotak. Aku membawanya dengan senang hati.
Adrian kembali membawa mobilnya menuju rumahnya, sama seperti tadi Adrian terus mengenggam tanganku sambil
Tidak lama, kami sudah masuk ke komplek perumahan Adrian. Satpam membukakan pintu pagar, aku tersenyun lebar menatap kue yang berada di pangkuanku.
"Kira-kira mama kamu sama Rara suka gak ya?" tanyaku meminta pendapat Adrian karena aku takut malah pilihanku kurang disukai.
"Pasti," jawab Adrian tersenyum lebar.
Saat ini, mobil berhenti tepat di depan pintu rumah Adrian. Mataku menatap heran saat hendak membuka pintu, senyumku mendadak hilang dari wajahku.
Aku dengan jelas melihat sosok yang selama beberapa hari ini membuatku memberi jarak pada Adrian.
Aku menarik napas dalam, Adrian sudah keluar lebih dulu dan berjalan ke arahku. Ia membuka pintu mobil dan membantuku ke luar.
Adrian menggandeng tanganku, mendekat ke pintu masuk. Saat hampir mendekati pintu, Adrian melepaskan genggamannya.
"Loh Gita, kok ke sini?" tanya Adrian yang terlihat terkejut.
"Ini, aku mau ngasih file tugas kemarin buat kamu cek. Aku gak tahu kalo kamu lagi gak ada di rumah," ucap Anggi menunjukkan beberapa lembar kertas di tangannya.
"Untung aja kamu udah sampe," lanjut Gita membuatku memasang wajah datar ke arahnya.
"Kak Lunaaa!!!" teriak suara yang aku kenal jelas siapa.
Aku memeluk tubuh Rara dari belakang aku melihat mama Adrian yang berjalan ke luar. Aku menyalami mama Adrian dan memeluknya dan dibalas dengan pelukan hangat.
"Ini siapa?" tanya mama Adrian.
"Temen kampus Ma," balas Adrian singkat.
"Oh, ya udah kalo gitu. Luna sayang ayo masuk," ucap mama Adrian dengan senyum lebarnya mengajakku masuk.
Aku mengikuti mama Adrian dan Rara yang mengajaku masuk ke dalam. Meninggalkan Adrian dan Gita yang masih berdiri ditempatnya.
"Kamu kenal itu siapa?" tanya mama Adrian tiba-tiba.
"Kita satu sekolah tapi dia sekelas sama Adrian," ujarku menjelaskan keadaan.
Entah mengapa aku melihat tatapan tidak suka dari wajah mama Adrian pada Gita, aku bersyukur setidaknya mama Adrian membawaku masuk meninggalkan kecanggungan jika aku masih berada di luar.
"Tante, Luna bawain ini. Semoga Tante sama Rara duka," ucapku memberikan kotak kue yang sedari tadi kujaga keamanannya.
"Terima kasih sayang, harusnya gak perlu repot-repot."
Aku tersenyum lebar merasakan jiwa keibuan dari mama Adrian. Ia membuka kotak kue dan memindahkannya ke piring agar kami dapat memakannya bersama.
"Tante sama Rara suka, makasih ya."
Senyuman menghiasi wajahku senang karena mama Adrian dan Rara menyukai kue yang kubeli. Mereka bahkan memakannya beberapa potong.
Sejak awal aku senang mengenal Rara, tapi semakin bertemu dengan mama Adrian aku semakin tahu jika Adrian dibesarkan oleh seorang wanita hebat yang ia panggil Mama.
"Luna, kamu jangan berpikir apa pun. Tante mendukung kamu dengan Adrian, hanya kamu."
Perasaanku menghangat mendengarkan dukungan terbuka dari mama Adrian bahkan Rara juga ikut menunjukan dukungannya.
"Bagi Rara, kakak perempuan Rara cuma kak Luna."
Aku mengusap lembut rambut Rara, aku bersyukur karena mendapatkan dukungan dari keluargaku maupun keluarga Adrian.
"Terima kasih Tante dan Rara," ucapku tulus.
Aku menatap Adrian yang baru saja kembali, entah apa yang mereka bicarakan untuk waktu yang cukup lama. Aku berniat untuk tidak menanyakan apapun, entah mengapa aku merasakan firasat yang buruk semenjak Gita mulai hadir di antara kami. Meski begitu, aku tidak bisa begitu saja mempercayai perasaanku yang bisa saja salah.