BAB 14: Tangis Prince

2059 Kata
Prince duduk di kursi mengenakan baju tidur berbulu dan bermotif bintang, anak itu terlihat menikmati kue kering dan segelas s**u sambil menonton televisi. Sementara Leonardo duduk di sampingnya tengah membaca beberapa document penting laporan yang baru dia dapatkan. Prince melihat televisi di depannya yang menyala menayangkan sebuah film animasi anak-anak. Suara petir menyambar terdengar keras beberapa kali, hujan sangat deras turun di malam ini membuat Prince bergeser dan bersandar pada Leonardo. Mulut mungil Prince bergerak mengunyah, anak itu mengalihkan perhatiannya kepada Leonardo yang terlihat sangat sibuk sampai tidak peduli dengan suara petir dan hujan deras di sekitarnya. “Kapan hujannya akan berhenti?” Tanya Prince terlihat takut, beberapa kali Prince juga memejamkan matanya dengan erat setiap kali mendengar sambaran petir. “Ayah tidak tahu.” Prince menggigit kuenya lagi sambil melihat layar televisi. “Ayah, jika nanti Ayah sedang tidak sibuk, aku ingin ke sana. Belle bilang tempat seperti itu ada di Singapore Zoo. Belle juga ke sana saat liburan akhir perkan kemarin.” Prince menunjuk layar televisi yang menunjukan hutan indah di penuhi hewan. Leonardo yang sibuk membaca tidak memperhatikan apa yang Prince tunjuk. Pria itu mengangguk dan bergumam, “Iya, nanti kita ke sana.” “Prince, waktunya tidur.” Suara Berta terdengar. “Aku belum mengantuk,” sahut Prince. Berta melangkah tegas dengan heels yang di kenakannya, wanita itu menenteng tasnya dan berpakaian formal seperti biasa. “Berhenti menonton televisi dan makan makanan manis itu Prince, nanti gigi kamu berlubang.” Seketika Prince meletakan kuenya kembali ke piring, alis Prince menurun, anak itu menatap takut Berta. “Sekarang kamu pergi ke kamar, gosok gigi dan segera tidur,” titah Berta. “Aku belum mengantuk,” Prince menjawab dengan kata-kata yang sama. “Tidur Prince. Kamu tidak boleh membantah.” Prince menelan sisa kue di dalam mulutnya dengan pelan, matanya yang poloss itu mengerjap kecewa memandangi televisi di depannya karena film yang dia tonton belum usai. “Prince” panggil Berta memperingatkan. “Aku masih mau menonton. Setidaknya sampai filmnya selesai. Aku kan sudah mengerjakan tugas sekolah,” jawab Prince memohon sambil menurunkan pandangannya karena kini Berta ada di depannya bersedekap dan menatapnya dengan tajam. Prince takut dan merasa terintimidasi dengan segala perintah Berta. “Prince, ini sudah jam Sembilan. Jangan berdebat dengan nenek.” “Bu, biarkan saja. Sesekali dia boleh tidur melewati batas jadwal jam tidurnya, itu bukan masalah.” Leonardo mulai angkat bicara karena dia merasa terganggu dengan suara percakapan Berta dengan Prince. “Kamu itu ya, selalu saja memanjakan Prince. Prince boleh saja mendapatkan apapun yang dia mau, namun Prince harus terbiasa sejak kecil mengikuti aturan agar tidak menjadi anak pembangkang.” “Ibu juga harus menghormati kenyamanan Prince,” jawab Leonardo dengan tegas. “Ibu hanya melakukan apa yang terbaik untuk Prince. Kamu jangan salah paham. Nilai dia tertinggal dari teman-temannya yang lain, ini tidak baik untuk Prince. Prince harus lebih banyak di arahkan agar dia tidak tertinggal lagi.” Mendengarkan Berta dan Leonardo yang mulai adu mulut, Prince membungkam, hatinya bergetar sedikit ketakutan mendengarkan nada suara tinggi Berta. Mata Prince berkaca-kaca dengan mulut melengkung ke bawah dan menekan kuat menahan tangisan, Prince berkedip bersamaan dengan air mata yanga jatuh membasahi pipinya. Prince terisak segera turun dari kursi dan meletakan piring kuenya di atas meja. “Aku akan tidur. Jangan bertengkar,” gumam Prince sambil menangis, anak itu berlari pergi meninggalkan Berta dan Leonardo. Leonardo segera menutup dokumennya dan berdiri. Leonardo tidak suka dengan ucapan yang keluar dari mulut ibunya, dia merasa sangat gusar. “Ibu tidak sepantasnya membicarakan nilai sekolah di hadapan Prince. Kita kan tahu bahwa Prince anak yang special, jangan menuntut dia melewati batas kemampuannya. Biarkan dia mengekspresikan diri agar pikiranya positif. Prince boleh saja tertinggal dalam belajar di sekolah, namun dia memiliki keistimewahan di tempat lain. Prince harus bebas dan bahagia, dia masih kanak-kanak.” Berta bersedekap dan menatap tajam Leonardo, wanita itu tampak kesal karena Leonardo melarang apa yang terbaik untuk cucunya satu-satunya. “Kamu juga terlahir special Leo, namun ibu mendidikmu dengan benar hingga kamu sukses seperti ini. Ibu juga harus mendidik Prince agar.” “Bu” Leonardo memotong ucapan Berta. “Didikan Ibu membuatku terkekang. Aku tidak banyak protes karena mentalku dengan Prince berbeda meski dia puteraku,” jawab Leonardo dengan tegas. Leonardo mengambil tumpukan dokumennya di atas kursi dan segera pergi. “Kamu terlalu memanjakannya Leo, tidakkah kamu lihat ulah Prince pada babysitter barunya hanya karena dia tidak suka kepada babysitter baru itu? Kamu pikir dong Leo, jika kita tidak mendidiknya dengan benar, Prince akan semakin berani karena merasa mendapatkan pembelaan.” “Sebaiknya Ibu jangan ikut campur urusan cara aku mendidik Prince.” Ucap Leonardo lebih tegas. “Sopirku akan mengantar pulang Ibu. Selamat malam.” Tidak secara langsung Leonardo mengusir Berta yang kini terdiam dan berpikir keras mengenai pendapatnya yang berbeda dengan Leonardo. “Dia benar-benar keras kepala.” Batin Berta tampak marah. *** Prince terisak menangis di depan cermin sambil menyikat giginya, anak itu beberapa kali menghapus air matanya tidak dapat menyembunyikan kesedihannya. Meski hatinya sedang sedih, Prince harus menyikat giginya sebelum tidur. Jika gigi Prince berlubang saat di periksa dokter, Berta pasti akan mengomelinya. “Hiks..” Prince mengusap air matanya yang terus berjatuhan. Berta selalu mengatur Prince tanpa menanyakan pendapatnya. Prince tidak di beri kesempatan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya. Berta akan menekan Prince jika apa yang Prince lakukan tidak sempurna dan tidak sesuai harapan Berta, Berta akan membanding-bandingkan Prince dengan anak-anak lainnya. Hal itu membuat Prince merasa malu. Prince merasa sedih karena dia selalu sibuk dengan sekolah, less belajar, hingga keterampilan seni dan belajar bahasa, sepanjang waktu dia menghabiskan waktunya untuk belajar. Prince ingin memiliki banyak waktu bermain, dia ingin makan-makanan enak tanpa harus di atur, dia ingin berkunjung ke rumah temannya seperti anak-anak yang lainnya. Prince tidak suka terus di atur, dia tidak nyaman dan tidak tenang. Prince sudah berusaha melakukan yang terbaik yang dia bisa. Setidaknya Prince ingin di hargai atas usahanya, bukan tekanan yang lebih kuat karena tidak puas dengan pencapaian Prince. “Hanya Sea yang menghargaiku,” ucap Prince terisak menangis teringat percakapan sederhana yang dia bangun dengan Rosea tanpa tekanan, tanpa aturan, Rosea menghargai ucapan Prince dan mendengarkannya dengan baik. Meski sederhana, itu berarti untuk Prince. Prince ingin di akui, di dorong agar dirinya menjadi lebih percaya diri kepada diri dirinya sendiri. Hatinya sangat sensitif, Prince merasa sangat sedih karena tidak ada yang memahaminya. Prince mengusap wajahnya dengan handuk kecil dan keluar kamar mandi, anak itu tertunduk mengusap matanya yang kini memerah. Seketika Prince menaan tangisannya karena melihat Leonardo duduk di sisi ranjang. Leonardo menatap hangat Prince, “Kemarilah” kata Leonardo dengan suara yang lembut. Tangan Leonardo terbuka lebar. Seketika Prince berlari memeluk Leonardo, dengan mudah Leonardo memangkunya dan menepuk bahu Prince. “Kalau kamu tidak suka, katakan tidak suka. Kamu berhak menolak apa yang membuat kamu tidak nyaman,” bisik Leonardo menasihati, Prince hanya terisak di ceruk leher Leonardo sambil memeluknya. “Apa aku anak yang bodoh?” Tangis Prince sedih. “Tidak, tidak ada satupun anak yang bodoh di dunia ini,” jawab Leonardo dengan suara bergetar menahan kesedihan. “Nenek bilang aku tertinggal. Temanku bilang, jika nilaiku tertinggal itu artinya aku bodoh.” Rahang Leonardo mengeras seketika. “Siapa anak yang berkata seperti itu?. Biar ayah tuntut kedua orang tuanya.” Tangisan Prince semakin keras membuat Leonardo harus berbicara lebih banyak untuk membangun rasa percaya dirinya lagi. Ini tidak mudah untuk Leonardo, namun Leonardo terus berusaha, dia tidak akan membiarkan Prince kehilangan rasa percaya dirinya. *** Rosea mengusap permukaan perutnya yang terasa sedikit keram dan sakit, hari ini dia sudah terlalu banyak minum kopi hingga membuat asam lambungnya kembali naik. Hujan yang semula sangat lebat, kini perlahan reda. Rosea masih duduk di kursi dan melihat layar televisi, begitu pula dengan Atlanta yang tidak beranjak dan masih duduk di sampingnya. Atlanta yang sangat pandai mengakrabkan diri membuat Rosea yang irit bicara dan jutek itu menjadi banyak membuka suara. Apalagi ketika mereka sama-sama menonton pertandingan bola basket. Beberapa kali mereka berdebat meski tidak menimbulkan pertengkaran. Rosea membungkuk meminum air mineral yang sengaja Atlanta sediakan, tenggorokannya sedikit kering karena banyak bicara. “Minggu depan aku akan membuat pesta di sini, mungkin akan sampai pagi. Teman-temanku dari LA akan datang, hanya beberapa orang,” kata Atlanta sambil melihat layar televisi. Rosea melihat ke sisi dan menatap Atlanta dengan serius. Rosea sangat tidak mengerti jika di dunia nyata ternyata ada orang yang suka membuat pesta. Kenapa mereka sangat suka membuat pesta di rumah? Tidakkah mereka khawatir rumah menjadi kotor berantakan atau akan ada barang-barang yang hilang? Banyak pertanyaan yang bermunculan di kepala Rosea. “Kenapa kamu menceritakannya kepadaku?” tanya Rosea. “Meminta izin tetanggaku, jika aku membuat pesta sembarangan lagi, aku takut teman-temanku akan di gelandang ke kantor polisi.” Wajah Rosea langsung bersemu merah malu. Rosea berdeham, wanita itu segera menjawab, “Karena malam ini kamu sudah banyak membantuku, untuk minggu depan aku tidak akan protes kamu membuat pesta sampai pagi. Namun hanya untuk minggu depan saja, jangan lupa itu,” peringat Rosea terdengar jutek. Atlanta langsung menyeringai begitu mendengarnya. Dagu Atlanta sedikit terangkat, pria itu masih menatap lurus televisi sambil memindahkan salurannya ke acara model yang tengah runaway, “Kamu boleh ikutan pesta jika mau.” “Tidak. Terima kasih,” jawab Rosea dengan cepat. “Kenapa menolaknya tanpa di pikirkan?” “Aku tidak suka berkumpul dengan orang yang tidak aku kenal.” “Kamu bisa mengenal aku lebih dulu sebelum teman-temanku.” “Kita sudah saling kenal.” “Benarkah?” tanya Atlanta seraya melihat Rosea. Atlanta membungkuk, merendahkan tubuhnya membuat Rosea segera menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi karena Atlanta semakin mendekat. “Aku kan maunya kenal secara pribadi, bukan kenal biasa.” Sorot mata Atlanta yang berwarna keemasan itu menatap lembut Rosea dan membuat wanita itu hanya diam terpaku dengan menyandarkan bahunya ke kursi. Atlanta benar-benar sangat pandai bersilat lidah. “Apa bedanya kenal secara pribadi dan kenal biasa?” tanya Rosea bingung. Pandangan Atlanta terjatuh pada bibir Rosea yang sedikit bergetar, “Tentu saja beda. Kenal secara pribadi itu melalui hati ke hati, kenal biasa hanya kontak fisik saja.” Atlanta yang kian mendekat membuat Rosea semakin menekan tubuhnya ke sandaran kursi agar menjaga jarak dari Atlanta. “Kamu jangan bersikap tidak sopan ya,” peringat Rosea dengan terbata seraya mendorong d**a Atlanta untuk menjauh. “Aku kan tidak melakukan apapun sama kamu.” “Tapi kamu terlalu dekat,” protes Rosea. Alih-alih menjauh, Atlanta semakin mendekat dan membuat Rosea tertekan di bawah kungkungannya, tangan Atlanta menjangkau sebuah selimut kecil berbulu di belakang Rosea dan langsung menutupi pahanya Rosea yang terbuka. Atlanta mendengus geli, pria itu kembali duduk dengan tegak dan melihat layar televisi. Sangat menyenangkan menggoda Rosea. Rosea hanya tertunduk dengan wajah memerah malu, melihat selimut yang menutupi pahanya. Hampir saja Rosea salah paham, ternyata Atlanta hanya ingin mengambil selimut. “Aku sudah mencari pakaian paling besar dan tertutup, namun semuanya sangat terbuka. Kamu jangan salah paham. Aku juga tidak mau seperti ini.” Suara Rosea sedikit bergetar saat menjelaskan. Rosea tidak ingin Atlanta berpikir pakaian yang dia pakai sekarang itu bertujuan menggoda Atlanta. Alis Atlanta sedikit terangkat menahan senyuman. Tanpa perlu Rosea katakan sekalipun, Atlanta sudah tahu seberapa terbukanya pakaian yang ada di dalam kamar. “Kamu bisa pakai pakaian aku jika mau. Aku punya banyak pakaian tertutup. Kamu ke kamarku saja” Kata Atlanta dengan tenang. “Tidak perlu” jawab Rosea dengan pelototan. Rosea bergerak gelisah dan melihat ke belakang, dia mulai merasa mengantuk dan butuh istirahat. “Aku boleh tidur di kamar tadi?” tanya Rosea. Atlanta mengangkat kepalanya dan melihat Rosea yang kini sudah berdiri. “Kamu tidur di kamar sebelahnya lagi saja.” “Kenapa?” “Kamar itu mungkin belum di bersihkan.” Rosea langsung mengangguk setuju. “Kalau takut dengan suara petir, kamu bisa datang ke kamarku di lantai tiga, aku tidak akan mengunci pintu. Kalau tidak bisa ke kamar aku, tekan tombol nomer satu di telepon, biar aku yang ke kamar kamu.” Bibir Rosea sedikit mengerucut mendengarnya. Andaikan pria biasa yang berkata seperti itu, maknanya akan terdengar biasa. Namun saat Atlanta yang bicara seperti itu, maknanya menjadi berubah seakan pria itu mengajak Rosea naik ke ranjangnya. “Selamat malam” Rosea segera pergi dan berlari memasuki kamarnya. Atlanta terdiam di tempatnya, peri itu tersenyum lebar melihat kepergian Rosea yang terburu-buru. To Be Continued..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN