BAB 17: Makan Malam

1895 Kata
Leonardo terdiam mencerna ucapan Rosea, spontan pria itu berkata, “Kamu bicara seperti orang tua yang mendiskusikan pola mengasuh anak.” Wajah Rosea memerah, dia langsung berdiri dan membungkuk. “Maaf, aku tidak bermaksud lancang.” Leonardo menahan senyumannya melihat reaksi spontan Rosea. “Duduklah Sea.” Leonardo mengambil selembar kertas kosong dan mendorongnya di hadapan Rosea. “Kalau begitu, apa pendapatmu? Tulislah di sini, sekretarisku akan mengubah isinya dan dia akan mengirimnya melalui surel.” Rosea melongo kaget, sikap Leonardo yang menyerahkan semua aturannya di ubah begitu saja memperjelas seberapa tidak pahamnya dia dalam mengasuh anak. “Kamu serius?” bisik Rosea tidak percaya. “Aku serius Sea, tulislah.” Tanpa bertanya lagi, akhirnya Rosea menuliskan semua di atas kertas. Begitu selesai menulis, Rosea membuka lembaran baru dalam document yang belum di bacanya, tidak berapa lama kepala Rosea kembali terangkat lagi. Wajah Rosea memucat kaget, wanita itu mengerjap cepat dan bertanya, “Kamu tidak salah tulis kan? Aku bekerja seminggu tiga kali?” “Kenapa kamu kaget?” “Tentu saja aku kaget. Bayarannya kan mahal banget!” jawab Rosea spontan. Dia akan menerima setengah miliar, dan itu bukan uang yang kecil, namun pekerjaan yang akan dia kerjakan lebih mudah dari apa yang di pikirkan. Sekali lagi Leonardo menahan senyuman gelinya, tidak ada orang yang bekerja dan protes karena gaji yang akan dia terima terlalu besar. “Semakin besar bayaran, tanggung jawab kamu semakin besar. Jika kamu membuat kesalahan, kamu akan langsung mendapatkan tuntutan hukum. Lagi pula, jika kamu datang setiap hari menemui Prince, Prince akan menganggap kebaikan kamu karena sebuah pekerjaan, bukan karena pertemanan.” Rosea langsung mengangguk mengerti. Rosea harus mengingat semuanya agar di masa depan tidak menimbulkan kerugian apapun. “Ada yang ingin kamu katakan lagi?” Rosea bertanya lebih dulu. Dalam satu tarikan napasnya, Leonardo berkata, “Kamu harus bisa menjawab apa yang Prince tanyakan, jangan bicara kasar, jangan berpacaran di depan dia, bantu dia mengerjakan urusan sekolahnya jika dia butuh bantuan, dengarkan keluh kesahnya, motivasi dia untuk percaya diri, jangan memberinya makanan sembarangan, hindari apapun yang membuat dia tidak nyaman. Jangan menyentuh barang pribadi miliknya, Prince tidak suka barang-barangnya di sentuh orang asing, kamu boleh menyentuhnya jika sudah di izinkan.” Rosea berkedip beberapa kali mendengarkan rentetan perintah Leonardo yang terdengar sangat ketat. “Bagaimana jika dia ingin ke toilet ketika kita berdua?” “Prince mandiri. Dia bisa melakukannya sendiri sejak usia lima tahun.” “Lalu, mengenai sentuhan fisik. Aku juga tidak boleh memeluk atau berpegangan tangan dengan Prince?” Seketika Leonardo menatap dengan curiga. Sementara Rosea langsung tersenyum lebar menatap polos agar Leonardo percaya bahwa dia bukan wanita jahat. “Jika Prince yang melakukannya duluan, kamu boleh membalasnya” jawab Leonardo menggantung. “Kamu jangan mengajarkan hal nakal pada Prince.” “Astaga, aku nakal pas khilaf saja. Meski, khilafku tiap hari,” elak Rosea membela diri. Leonardo membuang mukanya yang kini memerah, senyuman yang sejak tadi dia tahan kini terlepaskan dalam tawa kecilnya, Leonarodo terhibur dengan jawaban Rosea. Leonardo berdeham menetralkan suaranya dan bersikap normal kembali, pria itu kembali melihat Rosea dan berkata. “Kamu tidak akan menandatanganinya sekarang?” tanya Leonardo. “Aku kan harus mempelajarinya” jawab Rosea gugup dengan tangan yang berkeringat dingin, Rosea merasa was-was takut terjebak dengan pekerjaan yang terlalu menggiurkan. Uang membuat Rosea selalu lupa diri. Leonardo melihat jam di tangannya, “Kita ke rumah sekarang, kamu pelajari selama di jalan dan tanda tangani document barunya di rumah” Leonardo segera beranjak. Kepala Rosea sedikit terangkat melihat Leonardo yang kini mengancingkan jassnya lagi. “Ke mana?” “Rumahku, memangnya kamu tahu rumahku di mana?” tanya balik Leonardo dengan ekspresi dinginnya lagi. Tanpa bertanya lagi, Rosea segera beranjak dan mengikuti Leonardo keluar ruangan itu. Rosea melangkah lebar menyamai langkah Leonardo yang berada di sisinya, mereka segera memasuki lift. Kebisuan di antara mereka berdua di dalam lift membuat Rosea merasa gugup, dalam beberapa langkah Rosea bergerak ke depan memilih berdiri di depan Leonardo agar dia tidak perlu melihat pria itu. Sementara Loenardo yang berdiri di belakang Rosea kembali memperhatikan penampilan wanita itu lagi, malam ini Rosea terus mencuri perhatiannya. “Kamu mau ke mana setelah ini?” spontan Leonardo bertanya. Rosea menengok, bibirnya menyunggingkan senyuman lebarnya, “Tadinya aku mau clubbing, tapi temanku membatalkan rencana kami.” “Kamu sering berpesta?” “Sesekali.” “Setelah resmi bekerja, kamu tidak boleh mabuk saat bersama Prince,” peringat Leonardo. Rosea hanya mengangguk setuju. Lagi pula, siapa orang yang bekerja sambil mabuk? *** Rosea mengemudi pelan mengikuti mobil yang di tumpangi Leonardo. Bola mata Rosea bergerak menyisir setiap sudut tempat begitu dia memasuki wilayah perumahan tempat Leonardo tinggal, Rosea dapat melihat beberapa gedung berdiri kokoh di antara bangunan. Kendaraan-kendaraan mewah bergerak ke sana kemari berkeliaran seakan memberitahu jika tempat ini memiliki kelas tersendiri. Luas lautan dapat Rosea lihat, bahkan ada beberapa jetski café yang berlayar, rumah-rumah berdiri dengan sangat indah di sisi lautan, tidak jarang ada banyak kapal-kapal pesiar pribadi yang terparkir di depan rumah dan belakang rumah. Suasana hijau tumbuhan, biru lautan yang bersih dan peletakan bangunan yang indah sangat memanjakan mata Rosea. Pandangan Rosea mengedar melihat ke sana kemari kehilangan fokus, wanita tidak berhenti menganga karena untuk pertama kalinya melihat suasana Jakarta yang terasa seperti di Belanda. Tidak berapa lama Rosea berhenti mengemudi begitu mobil yang di tumpangi Leonardo melewati sebuah gerbang. Rosea menelan salivanya dengan kesulitan, wanita itu menatap ngeri melihat rumah Leonardo yang menghadap langsung ke arah pantai, Rosea yang terbiasa melihat kendaraan mobil dan motor yang terparkir di depan rumah, namun di sini, di depan rumah Leonardo, Leonardo memarkirkan dua kapal. Seberapa kaya pria itu? Kenapa kekayaannya sangat begitu mengerikan untuk Rosea? Rosea segera keluar dari mobilnya dan mendekati Leonardo. “Silahkan.” Leonardo mempersilahkan Rosea untuk berjalan lebih dulu, reflex pria itu menyentuh pinggang Rosea dan menghelanya pergi memasuki rumah. Belum sempat Leonardo membuka pintu. Pintu yang akan di bukanya terbuka, Prince berdiri di depan pintu memegang sebuah pot kecil berisi pohon kaktus. Prince mendongkak, langsung melihat Rosea yang berdiri di depannya, “Sea” panggil Prince dengan mata berbinar. “Hay Prince,” sapa Rosea sambil memperhatikan tangan Prince yang kotor karena tanah. Prince melihat Rosea dan Leonardo bergantian, anak itu terlihat bingung dan terkejut karena Rosea datang ke rumahnya. “Sea ada pekerjaan dengan Ayah?” tanya Prince hati-hati. Prince tidak boleh terlalu berantusias dan membuat kehebohan, dia takut sikapnya akan mengganggu tamu ayahnya. “Tidak, Sea ingin makan malam bersama. Dia bilang dia terkesan dengan sarapan yang kamu berikan tadi pagi,” jawab Leonardo berbohong dengan sangat mulus. “Benarkah?” Prince tersenyum lebar begitu senang. “Iya” jawab Rosea dengan canggung. “Aku dan ayah kamu bertemu di jalan, kami sedikit berbincang akhirnya aku memutuskan ikut ayah kamu ke sini,” jelas Rosea terbata karena tidak pandai berbohong. “Ayah apa malam ini boleh di kapal? Aku ingin Sea melihat ikan yang kemarin aku pancing.” “Ya, tentu saja.” “Apa kamu memancing? Aku iri sekali,” ucap Rosea spontan. Prince tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan mungil yang kotor, ada beberapa tanah langsung mengotori pipinya yang kemerahan. Tawa Prince langsung terhenti, Prince mundur memberi jalan kepada Rosea dan Leonardo untuk masuk. “Silahkan masuk” kata Prince dengan sopan. Leonardo tersenyum bangga karena Prince terlihat ingin menjaga sikapnya di depan Rosea. Rupanya Prince masih teringat ucapan Leonardo untuk memberikan kesan yang baik kepada orang lain agar orang itu mau bertemu dengannya lagi. “Prince, cuci tanganlah dan beritahu Paman Yoke untuk menyiapkan masakannya. Ayah ingin berbicara penting dulu dengan Sea.” “Baik Ayah.” Prince berlari pergi membawa pot bunga kaktusnya, anak itu pergi keluar menuju taman di samping rumah. Kaki mungilnya menginjak sebuah tangga kecil, Prince meletakan pot kaktusnya di atas rak besi. Prince mundur dan turun perlahan, dia kembali berlari masuk dengan terburu-buru terlihat akan mencuci tangan dan mencuci wajahnya. “Silahkan masuk,” kata Leonardo. Rosea mengangguk kaku dan segera masuk melangkah masuk ke dalam. Hanya butuh dua langkah Rosea masuk ke dalam, Rosea langsung bisa merasakan suasana sepi dan dingin rumah Leonardo, tidak ada jiwa dan kehangatan di dalamnya, sangat berbanding balik dengan kemewahan yang berada di depan mata. Semua barang-barang yang ada di dalam rumah tertata begitu rapi seakan tidak ada satupun ada orang yang menyentuhnya dan menggeserkannya. “Kamu suka memancing?” tanya Leonardo tiba-tiba. Rosea tersenyum dan mengangguk membenarkan. “Ya, dulu aku sering memancing bersama Ayahku. Sangat menyebalkan menunggu beberapa jam di danau tapi hanya dapat satu dua ikan, pada akhirnya kami ke pasar juga untuk membeli ikan agar tidak di marahahi ibu karena tidak dapat apa-apa.” Leonardo tertawa mendengar cerita Rosea, wanita memiliki masa kecil yang terdengar hangat dan membahagiakan, sayang sekali Leonardo tidak memiliki kenangan seperti itu. “Kamu tinggal dengan siapa di sini?” “Hanya berdua dengan Prince, di tambah delapan pekerja yang mengurus rumah dan membantu keseharian,” jawab Leonardo seraya menempatkan tangannya kembali pada pinggang Rosea, lalu menariknya agar wanita itu ikut dengannya. Leonardo yang menunjukan sebuah ruangan berdinding hitam yang langsung menghadap ke laut. “Jika sudah bekerja, kamu boleh memasuki ruangan ini, perpustakaan, tempat olahraga, dapur, ruangan tamu yang ada di ujung tangga lantai satu, dan kamar tamu di lantai dua.” Rosea mengangguk mendengarkan dengan teliti agar tidak membuat kesalahan. “Aku lupa memberitahu kamu, jika Prince meminta kamu datang, kamu harus menemui dia. Jika Prince membutuhkan pendamping dalam urusan sekolah, kamu harus datang menemani dia kapanpun itu di butuhkan. Itu berlaku ketika aku sedang sibuk dan tidak ada yang mewakilinya. Biasanya dua minggu sekali sering ada kegiatan anak-anak dengan orang tua di sekolahnya, karena itu aku mengatakannya sekarang,” kata Leonardo begitu alami seakan membicarakan aturan dan memerintah seseorang adalah bakatnya dari lahir. “Bagaimana jika aku juga sedang ada urusan pekerjaan?” “Kita bisa mendiskusikannya. Gaji kamu juga akan di potong.” Bibir Rosea sedikit terbuka menatap horror mendengar gajinya akan di potong. seketika bibir Rosea mencebik, baru saja dia senang karena akan menerima banyak uang, belum saja tanda tangan kontrak, kini dia mendapatkan ancaman pemotongan gaji. “Jika kamu sudah mengerti, kamu bisa tandatangan kontrak sekarang di rung kerjaku. Mulai besok temani Prince dari jam dua belas sampai jam tiga. Di malam hari kamu datang jam tujuh sampai Prince tidur.” “Baik” jawab Rosea dengan senyuman lebar. “Mari ke ruangan kerjaku.” Dengan patuh Rosea mengikuti Leonardo yang berjalan di sampingnya, namun beberapa saat kemudian.. BRAK Tanpa sengaja Rosea menabrak dinding kaca yang sama sekali tidak dia lihat, tubuhnya terhuyung ke belakang hampir jatuh, Rosea meringis mengusap keningnya yang berdenyut. “b******k,” Maki Rosea menahan teriakan. Leonardo langsyng membantu Rosea berdiri dengan benar. “Kamu baik-baik saja?” “Tidak apa-apa” Rosea tampak malu, apalagi ada noda lipstick di dinding kaca yang dia tabrak. Leonardo langsung menekan saklar di dinding dan membuat lampu ruangan sedikit redup, dinding kaca itu baru berwarna dan menunjukan keberadaannya. “Hati-hati” ucap Leonardo menggantung. “Lain kali kamu tidak boleh mengucapkan makian seperti barusan lagi di depan Prince.” Rasa malu Rosea kian bertambah, belum saja dia melakukan tanda tangan, kini dia sudah melanggar aturan. Plak Tanpa ragu Rosea memukul bibirnya dengan keras. “Aku minta maaf, aku sudah menghukum bibirku,” jawab Rosea dengan tegas. Wajah Leonardo memerah, pria membuang mukanya menyembunyikan sebuah senyuman yang tidak bisa hentikan. To Be Continued..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN