05 | Nino Abrawan

2068 Kata
"Terima kasih, Kakak Adri," ucap Anisya tersenyum manis. "Iya, makan aja," timpal Adrian santai usai memberikan satu sisir pisang berkulit kuning pada Anisya. Kakak beradik itu kini tengah duduk-duduk di bawah pohon kelapa yang melengkung, di belakangnya ada pohon-pohon cemara laut yang bayangannya meneduhi mereka. Mereka asyik memakan buah pisang di tangan masing-masing, tanpa melepaskan pandangan dari sosok Nino yang sedari tadi sibuk sendirian di hamparan luas pantai berpasir putih. "Adik sedang apa, Kakak Adri?" tanya Anisya setelah tak kunjung mengerti mengapa Nino sibuk sendiri dan menolak ajakan bocah itu untuk duduk-duduk bersama. "Mengingkari kenyataan. Dia belum percaya kalau dirinya sudah mati. Katanya, dia mau bikin tanda biar tim penyelamat tahu kalau di pulau ini ada orang." Adrian lalu tertawa-tawa hingga pipi tembamnya bergetar, menertawai tingkah Nino yang menurutnya konyol dan sia-sia. "Adik belum mati." "Udah mati, dia sama kayak kita," jawab Adrian dengan sabar, mengira Anisya barusan tengah bertanya. "Eh, mau ke mana?" tanya Adrian, melihat Anisya tiba-tiba berdiri dari duduknya. Anisya mengembalikan pisang yang baru ia setengah makan itu pada Adrian sembari menjawab. "Mau bantu Adik. Kasihan." "Udah, biarin aja. Nanti kalau sadar dia juga berhenti sendiri." Larangan Adrian sama sekali tak digubris oleh Anisya. Bocah 5 tahun itu melangkahkan kakinya mendekati Nino. Nino menulis tanda S.O.S sangat besar di atas pasir pantai. Cekungan tulisan tersebut lalu ia isi dengan batu-batu hitam yang ia kumpulkan di sekitar. Saat Nino tengah mengumpulkan batu-batu itu ke dalam ember, ada Anisya jongkok di sebelahnya membantu memasukkan batu-baru kecil ke ember itu. Nino tersenyum padanya, dengan kulit yang mulai merah terpanggang sinar matahari serta peluh di sekujur tubuh. "Kamu duduk aja, panas, nanti capek." "Aku mau bantu Adik biar bisa pulang." "Terima kasih, ya, Anisya." Nino mengacak rambut Anisya gemas. Di saat semua orang menyuruhnya untuk pasrah, hanya Anisya yang menunjukkan dukungannya. Bukannya ingin bersikap tidak tahu terima kasih, tetapi sikap keluarga Yunta yang menyuruhnya pasrah terdampar di pulau ini sangat membuat Nino marah. Penilaian Nino tentang keluarga ini bergeser, dari yang semula kagum atas keberanian mereka memilih jalan hidup yang beda dari orang kebanyakan, menjadi egois karena secara tidak langsung memaksa seseorang untuk mengikuti jalan hidup mereka sebagai naturalis. Lagipula, segala hal yang ada di sini terasa aneh. Jika mereka bilang mereka tidak pernah meninggalkan pulau atau ada orang luar yang rutin ke sini, lalu dari mana mereka mendapat stok makanan—beras, daging-dagingan, sayur mayur, dan lain sebagainya, jika bukan kiriman dari pulau lain? Nino tidak sebodoh itu untuk percaya dan iya-iya saja apa ucapan mereka. Mereka pasti sengaja bohong agar Nino tinggal bersama mereka. Damar pasti punya perahu yang entah dia sembunyikan di sisi pulau sebelah mana. Baiklah, jika mereka tidak ada yang mau mengantar Nino pulang. Nino akan mencari jalan pulangnya sendiri. Tadi pagi ia sempat mendengar ada suara pesawat militer terbang di sekitar sini, ia yakin itu pesawat tim penyelamat yang mencarinya. Bahkan meski Nino tidak selamat, papanya pasti akan terus berusaha menemukan tubuhnya sekalipun telah jadi mayat. "Anisya, kamu betah tinggal di sini?" tanya Nino, berpikir anak kecil pasti pendapatnya lebih murni. "Betah," jawab Anisya enteng. Ya, jawaban apa yang Nino harapkan? Otak ketiga anak Yunta ini pasti telah dicuci oleh kedua orangtuanya. "Ada Mama, ada Papa, ada Kakak Alin, Kakak Adri. Kurang adik." Nino tertawa pelan. "Kamu ingin sekali punya adik, ya?" "Aku punya adik. Ini adik aku," jawab Anisya menunjuk Nino, yang lagi-lagi hanya bisa membuat pemuda itu tertawa gemas. "Aku bukan adik kamu," ucap Nino. "Aku nggak mau tinggal di sini. Pulau ini bagus, dan nggak tahu gimana semua ada, kayak di kota. Tapi tetap aja, rumahku bukan di sini." Kepala Anisya mengangguk-angguk. "Nanti aku bantu adik biar bisa pulang." "Kamu nggak mau aku tetap jadi adikmu dan tinggal di sini sama kamu?" Anisya diam sebentar, air mukanya tampak muram sesaat, sebelum senyumnya kembali melebar dari telinga ke telinga. "Di sini bukan rumah Adik, kan. Adik selalu jadi adik aku." "Ah ... Iya, udah cukup batunya. Ayo bawa ke sana." Dengan sekali sentakan, Nino membawa ember berisi batu-batu itu kembali ke tengah pantai, diikuti oleh Anisya lari-lari kecil di sebelahnya. Sejujurnya, Nino tidak terlalu mengerti setiap bicara dengan Anisya. Mungkin semua anak kecil memang begitu, mereka belum benar-benar mengerti apa yang mereka ucapkan sendiri. "Seperti ini?" Anisya bertanya penuh semangat saat meniru Nino menyusun batu. "Iya, taruh di dalam cekungan garinya ya." Kemudian, keduanya bekerja sama untuk membuat tanda S.O.S raksasa itu tanpa peduli, keluarga Yunta melihat mereka dari kejauhan dengan beragam ekspresi dan isi kepala. Adrian dan Alin jelas tertawa-tawa tak habis pikir, sementara Eliza dan Damar merasa kasihan. Sesaat kemudian, terdengar suara pesawat melintas di atas mereka. Tampak Nino melepas kaosnya dan mengayun-ayunkannya sambil teriak-teriak ingin memberitahu keberadaanya. Alin juga ikut lompat-lompat dan menirukan apa yang Nino teriakkan. Seperti yang keluarga Yunta bilang, apa yang dilakukan Nino itu sia-sia. "Apa perlu dia langsung kita beritahu kalau dia sudah mati?" tanya Damar, meminta pertimbangan. Kasian melihat Nino kini berdiri dengan kedua tangan terkulai tak bertenaga, menatap pesawat yang makin menjauh dan kini telah hilanh dari jarak pandang mereka. "Jangan, kayaknya dia belum siap," cegah Eliza. "Kemarin kita cuma bilang kalau siapapun yang masuk ke pulau ini nggak bisa keluar aja dia marah dan nangis. Takutnya nanti dia nggak nyaman sama kita karena mengira kita yang sengaja membuat dia nggak bisa pergi. Biar dia memahami keadaannya dan beradaptasi dengan sendirinya kayak kita dulu, Pa." "Ih, tapi aku gemes, deh, Ma," Alin melipat tangan di dadaa. Ujung lidahnya ingin sekali memberi tahu Nino siapa mereka sebenarnya. Eliza menghela napas, melirik sang sulung. "Kalau kamu punya energi lebih, sebaiknya bantu papamu garap lahan, Alin." "Benar, ayo kita kerja lagi," timpal Damar, merangkul pundak Alin. "Pft—" Adrian hampir tertawa, tapi tak jadi setelah dipelototi Alin. Alin menghentakkan kaki kesal. "Aku terus, itu si Gendut nggak disuruh ngapa-ngapain. Setiap hari kerjaannya cuma makan pisang. Mama sama Papa nggak tahut dia lama-lama buluan?" Alin makin bertambah kesal karna Adrian justru mengejeknya dengan memiru tingkah monyet garuk-garuk kepala dan p****t sambil loncat-loncat. "Udah, nggak usah iri-irian sama saudara," Eliza menengahi, tepat saat Alin hendak memukul Adrian. "Adrian, kamu juga ikut bantu Papa." "Tapi, Ma—" "Ck," decakan lidah Eliza mengurungkan niat Adrian untuk protes, tatapan tegas Eliza membuat bocah gendut itu tak berani buka suara lagi. "Dah udah, ayo kita kerja. Meskipun sudah mati, kita tetap butuh kesibukan." Damar merangkul pundak Alin dan Adrian di kanan dan kirinya, membimbing mereka menuju kebun kentang yang ada di belakang rumah. *** Malam hari, keluarga Yunta berkumpul di tengah halaman rumah dengan api ungun kecil menyala. Mereka membakar jagung dan ubi jalar sambil bercanda diselingi suara gonjrengan gitar yang dimainkan Alin. Sementara Nino memilih menyingkir sendirian, ia membakar api unggunnya sendiri di dekat tanda S.O.S yang dibuatnya, sembari menatap langit luas yang berbintang. Jaga-jaga barangkali ada pesawat lagi yang melintas, sehingga mereka dapat melihat ada jejak kehidupan di pulau ini. Pemandangan yang terhampar di depannya ini sebenarnya sangat indah. Garis air laut tampak berkilau keemasan terpantul sinar bulan yang tengah bulat sempurna. Di Kota, mana bisa Nino menemukan pemandangan seperti ini. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali bisa melihat bintang di langit malam Ibukota. Siang pun tak kalah bagusnya. Pantai tempatnya berada saat ini mirip seperti foto-foto yang biasa ada di buku travel wisata tropis. Namun tetap saja, sebagus apapun pulau ini, tidak ada tempat terbaik baginya selain rumahnya sendiri. Masih menatap langit, Nino bertanya-tanya, bagaimana kabar papanya sekarang? Dia pasti sangat sedih karena Nino belum juga ditemukan, atau bahkan pupus harapan mengira Nino telah meninggal. Nino bisa bayangkan betapa hebohnya media memberitakan tragedi kecelakaan pesawat, ditambah lagi anak presiden Indonesia menjadi salah satu korbannya. Semua pihak pasti tengah berusaha sebaik mungkin menemukannya, maka dari itu Nino tidak boleh pasrah begitu saja. "Hei," suara Alin terdengar dari arah belakangnya. "Ngapain kamu di sana sendirian? Ayo pulang, nanti kamu nggak kebagian jagung bakarnya. Keburu dihabisin Adrian." Usai gagal mengirim Adrian untuk membujuknya ikut berkumpul, rupanya mereka mengirim Alin. "Enggak usah, buat kalian aja," tolak Nino. "Kenapa? Kamu nggak suka jagung bakar?" tanya Alin lagi dengan suara makin mendekat, hingga kemudian dia berdiri di sebelah Nino dengan jarak sekitar dua meter. Nino melirik Alin sekilas. Alih-alih seperti orang membujuk, wajahnya lebih terlihat seperti orang siap mengajak bertengkar. Gadis remaja yang sangat tidak sopan padahal jelas-jelas Nino lebih tua darinya. Tapi Nino maklum, mungkin dia tidak terbiasa dengan senioritas mengingat dirinya lah anak tertua di sini. "Enggak juga," jawab Nino seadanya. "Terus kenapa kamu nolak ajakan orang? Tinggal ikut duduk buat menghormati mereka aja apa susahnya, sih? Kita itu ingin kamu nyaman di sini dan merasa jadi bagian dari keluarga kami." Alin mulai terdengar kesal dan itu bukan hal yang mengagetkan Nino. "Atau jangan-jangan, kamu yang ogah jadi keluarga kami?" tembak Alin tepat sasaran. Nino mendesah pelan dan melirik Alin lagi, kali ini ada rasa sungkan yang terselip. Keluarga Yunta bukan orang jahat, Nino lah yang jahat jika memgingkari kebaikan mereka. "Iya, aku memang takut merasa nyaman di tengah keluarga kalian," aku Nino akhirnya. "Aku nggak mau karena merasa menemukan keluarga baru, aku jadi nggak mau pulang ke rumahku." Giliran Alin yang mendesah, desahannya terdengar berat, sejurus kemudian gadis remaja itu ikut duduk di tempatnya semula berdiri, di saat Nino pikir Alin akan marah karena tersinggung. "Apa Jakarta tahun 2021 sebagus itu?" tanyanya, setelah hening beberapa saat. "Tentu saja," sahut Nino. "Ah, apa bagusnya tinggal di kota. Bagusan di sini, mau lihat laut tinggal buka jendela. Dan yang pasti ... nggak ada orang jahatnya." Kembali Nino memaklumi, seperti halnya Anisya, Alin pasti telah dicucui juga otaknya. "Memang, di sini memang bagus. Aku biasanya cuma bisa lihat laut paling-paling 2 kali dalam sehatun kalau sedang liburan saja. Tapi kehidupan di sana lebih terasa karena ada banyak orang. Orang jahat memang ada, tapi lebih banyak orang baik." "Bukan masalah banyakan mana orang baik atau orang jahat. Buktinya, cuma butuh satu orang jahat untuk membuat kami bisa terjebak di sini." "Maksudnya?" Nino bertanya tak mengerti. Meski hanya dari samping dan pencahayaan terbatas, Nino bisa melihat otot-otot wajah Alin mengeras, seperti tengah menahan emosi. "Manusia itu makhluk paling bahaya di dunia. Yang kelihatannya baik, bisa jadi sebenarnya dia jahat. Jangan kira aku cuma berburuk sangka, aku pernah melihat sendiri ada orang yang dipuji-puji tapi ternyata jahatnya setengah mati." Nino tertawa pelan meningkahi perkataan Alin. "Memangnya siapa yang menjahati anak kecil seperti kamu? Apa sahabatmu mencuri penghapusmu? Eh maaf, sebelumnya kalau boleh aku tahu, apa kamu sempat sekolah sebelum pindah ke sini?" "Ya sempat lah. Aku sempat punya banyak teman, sempat ikut les gitar karena aku suka nyanyi juga." "Terus, kamu nggak kangen sama teman-temanmu itu?" Alin terdiam sebentar, kemudian menggelengkan kepala. "Aku lebih suka kehidupanku di sini." Meski begitu, Nino bisa tangkap ada gurat ragu dari cara Alin menjawabnya. "Kalau tim penyelamat datang, kamu boleh kalau mau ikut aku." Seketika Alin menoleh pada Nino dan tertawa terbahak-bahak. "Kamu masih aja berharap ada tim penyelamat melihat kamu?" Dan, seketika itu pula simpati Nino untuk Alin menguap. Sudahlah, salah Nino sendiri berusaha membantu orang yang telah tercuci otaknya sejak dini. "Tentu saja, aku berharap. Aku nggak tau apa yang kamu alami dan apa yang orangtuamu ajarkan ke kamu sampai-sampai nggak mau balik ke kehidupan normal lagi. Tapi aku nggak sama dengan kalian. Aku pasti akan pulang karena ayahku pasti sedang mencariku sampai ketemu." "Haha," Alin tertawa mengejek. "Kamu terdampar di sini saja sudah nggak normal. Tapi ya sudah lah, terserah kamu saja. Susah banget sih, dibilangin. Dan juga, Indonesia nggak akan kehilangan satu pemuda kayak kamu. Kamu nggak ditemukan pun, mereka masih punya jutaan pemuda lain." "Aku sebenarnya nggak mau mengatakan ini, takut dikira sombong tapi sepertinya kamu perlu tahu kalau aku ini beda dengan jutaan pemuda yang kamu bilang itu. Ayahku orang nomor satu di Indonesia, dia punya semua yang dia butuh untuk menemukan aku." "Orang nomor satu? Maksudmu presiden?" "Iya." "Serius?" Alin melebarkan mata terkejut. Seumur hidupnya yang sangat singkat itu, Alin mana pernah berinteraksi dengan orang-orang atau keluarga pesohor. Terlebih, dalam bayangannya seorang presiden pastilah orang terpilih yang telah melakukan hal luar biasa. "Beneran kamu anaknya presiden?" "Iya," jawab Nino meyakinkan. "Aku berterima kasih kalian menganggap aku sebagai Nino Yunta, tapi maaf, sampai kapanpun aku tetaplah Nino Abrawan. Nama asliku Clevonino Abrawan." Mendadak Alin terpaku, benar-benar seperti penggambaran bagaimana seseorang tersambar petir. "Abrawan ...?" gumamnya nyaris tak terdengar. "Maksud mu Arman Abrawan yang itu? Dia ... Presiden saat ini?" Sekali lagi Nino mengangguk mantap. Benar, Arman Abrawan sekarang presiden Indonesia. Dia adalah ayahku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN