Tahun 2002
Pagi hari menjadi waktu paling sibuk di keluarga Yunta. Eliza yang tengah hamil besar harus berpacu dengan waktu menyiapka sarapan sembari sesekali berteriak, memastikan Alindra dan Adrian bersiap-siap berangkat sekolah, dan bukannya balik tidur. Sementara itu, tidak banyak bantuan yang bisa dia harapkan dari Damar karena dia selalu pulang larut malam dan terkadang setiba di rumah masih harus lanjut kerja. Eliza telah menyerah mengeluh ataupun protes terkait pekerjaan sang suami yang seolah tak kenal waktu. Jika sedang kesal atau lelah sekali, Eliza terkadang mengungkit-ungkit keputusan Damar yang meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil demi mengejar passion-nya menjadi seorang jurnalis media surat kabar. Sebagai seorang istri, Eliza harus mendukung pilihan suaminya, selama Damar tidak melalaikan tugas utamanya sebagai suami dan ayah anak-anak mereka.
"Alin, Adri, cepat sarapan. Kalian akan terlambat kalau nggak keluar sekarang!" teriak Eliza sembari meletakkan piring-piring nasi goreng dengan telur mata sapi di depan kursi-kursi kosong di meja makan rumah mereka.
"Mama, Aca juga mau sarapan pakai nasi goreng dan telur mata sapi," ujar Anisya dengan suara cadel.
Eliza lantas meletakkan jatah makanan Anisya di depan gadis kecil itu. "Ini nasi goreng dan telur mata sapi buat Aca."
Anisya tersenyum manis. "Terima kasih, Mama. Aca suka telur mata sapi."
Eliza mengelus kepala Anisya sayang. Sejauh ini Anisya selalu menjadi satu-satunya yang belum pernah membuatnya stress. Dalam beberapa tahun ke depan, Eliza harap Anisya masih semanis dan sepatuh sekarang.
"Mama, kaos kaki hitam aku di mana?" teriak Alin dari arah kamarnya.
"Cari betul-betul, kamu sendiri yang menata pakaianmu di lemari."
"Iya, tapi nggak ada di tempat yang aku biasa taruh."
Eliza memejamkan mata sesaat. Biar kata Alindra sudah kelas 3 SMP, anak itu masih sering teledor. Padahal Eliza banyak berharap pada Alin, sebagai anak sulung dia bisa membantunya mengurus adik-adiknya. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
"Wah, nasi goreng," seru Adrian yang baru keluar dari kamar, telah lengkap dengan tas sekolah di tentengan dan seragam cokelat pramuka, kurang memakai sepatu saja. Bocah kelas 12 SD tapi badannya bongsor mirip anak seusia SMP itu lantas duduk di kursinya di mana porsi nasi goreng terbanyak.
Selang sesaat kemudian, Alindra muncul dengan wajah tertekuk. Tanpa bertanya Eliza tahu dia gagal menemukan apa kaos kakinya. Saat Eliza melirik ke arah kaki Alin, gadis itu memakai kaos kaki lamanya yang telah longgar. Sekarang tinggal Damar yang belum keluar, semalam dia sempat berpesan untuk tidak dibangunkan pagi. Akhirnya Eliza punya jeda waktu untuk istirahat dengan suasana tenang melihat anak-anaknya makan dengan lahap. Ya, meski anak-anaknya sering membuat sakit kepala, anehnya Eliza tidak kapok untuk menambah anak. Tinggal hitungan hari anak keempatnya akan lahir.
"Habis," desah Adrian, mengelus perutnya kekenyangan. "Aku berangkat sekarang ya, Ma." Adrian menyalimi tangan Eliza dan mencium punggung tangannya.
"Hati-hati naik sepedanya. Kalau mau main habis sekolah, pulang dulu buat makan dan ganti baju."
"Iya, Ma, iya," balas Adrian malas atas nasehat yang setiap hari sang ibu ulang-ulang.
"Heh, tunggu!" Baru beberapa langkah Adrian jalan, Alin berseru mengagetkan semua orang. Kedua matanya melotot dengan mulut penuh makanan, Alin menunjuk tepat ke arah sepasang kaki Adrian. "Itu kan kaos kaki aku."
"E-enak aja, ini punyaku sendiri."
"Enggak. Itu punyaku. Lepasin."
"Nggak mau, ini punyaku. Bleh ...." Adrian menjulurkan lidah mengejek sebelum kabur.
Sayangnya, Alin cukup gesit untuk menangkap dia sepebuh dia mencapai pintu keluar. "Lepasin, nggak? Aku bilang lepas!" teriak Alin berusaha melepas kaos kaki hitam itu dari kaki Adrian, tetapi itu tak mudah karena Adrian berontak sekuat tenaga sabil teriak-teriak.
Eliza menghela napas panjang, berakhir sudah ketenangan sesaat di rumah ini.
"Papa, Mama masak nasi goreng enak," ujar Anisya melihat papanya berjalan tergesa-gesa keluar kamar sembari mengancing kemejanya.
Terang saja, Eliza menatapnya keheranan. "Mau ke mana, Pa?" tanyanya lantaran Damar terlihat sangat buru-buru.
"Aku harus pergi, mau ketemu narasumber."
"Apa harus sekarang? Kamu baru tidur jam 5, Pa." Eliza mencemaskan kesehatan sang suami.
"Harus sekarang karena ini narasumber penting, aku nggak mau dia sampai berubah pikiran," jawab Damar mantap. Dia lalu minum sisa s**u yang tak habis Alin minum.
"Duduk sebentar, aku siain—"
"Nggak usah, nggak ada waktu," cegah Damar saat Eliza hendak bangkit dari duduknya. "Kenapa kamu nggak lerai mereka?" lanjut Damar menghendikkan dagu ke arah Alin dan Adrian yang masih saling bergulat rebutan kaos kaki.
Eliza menghela napas. "Nggak tahu. Lerai aja sendiri."
Saking buru-burunya, Damar sampai tak peka bahwa Eliza sedang merajuk. Damar lantas mengambil kunci mobilnya di gantungan tembok lalu berjalan menjauhi meja makan. "Hei hei hei, kalian akan terlambat kalau terus bertengkar. Berhenti sekarang juga," tegur Damar sambil lewat yang tentu saja hanya lewat di telinga kedua anaknya itu.
Eliza geleng-geleng tak habis pikir melihat kelakuan Damar, suaminya itu sangat menyebalkan setiap berurusan dengan pekerjaan. Ketika Eliza memukul-mukulkan sendok ke piring dengan murka, barulah Alin dan Adrian menghentikan perkelahian mereka.
***
Begitu tiba di alamat yang diberikan oleh nasarumbernya, tepatnya di depan sebuah hotel kelas melati. Damar bergegas ke meja resepsionis. Damar mengetuk-ngetuk meja kayu tersebut, membangunkan si penjaga yang tengah tertidur. "Saya mau ketemu Rudiardy Hermanto."
Resepsionis lelaki berpakaian biasa itu menguap lebar dan terlihat kesal lantaran tidurnya terganggu, dengan setengah hati dia memeriksa buku tamu. "Orangnya udah keluar, baru saja."
"Hah? nggak mungkin." Damar terkejut dan tak percya, pasalnya baru sejam lalu orang itu menghubunginya, memintanya untuk datang ke alamat ini. Damar langsung melompat dari kasur saat itu juga dan berusaha secepat mungkin tiba. Rudiardy Hermanto bukan narasumber sembarangan, dia adalah mantan ajudn Arman Abrawan yang saat ini tengah Damar dicurigai terlibat dalam kasus penggelapan dana bantuan sosial bencana gempa bumi yang terjadi di Jawa Barat, tempat Arman Abrawan menjabat sebagai Gubernur. Sudah banyak aktivis yang melaporkan dugaan tersebut, tapi penyelidikan tidak bisa dilanjutkan karena tidak adanya bukti. Samar lalu mendapat informasi bahwa di waktu bersamaan dengan dugaan itu merebak, ajudan Arman Abrawan tiba-tiba mengundurkan diri dan keberadaannya tidak diketahui. Maka, kegika tadi ajudan tersebut menghubunginya, Damar pikir ia tidak boleh melewatkannya.
"Situ ke sini mau tanya atau ngasih tahu?" balas si resepsionis itu sewot. "Ini di caratan sudah tertulis jelas, kok. Rudiardy Hermanto, keluar jam 7.38. Nih, lihat sendiri kalau nggak percaya." Damar melirik halaman buku yang ditunjuk resepsionis itu dan apa yang dikatakannya memang benar.
Kenapa sulit sekali menemui Rudiardy, seolah-olah dia tengah sembunyi dan harus berpindah-pindah agar tidak terlacak. Hal itu makin menambah kecurigaan Damar bahwa dugaan korupsi itu sepertinya benar dan Rudiardy merupakan saksi kunci dan barang bukti ada di tangannya.
Tersadar akan sesuatu, Damar menganggu resepsionis itu lagi. "Apa sebelum saya ada orang yang mencari dia? Dia pergi semdiri atau ada yang menjemputnya?" Damar memberondong pertanyaan. Kalau Rudiardy yang mengajaknya bertemu, seharusnya dia tidak pergi sebelum Damar datang.
"Dia balikin sendiri."
"Apa tadi ada ada orang atau mobil aneh di depan sebelum dia pergi?"
"Ck, mana saya tahu."
Damar mengembuskan napas, berusaha menenangkan diri. Ia saat ini benar-benar khawatir Rudiardy sedang dalam bahaya.
"Ngomong-ngomong, apa Anda ini Damar Yun ... Yun ...."
"Yunta," sambar Damar, tak sabaran menunggu resepsionis itu mengingat-ingat namanya. "Iya, saya Damar Yunta. Ada apa? Ada Pak Rudiardy menitipkan sesuatu?"
"Boleh lohat KTP-nya buat memastikan?"
Tanpa pikir panjang Damar lantas mengeluarkan KTP-nya. Resepsionis itu mencoba menyocokkan wajah Damar dengan wajah yang tercetak buram di kartu tersebut. Setelah yakin bahwa dia bertemu dengan orang yang benar, resepsionis itu lalu mengeluarkan sebuah map cokelat yang terlihat ringan. Segera Damar mengambilnya dan membawanya ke mobil, tak sabar ingin membuka apa isinya.
Damar duduk di balik kemudi, ia bersiap membuka map tersebut, tepat ketika ia menyadari dua sebuah motor dengan dua pengemudi mendekati mobilnya. Sebelum Damar sempat curiga, dalam sekekap mata mereka memecahkan kaca pintu mobilnya dan merampas map di tangan Damar, lalu kabur.
"Hei," teriak Damar, berusaja mengejar yang tentunya sia-sia lantaran dua orang itu sudah menghilang di jalan raya.
Damar memaki keras, kesal pada dirinya sendiri karena gak waspada dengan sekitar. Sekarang ia sangat yakin map tersebut berisi bukti penting, karena kalau tidak, tidak mungkin ada yang mengincarnya.
"Pak, apa yang diambil, Pak?" tanya resepsionis yang hotel serta beberapa orang sekitar yang melihat kejadian itu.
"Map yang tadi itu."
"Memang itu isinya apa?"
"Mana saya tahu." Damar mengembalikan decakan yang sebelumnya dilontarkan resepsionis itu.
"Tapi nggak ada barang-barang lain yang dirampok, kan?" tanyanya lagi penasaran yang dijawab Damar dengan gelengan kepala pelan. "Syukurlah kalau begitu, mungkin mereka ngiranya itu isinya uang karena mapnya cokelat."
Damar menghela napas dan menatap resepsionis itu datar. "Isi map itu lebih berharga dari harga benda, karena kalau enggak, nggak mungkin ada orang rela mempertaruhkan nyawa demi map itu."
"Maksudnya?"
Damar mengibaskan tangan, isyarat bahwa ia tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Saat Damar mengusap pelipisnya, ia baru menyadari bahwa pelipisnya berdarah terkena pecahan kaca. "Sial," rutuknya.
Arman Abrawan semakin berani. Damar bersumpah, ia tidak akan melepaskan Arman Abrawan semudah itu. Suatu saat nanti Damar pasti bisa membuktikan korupsi tersebut bahkan meski harus mempertaruhkan nyawa.
***
Tahun 2021
"Lagi ngapain, Pa?" tanya Eliza melihat suaminya tengah melamun di meja kerjanya. Entah kapan terakhir kali Eliza melijat Damar duduk di meja yang dulu semasa hidupnya merupakan tongkrongan Damar. Di meja kayu jati itulah banyak berita-berita sosial politik yang Damar tulis sebelum diinformasikan ke masyarakat.
Damar tersenyum kecil, terbangun dari kilas kenangannya semasa hidup. "Seharusnya aku dulu mendengarkan kamu, Liz. Kalau aja aku tetap menjadi PNS, kita mungkin susah jadi kakek nenek sekarang."
Eliza bergeming dari ambang pintu dan mendekati Damar. Ia mengusap punggung suaminya lembut. "Kalau kamu tetap jadi PNS, kamu mungkin nggak akan pernah merasakan kepuasan bisa melakukan sesuatu yang kamu sukai. Kamu mungkin setiap hari akan manyun dan rejeki yang kamu dapat nggak berkah karena kamu mengerjakannya nggak ikhlas. Meskipun nggak lama, seenggaknya kamu menjalaninya dengan bahagia dan bisa ngasih manfaat ke orang lain."
Damar menatap Eliza sarat akan rasa terima kasih. "Seharusnya dulu aku nggak menyentuh Arman Abrawan. Iya, kan?"
"Awalnya aku pikir juga begitu," desah Eliza. "Tapi setelah aku pikir-pikir, kamu sudah melakukan hal tepat. Kalaupun kata 'seharusnya' dipakai, bentuknya bukan kamu seharusnya nggak menyentuh dia. Tapi dia lah yang seharusnya nggak melakukan kejahatan, apalagi memakan uang orang-orang yang sedang kena musibah. Apa yang kamu lakukan memang sudah seharusnya."
"Tetap saja itu artinya aku gagal melindungi kalian."
"Jangan menyesali yang udah terjadi, Pa. Percuma, kita nggak mungkin bisa bangkit lagi."
Damar menganggukkan kepala setuju. "Menurutmu, apa kejahatan Abrawan sudah terungkap?"
"Pasti," jawab Eliza yakin. "Nino bilang, jaman sekarang sangat canggih. Orang-orang pasti semuanya pintar dan terdidik. Dari ratusan juta rakyat, aku yakin pasti ada yang menyelesaikan tugas yang belum sempat kamu selesaikan itu. Jadi dia mumgkin saat ini sudah busuk di penjara atau bahkan badannya udah jadi bangkai kayak kita."
"Kamu benar, seseorang pasti bisa membongkarnya. Bangkai nggak bisa disimpan selamanya," gumam Damar, menarik Eliza duduk di atas pangkuannya. "Kadang juga aku berpikir mati dan terjebak di sini nggak terlalu buruk karena kita nggak bisa menua, jadi kita nggak akan turun mesin."
Eliza tergelak sambil memukul daada Damar. "Dasar, itu terus pikiranmu." Meski begitu, saat Damar mendekatkan wajah wajahnya, Eliza mulai memejamkan mata, menanti bibir Damar menyentuh bibirnya.
Brak! Pintu terbuka dengan kasar, membuat pasangan suami istri itu berlonjak terkejut. Seketika Eliza berdiri dari pangkuan Damar.
"Alin!" tegur Damar. "Kamu bukan di umur dimana kamu masih harus diingatkan kalau masuk ruangan orang harus ketuk pintu."
Dengan napas terenggah-enggah, Alindra tampak tak menghiraukan teguran papanya. "Pa, Ma, kita harus usir Nino. Kita nggak boleh menampung dia di sini, aku nggak sudi tinggal sama dia."
"Apa maksudmu? Bicara pelan-pelan biar orang lain mengerti."
"Iya, Lin, tenangkan diri," timpal Eliza lebih lembut.
Alin menatap Damar dan Eliza bergantian. "Kalian tahu Nino itu siapa?" ujar Alin dengan suara bergetar emosional. "Nama belakang dia Abrawan. Dia mengaku kalau dia itu anaknya Arman Abrawan. Dan dia bilang, papanya itu adalah seorang presiden. Presiden, Pa, orang jahat itu presiden di dunia manusia."
Damar dan Eliza sontak saling lempar pandang dengan terkejut.