Bab 21. Hasil autopsi

1565 Kata
Bab 21. Hasil Autopsi Sampai di kamar, Ryan memilih untuk bertukar tempat dengan Farhan. Ryan memilih duduk di kursi belajar Bayu, dan Farhan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Belum latihan saja semua sudah terasa berat. Lihatlah, akibatnya Maury harus menjadi korban atas perilaku keji Penyihir Hyunfi. Maury yang tidak sama sekali ada sangkut pautnya dengannya, harus merelakan nyawa. Itu sebabnya dulu Ryan merasa ada yang aneh dengan Maury. Sejak dulu Maury sama sekali tidak tertarik untuk mendekati pria, Ryan yakin itu. Lalu tiba-tiba saat mereka duduk di bangku kelas 10 semester dua, saat bertemu di ruang kepala sekolah karena diutus untuk menjadi perwakilan sekolah dalam ajang olimpiade, Maury langsung berubah. Dia tiba-tiba menyatakan cinta kepada Ryan. Sejak saat itu Ryan langsung berusaha menjaga jarak dari Maury. Namun saat itu Ryan masih berpikir untuk terus menerima hadiah pemberian Maury karena takut melukai perasannya. Sampai di rumah, Ryan membuka hadiah itu, hanya untuk mengetahui apa isinya, setelah itu dia meletakkannya di bawah tempat tidur. Lama-kelaman Ryan jadi risih karena tingkah Maury yang semakin lama semakin terasa aneh menurutnya. Itulah alasan mengapa Ryan menolak hadiah terakhir pemberian Maury. Merasa bersyukur karena telah menolak hadiah itu tidak bisa Ryan lakukan. Dia merasa berdosa kalau melakukannya. Bagaimana bisa dia bersyukur saat orang lain tengah merelakan nyawa karenanya. Ryan menghela napas panjang. Dia menatap buku-buku yang tersusun rapi di atas meja, juga alat tulis dalam tempat berbentuk tabung. Apakah ini yang memang harus dia alami sebagai seorang pangeran? Banyak nyawa yang memang harus dikorbankan untuk melindunginya? Baru awal, dan sudah ada satu nyawa. Bahkan ini belum layak untuk disebut awal. Ryan belum melakukan apa-apa. Farhan duduk—menoleh. “Kamu gak lapar, Yan?” Ryan menggeleng lemas. “Apakah kamu merasa bersalah atas kematian Maury?” Pertanyaan Farhan membuat Ryan memutar badan. Ryan mengangguk. “Kamu tidak boleh berkecil hati, Yan.” “Lalu apa yang harus aku lakukan?” Farhan berdiri menghampiri. “Kamu harus membuktikan bahwa kamu kuat. Latihan sekuat tenaga, kalahkan mereka yang menghianati ayahmu. Itulah yang harus kamu lakukan.” “Tapi…” “Tidak ada tapi-tapian. Aku yakin kamu bisa, Yan. Aku sudah bersamamu selama sebelas tahun. Aku tahu kamu pasti bisa.” Farhan menepuk bahu Ryan. “Ayo makan, aku lapar.” __00__ Seakan tahu kalau mereka keluar kamar ingin mencari makanan, Ani sudah menyediakan gorengan dan es teh manis di meja makan. Di tersenyum melihat Ryan dan Farhan datang ke dapur. “Cari makanan, kan? Itu di meja ada gorengan.” Farhan tersenyum. “Terima kasih.” Ryan menarik kursi. “Bibi tahu saja kalau kami sedang lapar.” Ani meneruskan memotong sayuran untuk makan siang sambil tersenyum membalas perkataan Ryan. Ryan dan Farhan mulai menyantap gorengan. Rasanya enak. Ini pasti buatan Bi Ani, batin Ryan. Ryan semakin yakin kalau penduduk Negeri Zalaraya kalau sudah masak, pasti enak-enak semua masakannya. Lihat saja Ani dan Bi Narti, masakan keduanya sangat nikmat sekali. Tiba-tiba Ryan teringat kepada mamanya. Riana juga penduduk negeri Zalaraya, namun kenapa mamanya itu tidak bisa memasak. “Bi,” panggil Ryan. “Ya?” Ani memutar badan. “Bibi tahu kenapa Mama gak bisa masak?” Sepertinya Ryan harus menanyakan ini pada bibinya. Dari dulu Ryan selalu penasaran kenapa mamanya itu tidak bisa memasak. Sewaktu Ryan masih belum mengatahui fakta bahwa dia adalah pangeran, Ryan berpikir bahwa mungkin alasan kenapa mamanya tidak bisa memasak karena sibuk mengurus pekerjaan atau lain sebagainya. Tapi sekarang, melihat bagaimana bibinya dan Bi Narti lihai dalam memasak, membuatnya bertanya-tanya. “Putri Kierda sangat berbeda dengan Putri Reinva, Ryan.” Sejenak Ryan mengingat siapa Putri Kierda, ternyata itu nama mamanya yang asli. “Putri Kierda adalah sosok yang tomboi kalau istilah di bumi, dia sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal yang umumnya dilakukan perempuan. Bahkan Putri Kierda tidak mau memakai gaun.” Ryan menghentikan aktivitas makannya, dia lebih tertarik untuk mendengarkan kisah dari Ani. Tidak dengan Farhan, dia lebih memilih untuk makan. “Semua wanita di Negeri Zalaraya, semuanya pandai memasak. Para ibu sudah menanamkan hal itu sejak dini kepada anak perempuan mereka. Tapi mereka juga memberikan pengajaran kepada anak perempuan mereka, bahwa mereka yang tidak bisa memasak, bukan berarti malas atau pun sebagainya. Semua orang bebas menentukan jalan hidup mereka masing-masing. Itulah mengapa Bibi dan Bi Narti sangat jago memasak. “Putri Kierda memang berbeda dari perempuan pada umumnya. Dia lebih tertarik berperang, memainkan pedang, berkuda, memanah, dll. Dia juga lebih tertarik bergabung dengan pasukan perang ketimbang kami—memilih perhiasan yang harus digunakan untuk beberapa hari ke depan. Namun itu semua berubah semenjak kehadiran dirimu, Pangeran… maksudku Ryan. Sejak Puri Kierda merawatmu, dia mulai berubah, mulai menjadi kemayu layaknya perempuan pada umumnya. Namun untuk memasak, entah kenapa dia sudah mencoba, namun tetap tidak bisa.” Menyenangkan sekali mendengarkan kisah bagaimana perjalanan mamanya. “Bisakah Bibi menceritakan bagaimana papa dulu?” Ani tersenyum. “Nanti ya. Bibi harus segera menyelesaikan ini sebelum Bayu pulang. Kita juga harus makan siang, bukan?” Ryan mengeluh. Padahal tadi sudah asyik sekali mendengarkan kisah tentang mamanya. Ryan terkejut ketika melihat piring sudah bersih. Gorengan yang tadinya banyak, sudah habis dimakan Farhan. Ryan baru saja makan dua potong. Farhan nyengir kuda—merasa tidak bersalah. Bahkan kini dia bersendawa di depan Ryan. “Kamu…” “Tenang, masih ada.” Ani meletakkan satu piring lagi berisi gorengan—yang hangat, baru turun dari penggorengan. Farhan memang benar-benar keterlaluan. Lihatlah, dia sudah menghabiskan satu piring sendiri, dan kini dia juga mengambil gorengan dari piring yang baru diletakkan Ani. Ryan hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Ryan mengambil satu potong, mulai memakan. Tersisa tiga potong lagi, dia sudah kenyang. Farhan pergi ke kamar mandi sudah lima menit yang lalu. Nampaknya dia kena karma karena terlalu rakus. Perutnya mules katanya. Bayu pulang. “Lekas ganti baju, kita makan siang.” “Baik, Bu," jawab Bayu. Hari ini Bayu pulang lebih awal ketimbang kemarin. Hari ini bayu pulang pukul 13.00. Mungkin kemarin karena dia ikut olimpiade jadinya pulang terlambat. Adi sudah masuk dari pintu belakang. Dia baru saja kembali dari kolam ikan miliknya yang tak jauh dari rumah. Ryan langsung ingin pergi ke sana untuk memancing. Adi membolehkan, tapi setelah latihan besok. Tak apalah, batin Ryan. Yang penting dia bisa memancing esok hari, hitung-hitung melepas penat setelah latihan. Bayu sudah bergabung di meja makan. Farhan juga sudah kembali dari kamar mandi, ikut bergabung juga di meja makan. Sepertinya Farhan sudah mengeluarkan isi perutnya. Lihatlah, dia lahap sekali. Sesi makan ini disertai obrolan ringan mengenai sekolah bayu, Adi bercerita tentang burung peliharaannya. Terdengar menyenangkan. Sama seperti Ryan saat sedang makan bersama kedua orang tuanya—Rangga dan Riana. Mereka selalu membahas apa saja saat sedang makan. Lima belas menit, piring-piring mereka sudah mulai kesat kembali, kecuali Farhan. Dia menambah nasi dan lauk. Saat orang sudah selesai semua, porsi di piringnya terlihat seperti orang baru makan. Mau bagaimana lagi, itulah Farhan si Perut Karet. Selesai makan, Ryan hendak membantu Ani membereskan meja dan mencuci piring. Ani menolak, dia menyuruh Ryan untuk bergabung bersama yang lain saja di kamar. Ryan menuruti saja. Dia pergi ke kamar Bayu. Ryan memilih untuk menghabiskan waktunya membaca novel. Mood membacanya sudah hampir pulih. Pilihan buku Ryan jatuh kepada siapa lagi kalau bukan penulis favoritnya—Tere Liye. Novel Negeri di Ujung Tanduk menjadi bacaannya saat ini. Farhan tengah rebahan di atas tempat tidut, di samping Ryan duduk. Farhan tengah menggulir layar ponselnya, membuka sosial media. Sedangkan Bayu tengah asyik duduk di meja belajarnya, membaca buku, lagi-lagi rumus fisika. Sebenarnya Farhan sedang menunggu telepon dari Sinta. Sesampainya di rumah tadi, Farhan langsung mengirim pesan kepada Sinta agar segera memberitahukan kepadanya hasil autopsy Maury. Terus terang Ryan juga menunggu itu. Mendengar cerita pamannya tadi membuatnya jadi penasaran apakah memang Penyihir Hyunfi memiliki kemampuan seperti itu. Pamannya tidak mungkin berbohong. Tapi bagi Ryan yang selama ini hidup normal di Bumi, butuh waktu untuk mempercayai hal-hal semacam itu. Ryan fokus membaca. Dia tergolong orang yang cepat dalam membaca. Baru setengah jam berlalu, Ryan sudah tiba di halaman ke-40. Pintu terbuka. Ani membawa sebuah nampan berisi ceret besar, tiga gelas, dan sepiring camilan kering. “Ini untuk kalian.” Ini menyenangkan sekali. Ani sering sekali membuat camilan untuk mereka. Dan sekarang juga saat yang tetap menurut Ryan. Membaca sambil memakan camilan saatlah nikmat. Ani keluar. Bayu mengisi satu persatu gelas. Farhan mengambilkan gelas untuk Ryan juga, meletakkannya di atas nakas. Bayu bilang dia tidak ingin makan camilan itu. Tentu hal tersebut menjadi kabar baik bagi Farhan. Dia langsung mengambil piring, meletakkan di atas nakas juga, di samping gelasnya dan gelas Ryan. Itu bukan ide buruk juga sebenarnya, Ryan jadi bisa ikut makan camilan itu. Tiba-tiba ponsel Farhan bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sinta. Farhan membaca dengan teliti, wajahnya serius dan kaget. “Benar apa yang pamanmu katakan, Ryan,” ujar Farhan. “Mereka mengatakan bahwa kematian Maury disebabkan oleh gigitan kalajengking. Tubuhnya tidak sanggup untuk menahan racun kalajengking itu. Mereka juga mengatakan bahwa ini adalah varian kalajengking baru, karena racunnya sangat kuat.” Tentu saja itu adalah varian kalajengking baru, karena tidak akan ditemukan di mana pun. Itu adalah ulah Penyihir Hyunfi. Setelah mengetahu fakta ini, membuat Ryan benar-benar harus berlatih dengan sungguh-sungguh. Lawannya bukanlah orang sembarangan. Pantas saja Penyihir Hyunfi sampai dibekukan ayahnya, karena memang penyihir itu sangat berbahaya. Jika terus dibiarkan, maka Penyihir Hyunfi akan melakukan apa saja semaunya. Akan lebih banyak lagi nyawa yang dikorbankan, Ryan tidak akan membiarkan itu terjadi. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN