Bab 3. Rumah sakit

1643 Kata
“Sebelum Bapak mulai, Bapak absen dulu, ya.” Pak Eko membuka buku absen yang teronggok di sudut meja. Pak Eko membuka halaman kelima. “Andrina?” Sosok murid dengan rambut potongan Dora dan juga mengenakan kacamata mengangkat tangannya. “Hadir, Pak!” “Andre?” “Hadir, Pak!” “Bagus?” Sosok yang menduduki peringkat dua setelah Ryan mengangkat tangan. “Hadir, Pak!” Hingga tiba di nama Maury. Senyap. Tidak ada jawaban. “Maury?” panggil Pak Eko sekali lagi. Murid-murid yang lain mencari-cari di mana Maury. “Tidak ada, Pak.” Murid yang berambut mirip Dora berseru. “Ke mana dia?” Aneh. Maury biasanya tidak pernah absen. Dia adalah gadis yang mendapatkan penghargaan siswa teladan karena saking rajin dan aktifnya. Bukan hanya itu, keramahannya pada semua guru dan murid-murid yang lain, menjadikannya pantas untuk mendapatkan gelar tersebut. Namun bagaimana bisa hari ini dia tidak hadir ke sekolah, tanpa keterangan pula. Farhan dari tadi menunggu Ryan. Dia belum juga datang. Urutan abjad sudah sampai di P dan Ryan juga belum sampai. “Ryan Alexa Zalaraya?” Hening. ` “Ryan?” beo Pak Eko lagi. Guru mata pelajaran Fisika itu melihat ke arah Farhan. “Ryan mana, Han?” “Gak tau, Pak!” Farhan mengedikkan bahunya. “Mungkin masih di jalan, Pak.” Pak Eko melanjutkan membaca absen. Kemana Ryan sebenarnya? Tidak biasanya anak itu terlambat atau pun absen sekolah tanpa keterangan. __00__ Di depan pintu ruangan tempat Riana diperiksa, Ryan mondar-mandir sembari menggigit jarinya. Dia terus menerus berdoa dalam hati memohon agar tidak terjadi apa-apa pada mamanya. Jika kemarin-kemarin alasannya karena terlalu lama terpapar sinar matahari makanya mamanya pingsan, lalu sekarang karena apa? Mamanya baru keluar rumah mengantarkan mereka ke depan saja. Kalau sinar matahari penyebab mamanya pingsan, sepertinya itu salah. Ryan berharap semoga mamanya pingsan karena sedang mengandung. Rangga tengah meraup wajahnya menggunakan dua telapak tangan. Dia sedang duduk di kursi tunggu yang disediakan pihak rumah sakit. Sembari menggoyangkan kaki, dia tengah memikirkan cara bagaimana agar Ryan bisa pergi sebentar saja dari sana. Rangga tidak boleh terlambat. Kalau sampai dia terlambat, maka Ryan akan mengetahui sesuatu sebelum waktunya. Terdengar suara ponsel berdering. Ryan merogoh sakunya, menerima sambungan telepon itu. “Halo, Han. Kenapa?” “Kamu lagi di mana? Kenapa gak masuk?” “Aku lagi di rumah sakit, Han.” Tanpa sadar Ryan berjalan menjauh dari ruangan mamanya sembari menerima telpon. “Pingsan lagi?” Ryan ber-hm lesu. “Ntar pulang sekolah aku ke sana, deh, mau jenguk.” “Ya, udah. Aku tutup, ya?” “Tunggu, tunggu!” Farhan sedikit menjerit di seberang sana. “Apa lagi, Han?” “Maury gak masuk juga. Aku takut dia sakit gara-gara kamu tolak hadiahnya kemarin.” “Hubungannya samaku apa?” Ryan tidak setuju dengan apa yang barusan dikatakan Farhan. “Masak iya gara-gara hadiahnya kutolak dia jadi sakit?” “Aku pokoknya udah kasih tau kamu.” “Iya, iya.” Ryan mematikan sambungan telponnya. Dia baru sadar kalau jaraknya sekarang sudah agak jauh dari ruangan mamanya. Ryan berjalan mendatangi papanya. “Siapa?” tanya Rangga ketika Ryan sudah melengketkan bokongnya di samping papanya. “Farhan, Pa.” Rangga ber-oh sebentar, kemudian menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Ryan bisa melihat pasti saat ini papanya sedang khawatir dengan keadaan mamanya. Pintu terbuka. Seorang dokter perempuan berambut kuncir kuda memakai kaca mata keluar. Rangga dan Ryan berdiri bersamaan. Mereka juga berjalan bersamaan mendatangi dokter tersebut. “Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Rangga dengan wajah khawatirnya. “Keadaan Bu Riana baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bu Riana hanya sedikit dehidrasi. Setelah istirahat yang cukup, Bu Riana sudah bisa dibawa pulang,” ujar Dokter tersebut dengan sangat ramah. Rangga dan Ryan menghela napas lega. Seperti kata dokter barusan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Kalau begitu saya pamit, ya?” “Terima kasih Bu Dokter!” “Sama-sama, Pak.” __00__ Ryan duduk di kursi sambil memegang tangan mamanya. Rangga berdiri di samping Ryan sambil memandangi wajah istrinya. Dia mengulum senyum tipis. Syukurlah Ryan tadi pergi dari depan ruangan. Sehingga semua masih didalam kendalinya. Tidak ada waktu. Rangga harus menemui Bi Narti untuk meminta cairan obat untuk Riana. Andai saja Bi Narti hari ini tidak absen bekerja, Riana tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Tinggal diberi ramuan obat racikan Bi Narti saja untuk menghambat racun di dalam tubuh Riana. “Kamu jaga Mama, ya. Papa ada urusan di luar sebentar.” Rangga memegang bahu Ryan. “Iya, Pa.” Rangga keluar dari ruangan menuju rumah Bi Narti. Ryan mengelus punggung tangan mamanya menggunakan ibu jari. Sembari memandangi wajah Riana, Ryan tersenyum senang. Syukurlah tidak terjadi apa pun dengan mamanya. Hanya dehidrasi saja. Setelah istirahat yang cukup, Riana akan kembali normal. Hipotesis bahwa mamanya itu hamil sudah disingkirkan Ryan jauh-jauh. Malam itu dia mengira bahwa itu adalah hipotesis yang paling masuk akal. Ternyata dia salah. Mamanya hanya dehidrasi biasa. Tidak lebih. Jam masih pukul 10.30 waktu itu, namun Ryan merasakan kantuk. Matanya terasa berat sekali. Ryan berusaha mengedipkan matanya cepat untuk mengusir rasa kantuk, tapi tidak terjadi apa-apa. Rasa kantuknya semakin kuat. Ryan memutuskan untuk tidur. Diletakkannya kepalanya di samping lengan Riana. Masih terus memegangi tangan mamanya, perlahan mata Ryan mulai tertutup. Detik berikutnya, kesadarannya sudah lenyap entah ke mana. Ryan bermimpi sedang berada di puncak bukit. Dia melihat ke bawah, banyak sekali orang-orang memakai baju besi saling beradu pedang satu sama lain. Bukan hanya satu dua orang, melainkan ribuan orang sedang mengadu nyawa. Karena tidak yakin dengan apa yang dilihatnya sekarang, Ryan berkali-kali menggosok matanya. Saat dibuka, dia masih melihat pemandangan yang sama. Ryan mengedarkan pandangannya menilik sekeliling. Ini bukan seperti tempatnya tinggal. Langit di sini berwarna merah gelap. Ryan tidak bisa melihat matahari. Warna tanahnya juga hitam legam. Tanpa disadari, di tangannya ada sebilah pedang berwarna biru dan gagangnya berwarna emas. Ryan kaget melihat benda itu mengapa bisa ada di tangannya. Dia semakin kaget ketika menyadari bahwa dirinya juga mengenakan baju besi lengkap dengan pelindung kepala yang terbuat dari bahan serupa melekat di tubuhnya. Ryan memegangi baju besi tersebut. Diketuknya, dan itu benar-benar terbuat dari besi. Ryan melihat ke bawah lagi. Tiba-tiba melesat menuju ke arahnya anak panah. Ryan mengulurkan tangannya dengan posisi telapak tangan menghadap ke depan. Keluar cahaya biru, mengenai anak panah tersebut membuat benda beruncin tajam yang tadi menuju ke arahnya menghilang. Ryan tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Dia melihat tangannya, memperhatikan setiap inchi dari bagian indra peraba itu. Ryan tidak bisa melihat celah atau apa pun itu untuk tempat dari mana berasalnya cahaya biru tadi. Dicobanya lagi mengarahkan tangannya ke bawah. Tidak ada cahaya apa pun yang memancar. Belum puas, Ryan mencoba sekali lagi. Tidak ada juga cahaya yang memancar. “Ryan!” pekik seseorang. Ryan mencari dari mana sumber suara itu berasal. Dia melihat ke bawah, tidak menemukan siapa yang tadi menyebut namanya. Saat melihat ke atas, Ryan terkejut bukan main. Di atas tempatnya berdiri sekarang, dia melihat seekor hewan mitologi Yunani yang hanya pernah dia baca di buku dongeng saja. Ryan sama sekali tidak percaya dia bisa melihat hewan itu sekarang. “Lemparkan pedang itu!” pekik sosok yang kini sudah bisa Ryan lihat wajahnya. Dia mengucek matanya berkali-kali lagi. Benarkah apa yang dilihatnya? Paman Adi? Paman Adi menunggangi seekor griffin? “Cepat, Ryan!” Masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya, Ryan mematung kaku. Dia menatap kosong lurus ke depan mencoba merasionalkan apa yang barusan terjadi dan apa yang barusan dia lihat. Akal sehatnya tidak bekerja cepat seperti mencerna pelajaran-pelajaran sulit di kelas. Entah kenapa kali ini otaknya itu kesulitan untuk mencerna dengan cepat. “Lemparkan tongkat itu!” jerit Adi untuk yang terakhir kalinya. Saat Ryan tersadar dari lamunannya, sebilah pedang sudah menembus jantungnya dari belakang. Ryan terlambat. Dia merasakan sakit luar biasa. Saat pedang itu dicabut dari dadanya darah segar langsung mengucur ke bawah. Sejurus kemudian, kakinya terasa lemas. Ryan terduduk. Pedang yang ada di tangannya terlepas. Tangannya meraba d**a. Ryan melihat tangan yang sekarang sudah penuh darah. “Ryan!” Adi mendatanginya. Dia mulai sayup-sayup melihat wajah pamannya. “Bangun, Ryan, bangun!” Adi mengguncang kuat tubuh Ryan. “Bangun Ryan!” Ryan membuka matanya lalu langsung duduk. Belum lagi nyawanya terkumpul sepenuhnya, Ryan sudah dibuat kaget lagi. Dia sekarang sedang berada di kamarnya. Ya. Di kamarnya. Ryan memeriksa pakaian apa yang dikenakannya sekarang. Kaos oversize berwarna hitam dan celana se-dengkul berwarna serupa. Dia memegang dadanya, memeriksa. Ryan sengaja menekan bagian itu. Tidak ada rasa sakit. Ryan mengucek matanya berkali-kali. Dia masih berada di tempat yang sama—kamarnya. Ryan melihat jam dinding. Pukul 2 siang. Ryan tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang. Bagaimana bisa dia bermimpi seperti itu? Mimpi aneh apa barusan? Dia berada di puncak bukit? Melihat griffin? Ditusuk pedang? Apa arti mimpinya barusan? Lalu bagaimana bisa sekarang dia berada di kamarnya? Bukankah seharusnya saat ini dia berada di rumah sakit, menemani mamanya sampai papanya kembali? Pintu diketuk. “Ryan, temen kamu datang,” ujar sosok perempuan dari balik pintu. Ryan langsung mengenali suara tersebut. Itu suaranya mamanya. Kenapa mamanya bisa ada di rumah dan dari suara yang dia dengar barusan, suara mamanya terdengar sehat seperti biasa. “Iya, Ma.” Cepat-cepat Ryan turun dari tempat tidur membuka pintu. “Mama udah sembuh?” “Sembuh?” beo Riana dengan air muka tidak mengerti. “Emang Mama kenapa?” Aneh. Kenapa dengan mamanya? Apakah dia sengaja melakukan itu untuk mengerjainya? “Mama bercanda pasti, kan?” Riana terkekeh pelan. Diacaknya rambut Ryan. “Efek kelamaan tidur nih, jadinya kamu ngelantur.” Riana mencubit pipi Ryan. “Sudah sana, Farhan udah nunggu di depan tuh.” Ryan bingung. Apa yang sebenarnya terjadi sekarang? Kenapa mamanya itu bisa lupa kalau dia barusan pingsan dan dilarikan ke rumah sakit beberapa jam lalu. Ryan memukul pipinya untuk menyadarkan diri. “Mama pasti ngerjain aku,” ucapnya percaya diri. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN