“Ini obatnya, Tuan.” Bi Narti menyerahkan gelas berisi cairan berwarna hijau tua kepada Rangga.
Rangga mendudukkan Riana—mamanya Ryan untuk meminumkan obat. Dengan bantuan sendok, obat itu sudah masuk ke dalam mulut Riana. Rangga kembali menidurkan Riana setelah kurang lebih memasukkan tiga sendok cairan obat yang diberikan Bi Narti.
Ryan menatap cemas mamanya. Jika dihitung, ini sudah kali kesepuluh Riana pulang dalam keadaan pingsan seperti itu. Ryan ingin sekali mengajak mamanya untuk berobat, tapi Riana selalu menolak dengan dalih bahwa dia hanya kecapekan saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun jika terus-terusan seperti itu, Ryan semakin yakin ada yang disembunyikan oleh kedua orang tuanya. Ryan pernah menanyakan perihal Kesehatan mamanya kepada Rangga. Hanya gurauan yang Ryan terima sebagai jawaban, sama seperti saat dia menanyakan arti ‘Zalaraya’ nama belakangnya.
Dulu waktu Ryan masuk SMP, banyak teman-teman yang mempertanyakan perihal kata ‘Zalaraya’ di nama lengkapnya. Mereka bilang kata itu aneh dan asing di telinga mereka. Ada juga yang menjadikan kata tersebut sebagai lawakan untuk mengejek Ryan. Ryan Alexa Zalaraya. Di antara banyaknya orang yang mengatakan itu aneh, ada satu yang mengatakan itu keren. Farhan bilang Zalaraya itu adalah nama yang keren.
Penasaran, akhirnya Ryan menanyakan arti kata itu kepada papanya. Papanya bilang, kata ‘Zalaraya’ itu akan membuatnya menjadi seseorang yang disegani. Hingga sebesar ini, Ryan masih belum paham apa yang dimaksud papanya itu.
Riana batuk. Keluar cairan kental berwarna hitam dari dalam mulutnya. Rangga segera mengelap menggunakan sapu tangan. Perlahan mata Riana terbuka. Dia memperhatikan satu persatu wajah yang sedang mengawasinya. Riana memegang pelipisnya. Kepalanya terasa pusing dan berat sekali. Dia mencoba untuk bangun, dibantu Rangga.
“Mama gak kenapa-napa,’kan?” tanya Ryan panik.
Riana menggelengkan kepala pelan. “Nggak. Mama nggak kenapa-napa.”
“Kita ke kamar aja, ya.” Rangga langsung menggendong Riana, membawanya ke kamar.
Bi Narti hendak kembali ke dapur ketika Ryan memanggilnya.
“Ada apa, Den?”
“Bibi tau mama sakit apa?”
“Nggak, Den. Bibi gak tau apa-apa.”
“Terus obat itu? Itu obat apa? Bibi dapet dari mana?” cerca Ryan.
Bi Narti terlihat gugup saat Ryan mencercanya secara beruntun. Tangan Bi Narti bergetar. Dia tidak bisa memberitahukan hal yang sebenarnya kepada Ryan sebelum tiba waktu yang tepat.
“Kok diem, Bi?”
“Itu jamu tradisional, Den. Resep turun temurun keluarga Bibi. Biasanya kalau ada yang pingsan langsung dikasih minuman itu biar cepet sadar.”
Ryan menatap wajah Bi Narti memastikan tidak ada kebohongan di sana. Jika melihat dari jawaban yang Bi Narti hadirkan barusan, bisa saja itu benar. Bi Narti ini memang ahlinya memanfaatkan bahan-bahan herbal. Sering kali dia memberikan ramuan saat Ryan masuk angin atau pusing kepala. Tapi entah kenapa, rasa ragu hadir dalam dirinya.
Selain itu mengapa dari mulut mamanya keluar cairan kental berwarna hitam?
“Bibi permisi dulu, ya, Den. Banyak kerjaan soalnya.” Bi Narti langsung pergi kembali ke dapur, tanpa meminta persetujuan dari Ryan.
__00__
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Rangga sambil mengelus pucuk kepala Riana.
Riana memejamkan matanya sejenak sebelum menjawab. “Baik. Aku tidak apa-apa.”
“Kamu tidak boleh terlalu lama terpapar sinar matahari, tubuhmu akan lemah.”
Riana mengangguk paham.
“Lain kali kalau perlu sesuatu, bilang saja kepadaku. Ini sudah kali kesepuluhnya kamu pingsan. Jika terus-terusan begini, Ryan bisa curiga.”
“Maafkan aku, ya,” lirih Riana.
“Sebentar lagi pasti Ryan masuk dan langsung bertanya penyakit apa yang sebenarnya ada dalam tubuhmu.”
Rangga hanya khawatir semua yang telah mereka rencanakan akan gagal. Mereka sudah menunggu cukup lama hingga nanti tiba waktunya. Mereka tidak tahu kapan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Bisa saja datang tiba-tiba.
Pintu diketuk.
“Itu pasti Ryan.”
Riana mengusap tangan Rangga dengan jempolnya. Dia mencoba untuk menenangkan suaminya, dan mencoba untuk mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jadi dia tidak perlu khawatir.
Rangga berjalan membukakan pintu.
“Mama gimana, Pa? Baik-baik aja, kan?”
Rangga mengulum senyum tipis, mengangguk. “Mamamu hanya kelelahan saja. Dia terlalu keras kepala sama sepertimu. Sudah tahu tidak bisa kena panas malah keluar lama-lama,” gerutu Rangga.
“Ryan masuk, ya, Pa?”
Rangga mempersilakan Ryan untuk menjenguk mamanya.
Ryan mengambil posisi di sebelah mamanya. Rasa khawatirnya sudah hilang sekarang, digantikan tanda tanya besar. Kenapa mamanya ini sering sekali pingsan. Meskipun menurutnya ini waktu yang tidak tepat untuk mempertanyakan apa yang ada di kepalanya, namun kalau tidak sekarang, kapan lagi?
“Ryan mau nanya sesuatu, Ma?”
“Apa, Nak? Tanyakanlah.”
Ryan memijat tangan mamanya. “Mama sebenarnya sakit apa?”
Benar dugaan Rangga. Dia sudah menebak pasti Ryan akan segera mempertanyakan hal yang sempat dikhawatirkannya. Ryan adalah tipe orang yang tidak bisa menahan rasa penasaran. Jika ada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya di kepalanya, maka dia akan langsung bertanya agar rasa penasarannya itu terjawab.
“Mama gak sakit, Nak. Mama cuman kelelahan aja.”
Ryan menolah ke arah papanya. Rangga mengedikkan bahunya.
“Mama istirahat, ya.” Ryan mengecup kening Riana. “Good night, Mom!”
__00__
Ryan menutup pintu kemudian menguncinya. Dia merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Sembari menatap langit-langit, dia mencoba memikirkan penyakit apa yang diderita mamanya saat ini. Ryan mengingat-ingat. Terhitung sepuluh kali mamanya pingsan dalam sebulan belakangan. Selain itu, mamanya juga sering muntah-muntah.
Ryan langsung duduk begitu hipotesis yang paling masuk akal melintas di kepalanya. Apa jangan-jangan mamanya itu hamil?
Ryan mengambil ponselnya di atas nakas. Dia langsung membuka google lalu mengetik di pencarian 'Ciri-ciri hamil yang biasa wanita alami'.
Ryan membaca satu persatu ciri-ciri yang diberikan.
-Terlambat menstruasi
-Mual dan muntah
-Cepat lemas dan lelah
-Perubahan nafsu makan
“Apa benar Mama hamil?” gumamnya. Semua ciri-ciri yang disebutkan, hanya satu saja yang Ryan tidak tahu apakah benar terjadi pada mamanya atau tidak. Ryan harus menanyakan hal tersebut untuk memastikan. Tapi itu tidak mungkin dia lakukan. Nafsu makan mamanya pun sering kali berubah-ubah tak menentu. Ryan ingat pernah suatu hari Bi Narti memasak rendang sapi. Biasanya mamanya sangat suka makanan itu, namun mendadak mamanya tidak ingin memakannya.
“Atau Mama dibawa periksa ke rumah sakit aja?”
Ryan menjentikkan jarinya. Dia merasa itu ide bagus. Dan tidak ada salahnya untuk mencoba. Lagi pula, agar rasa penasarannya lekas menghilang. Sebelum dia mengetahui apa penyebab sebenarnya yang membuat mamanya sering pingsan, maka Ryan akan terus mencari jawaban untuk rasa penasarannya itu.
Pagi harinya setelah memakai seragam sekolah, Ryan turun ke bawah menuju ruang makan. Ryan menarik kursi di samping papanya. Belum lagi dia meletakkan bokongnya, terdengar suara seseorang menyebut namanya.
“Ya, Ma?” jawab Ryan menoleh ke belakang. Mamanya tengah membawa kotak kardus berukuran sedang.
Ryan langsung menjemput kardus itu. “Dari siapa, Ma?”
“Gak tau Mama. Gak ada juga nama pengirimnya,” jawab Riana. “Tapi keliatannya itu buat kamu.”
“Ryan bawa ke atas dulu, ya, Ma.” Ryan mengambil alih kardus itu.
“Jangan lama-lama. Langsung turun, sarapan.”
Ryan bergegas membawa kardus tersebut ke kamarnya. Dia meletakkan benda kubus itu di bawah meja belajarnya. Ryan berniat membukanya nanti saja selepas pulang sekolah. Lagi pula dia harus cepat sarapan lalu pergi ke sekolah.
Ryan turun ikut bergabung sarapan bersama Mama dan papanya.
“Ini buat kamu.” Riana memberikan piring yang sudah berisi dua potong roti plus sudah dioleskan selai kacang juga.
Ryan menerima piring itu lalu duduk dan mulai menyantapnya.
Ryan belum melihat Bi Narti pagi ini. Dia langsung bertanya kepada mamanya.
“Bi Narti hari ini libur, anaknya melahirkan.”
“Wah. Bi Narti udah mau punya cucu aja, ya, Ma.”
Rangga mengoleskan selai di roti yang baru diambilnya. “Kamu gak bosen sekolah Papa anter terus?”
Ryan menggelengkan kepala. “Nggak, Pa. Lagian Ryan juga kan belum punya sim.”
“Kapan rencananya mau buat?”
Ryan menelan roti yang ada di dalam mulutnya. “Kapan papa cuti aja.”
Melihat potongan roti di piring Ryan sudah habis, Riana berniat untuk menambahkan lagi untuk anaknya, namun keburu dicegah Ryan. “Gak usah, Ma. Ryan udah kenyang.”
“Ya, sudah.” Riana memberikan gelas berisi s**u. “Habisin, ya.”
__00__
Ryan keluar dari kamarnya. Di punggungnya sudah menggendong tas berisi buku-buku pelajaran. Di depan mama dan papanya sudah menunggu. Ryan menyalami punggung tangan mamanya, lalu masuk ke dalam mobil.
Ryan biasanya pergi ke sekolah berbarengan dengan papanya. Papanya itu sudah menawarkannya untuk punya supir pribadi saja. Pak Mahmud—supir pribadi mamanya bisa menjadi supir pribadinya juga. Namun Ryan menolak. Dia lebih suka pergi ke sekolah diantar papanya seperti itu. Lagi pula kantor dan sekolahnya satu jalan. Lebih menghemat bensin pikir Ryan.
Ryan masih bisa melihat lambaian tangan mamanya dari kaca spion mobil sampai lambaian tangan itu melemah, kemudian si pemilik tangan tergelak jatuh ke tanah.
“Pa, Pa.” Ryan menepuk bahu papanya menyuruh berhenti. “Mama pingsan!”
Ryan langsung turun dari mobil, berlari menghampiri mamanya. Diangkatnya kepala mamanya menggunakan tangan kanan, lalu tangan kirinya digunakan untuk menepuk-nepuk pipi Riana. “Ma, bangun, Ma, bangun.”
Riana tidak bereaksi.
“Ma, bangun.” Ryan memperkencang tepukan tangan di wajah mamanya.
“Panggil Pak Mahmud.” Rangga mengambil alih menahan kepala Riana.
Ryan berlari ke halaman belakang memanggil Pak Mahmud di rumahnya. Saat itu Pak Mahmud tengah mencuci mobil mamanya. Begitu mendengar bahwa Riana pingsan, Pak Mahmud langsung mengambil jaket, meninggalkan cucian mobilnya.
Rangga membopong Riana, memasukkannya ke dalam mobil. Pak Mahmud diminta untuk membawa mobil satunya, mengantarkan Ryan ikut ke rumah sakit. Rangga menoleh ke belakang sesaat memastikan posisi Riana sudah siap. Rangga menginjak gas, bergegas menuju rumah sakit.
Bersambung...