Bab 12. Racun

1704 Kata
Riana memasang kuda-kuda kuat menahan Penyihir Hyunfi dalam belenggu kabut hitam yang dia ciptakan. Penyihir Hyunfi tertawa terbahak-bahak namun suaranya tertahan. “Kalian pikir ini bisa menahanku?” Dia tertawa lagi. Rangga dan Riana saling tatap. Rangga mengangkat kedua tangannya ke atas. Tak lama petir saling bersautan di langit. Terdengar gemuruh yang memekakkan telinga. Rangga mengarahkan kedua tangannya ke arah Hyunfi. Dua aliran petir menyambar ke arahnya. Ledakan terjadi. Cahaya kilat muncul membuat kilau yang membuat mata tidak bisa melihat. Debu juga ikut berterbangan. Rangga dan Riana menggunakan lengan mereka untuk menutup mata. Rangga dan Riana membuka mata mereka ketika cahaya menyilaukan hilang. Abu berterbangan membuat mereka sedikit kesulitan untuk melihat ke depan. Rangga mengangkat tinjunya. Kepalan tangan Rangga bercahaya. Jarak radius lima puluh meter di sekitar mereka bercahaya—terang sekali. Riana mengerjap kaget. Penyihir Hyunfi menghilang, tidak terlihat sama sekali. Rangga dan Riana mencari-cari, mereka memutar badan melihat sekeliling, masih dalam posisi siaga. Penyihir Hyunfi benar-benar tidak terlihat. Rangga menurunkan tangannya. Cahaya padam. Keadaan kembali remang-remang. Tidak ada suara atau pun gesekan sedikit pun. Situasi benar-benar lengang saat ini. Mereka berdua masih tetap siaga untuk kondisi apa pun. “Tetap waspada, Riana.” Riana mengangguk. Terdengar tawa yang memuakkan menggema di langit. Riana dan Rangga refleks mendongakkan kepala menatap langit. Mereka siaga. Penyihir Hyunfi bisa muncul di mana saja. “Kalian tidak akan bisa mengalahkanku.” Rangga mencari-cari dari mana suara itu berasal. “Aku akan membiarkan kalian malam ini.” Riana memejamkan matanya, mencoba merasakan di mana posisi Penyihir Hyunfi saat ini. “Kau tidak akan bisa menangkapku, Riana.” Mata Riana terbuka mendengar kalimat barusan. “Kali ini aku akan membiarkan kalian selamat. Tidak akan menarik pertarungan kita nanti jika aku membunuh kalian sekarang.” Tawa kembali menggema. “Bersiaplah, atau kalian akan kembali menelan kekalahan yang sama.” Terdengar suara petikan mancis. Pohon-pohon rindang dan besar perlahan menghilang digantikan rumah-rumah dan bangunan di pinggir jalan beserta pepohonan hijau. Tanah tempat mereka berpijak juga mulai berubah menjadi aspal seperti semula. Keadaan tak lagi remang-remang. Cahaya mulai memberi warna. Lampu-lampu jalan mengeluarkan cahayanya. Klakson mobil membuat Riana dan Rangga tersadar. Mereka segera masuk ke dalam mobil. Di belakang mobil mereka sudah mengantri panjang mobil-mobil lain yang ingin lewat. Rangga segera memarkirkan mobilnya ke bibir jalan. Salah satu kekuatan hebat yang Penyihir Hyunfi miliki adalah mengubah tempat di mana dia bertarung sesuai keinginannya. Mereka mengatur napas mereka yang semoat tersengal karena mengeluarkan kekuatan untuk melawan penyihir Hyunfi. Ini adalah kali pertamanya mereka melihat makhluk sekuat itu. Harus Rangga akui, Penyihir Hyunfi jelas bukan lawan yang bisa disepelekan. Bahkan serangan mereka berdua yang tadi sempat digabungkan tidak membuat Penyihir Hyunfi terduduk kaku yang seharusnya seperti itu. Legenda yang selama ini mereka dengar itu ternyata benar adanya. Hanya ayahnya Ryan sajalah yang bisa membuat Penyihir Hyunfi kalah. Dan itu pun bukan membunuhnya. Ayahnya Ryan hanya dapat membelenggu--membekukan Penyihir Hyunfi selama seribu tahun lamanya. Jika seperti itu adanya, maka tidak ada siapa pun yang bisa mengalahkan Penyihir Hyunfi kecuali Ryan seorang. Rangga menginjak gas. Mereka harus segera pulang ke rumah. Riana sudah tidak lagi memikirkan perkara Penyihir Hyunfi saat ini. Pikirannya terus terfokus kepada Ryan dan Farhan. Dia terus bertanya-tanya apakah mereka selamat. Apakah Farhan berhasil menjaga Ryan dengan baik. Apakah mereka sudah sampai di rumah Adi atau tidak. Rangga menenangkannya. Rangga mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Mereka berdua pasti sudah berada di rumah Adi saat ini. Sebelum mereka datang tadi, mereka juga sudah meminta bantuan Bi Narti. Maka semua akan berjalan sesuai rencana. Meskipun Rangga terdengar meyakinkan, Riana masih tetap tidak tenang. Pikiran-pikiran negative terus menari-nari di dalam pikirannya. Apa yang Rangga katakan benar adanya. Yang perlu mereka lakukan sekarang adalah pergi ke rumah Adi secepatnya. Tiba-tiba Riana merasakan sesak luar biasa di dadanya. Napasnya patah-patah. Riana memukul-mukul dadanya. Rangga menghentikan mobil. “Kamu kenapa, Riana?” Rangga terlihat panik. Riana tidak bisa berbicara. Sakit sekali rasanya. Bahkan kini dia sudah tidak lagi bisa bernapas. “Bertahanlah.” Rangga menginjak gas. Dia mengemudikan mobil sekencang mungkin menuju rumah Bi Narti. Sesekali Rangga memeriksa kondisi Riana. Semakin parah terlihat. Mulut Riana berusaha menarik udara sebanyak-banyaknya. Matanya terbuka lebar. Tangan Riana memegangi dadanya. Itu benar-benar sakit. “Bertahanlah, Riana.” Rangga panik. Benar-benar panik. Rumah Bi Narti tidak jauh lagi. Riana harus bertahan hingga sampai di rumah Bi Narti. Tiba di rumah Bi Narti, Rangga langsung membopong Riana. Dia menendang pintu rumah Bi Narti, membawanya masuk, menidurkannya di kursi panjang. “Riana kenapa?” “Aku tidak tahu. Segera lakukan sesuatu,” Rangga berteriak. Dia tidak mau kehilangan Riana. “Minggir,” Bi Narti menundukkan tubuhnya memeriksa mulut Riana. Dia melihat bongkahan seukuran kepalan tangan berwarna hitam bersarang di dalam mulut Riana, menjorok ke dalam tenggorokan. “Pergi ke dapur, ambilkan ramuan yang sudah kubuat.” Sejak tadi Bi Narti sudah berfirasat bahwa Riana akan segera ke rumahnya. Jadi dia membuatkan ramuan itu untuk jaga-jaga. Ternyata firasatnya benar. Bi Narti memasukkan obat itu ke dalam mulut Riana menggunakan sendok. Hingga sendok kelima, Riana duduk, memuntahkan cairan hitam dari dalam mulutnya. Dia tersengal-sengal, mengirup sebanyak-banyak udara ke dalam paru-parunya. Terhitung sudah setengah jam Riana tidak bernapas. Cairan hitam kental keluar banyak sekali dari dalam mulut Riana. Kakinya banyak terkena cairan itu. Rangga memijat-mijat tengkuk Riana membantunya untuk memuntahkan seluruh cairan kental itu dari dalam tubuhnya. Lima menit sudah berlalu, Riana tak kunjung berhenti memuntahkan cairan itu dari mulutnya. Tubuhnya melemah, bahkan tidak kuat lagi untuk duduk. Sekarang Rangga menopang tubuhnya dengan tangan kiri, tangan kanan terus memijat tengkuk Riana. Rangga menatap Bi Narti penuh harap. Hanya dia seoranglah yang bisa menyelamatkan Riana saat ini. Bi Narti berpikir keras. Dia sudah memberikan Riana ramuan obat seperti biasa, namun mengapa cairan itu tidak habis-habis keluar dari mulutnya. Ini aneh. Bi Narti terus memutar otak mencari jawaban atas apa yang terjadi. “Apa yang kalian lakukan sebelum kemari?” “Dia mengeluarkan kekuatannya untuk melawan Hyunfi,” Rangga menjawab panik. Tubuh Raina terus melemah. Istrinya sekarang sudah mulai kesusahan membuka matanya. Kadar panik Rangga kian bertambah—hampir menyentuh level akhir. Melihat Riana terus muntah, dengan tangan memegang d**a menahan rasa sakit di sana membuat Rangga ingin menangis saja rasanya. Bi Narti terkesiap ketika menemukan solusi untuk penyakit Riana ini. Dia berdiri menyuruh Rangga untuk naik ke atas kursi panjang, lalu mengangkat kaki Riana ke atas, membuat kepalanya di bawah. “Apa?” Rangga tidak percaya dengan apa yang diperintahkan Bi Narti barusan. Bagaimana mungkin dia melakukan itu kepada istrinya yang sedang sekarat saat ini. “Lakukan saja!” Rangga berpikir sejenak. Dia juga tidak punya solusi lain selain mengikuti apa yang diperintahkan Bi Narti padanya. Meskipun akal sehatnya tidak menerima, tapi tidak ada jalan lain. Dia memang harus melakukan apa kata Bi Narti. Rangga menidurkan perlahan istrinya yang sekarang sudah sesak napas. Dia naik ke atas kursi, mengangkat kaki Riana—menarik lurus ke atas. Persis seperti titah Bi Narti, kepala Riana berada di bawah sedangkan kakinya berada di atas—dipegang Rangga. Bi Narti berjongkok, memeriksa mulut Riana. Aneh. Malah dengan posisi sekarang Riana tidak lagi muntah. Dia diam, tenang. Napasnya mulai teratur terlihat dari gerakan dadanya yang naik turun mulus. Bi Narti mengambil sendok di dalam gelas berisi ramuan obat Riana tadi, memasukkan ujungnya ke dalam rongga mulut Riana. Rangga hampir menjerit ketika Bi Narti berhasil mengeluarkan sesuatu dari mulut Riana. “Tidurkan Riana perlahan.” Bi Narti meletakkan benda yang baru dikeluarkannya dari mulut Riana ke telapak tangannya. Dia menyentuh-nyentuh perlahan benda itu dengan ujung jarinya. Terlihat kenyal seperti gel namun lebih keras. Warnanya hitam pekat—lebih mirip seukuran bola tenis meja saat dikeluarkan. “Apa itu?” tanya Rangga penasaran sekaligus lega karena dengan keluarnya benda itu dari mulut Riana, istrinya sekarang tengah tidur nyenyak. “Ini adalah racun yang dimasukkan Hyunfi ke dalam mulut Riana.” Bi Narti menoleh. “Apakah tadi Riana sempat menyerang Hyunfi dengan kekuatannya?” Rangga mengangguk cepat. “Hyunfi menyerap kekuatan Riana, lalu merubahnya menjadi racun. Setelah itu dia akan menjadikan racun tersebut berubah menjadi debu, ditiupkan ke mulut dan hidung lawan.” Rangga mengepalkan tangannya geram. Andai dia tadi tidak menuruti permintaan Riana untuk ikut bersamanya, ini pasti tidak terjadi. Perkataan Bi Narti cukup untuk menjelaskan bahwa Penyihir Hyunfi memang benar-benar kuat. “Lalu apakah Riana baik-baik saja?” Bi Narti menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku hanya bisa memeriksa Riana saat dia telah sadar nanti. Racun ini tidak bisa dideteksi saat si korban sedang tidur atau pingsan.” Rangga menghela napas panjang. Dia mengelus pucuk kepala Riana. Setidaknya untuk saat ini dia bisa sedikit tenang karena racun itu sudah berhasil dikeluarkan dari dalam mulut Riana. “Lebih baik bawa Riana ke kamar, aku akan membersihkan tempat ini.” Rangga mengangguk, membopong Riana membawa ke kamar yang telah disediakan Bi Narti. __00__ “Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Ani khawatir melihat kondisi Farhan yang acak-acakan. Pakaiannya lusuh dan sobek di beberapa tempat. Wajahnya kotor dan juga ada darah kering di sudut bibir Farhan. Farhan menggeleng mengatakan bahwa dia baik-baik saja. “Meskipun begitu kamu tetap harus diobati.” Ani berdiri. “Berbaringlah, aku akan mengobatimu.” Farhan menatap Ani yang tengah berdiri di samping sofa panjang. Wajah teduh menenangkan milik Ani menyuruhnya agar lekas berbaring. Farhan berdiri, berbaring di sofa panjang sesuai titah Ani. Ani mengambil tangan Farhan, mencari nadinya. Setelah ketemu, Ani memejamkan matanya—berkonsentrasi. Muncul cahaya dari tangan Ani perlahan mulai menerang. Farhan merasakan rasa nyaman. Aliran darahnya terasa lebih lancar. Luka di wajahnya sirna perlahan. Yang semula Farhan merasakan tubuhnya seperti remuk, sekarang terasa jauh lebih enak. Ani membuka matanya. “Bagaimana?” Farhan membalas dengan senyuman. “Sudah baik.” Ani menoleh ke kanan. “Bayu,” Ani memanggil anaknya. Bayu keluar dari kamarnya. “Ya, Bu?” “Bawa dia ke kamarmu. Berikan pakaian juga, ya. Silakan.” Farhan berdiri. Dia berjalan kikuk menuju kamar Bayu. Begitu masuk, dia langsung disuguhkan dengan rak buku berisi sekali buku. Banyak sekali piala berjejer, berikut dengan medali. Di dinding selain melekat foto-foto pemberian penghargaan, banyak juga sertifikat yang sengaja digantung bersamaan dengan foto-foto tersebut. “Ini bajumu.” Bayu menyerahkan kaos hitam lengan pendek lengkap dengan celana selutut berwarna serupa. “Kamar mandinya di sebelah sana.” Bayu menunjuk ke depan. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN