Lipsus 2
KH Wahid Hasyim
Salah Satu Founding Father NKRI
Kesadaran bahwa selain fatwa berperang, Tebuireng juga melahirkan salah satu santrinya yang tidak lain adalah putra KH. Hasyim Asy’ari yang juga tidak lain adalah anak beliau. KH. Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya jauh sebelum Hasyim meninggal, Wahid memang sudah dipersiapkan memimpin Tebuireng pada tahun 1941, dia sempat mengundurkan diri dari ketua Dewan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam rapat HBNO.
KH. Wahid Hasyim pernah diminta pulang ke Jombang untuk mengurus Ponpes Tebuireng. Pada saat itu Ponpes Tebuireng jumlah santrinya berjumlah 1500 orang. Semasa kepemimpinan KH. Wahid Hasyim membawa warna tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana pesantren tidak melulu diajarkan pendidikan agama dan teks-teks kitab fiqh namun juga pelajaran non agama seperti Bahasa Asing ; bahasa Jerman, Belanda dan Inggris.
Dalam proses belajar KH. Wahid juga menekankan pentingnya proses dialogis (discusy) antara Kyai dan santri. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Karena itu, pendapat guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri senior, KH. Wahid Hasyim mengajar wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa mengikuti kelasnya. “Hanya santri top saja yang boleh mengikuti kelasnnya,” kata KH. Muchit Muzadi (alm) sebagaimana dikutip majalah Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45.
Selain perombahan dan pembaharuan kurikulum pesantren, KH A. Wahid Hasyim juga membangun sejumlah gedung dan melengkapi koleksi perpustakaan. Ragam bacaan mulai teks pelajaran, sastra hingga aneka Koran dan majalah. Pada waktu itu perpustakaan Tebuireng koleksinya tidak kalah dengan Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya sebelah selatan Kementrian Sosial sekarang-red).
Perkembangan pesat Tebuireng juga diganggu Perang. Pada pertengahan 1948-setahun setelah Wahid menggantikan Bapaknya, pasukan Belanda masuk Jombang bahkan merangsek masuk pesantren. Santri Tebuireng berpencar kemana-mana, sementara KH. Wahid Hasyim beserta keluarga memutuskan pindah ke Jakarta. KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh Masyumi apalagi setahun kemudian KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Tebuireng saat itu dipercayakan pada KH. Abdul Karim Hasyim dan KH. Ahmad Baidlowi. Ditengah kesibukan menjadi pejabat Negara KH. Wahid Hasyim tetap memantau perkembangan Tebuireng, semua santri yang terpencar di mana-mana dipanggil kembali untuk meneruskan pelajaran.
Kata Jihad (berperang) dikeluarkan pada saat penjajah benar-benar sudah membahayakan keadaan dan keberadaan NKRI. Memperingati hari berperang tiap 22 Oktober 1945 kemudian ditetapkan sebagai hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia patut disambut positif, karena mewarisi nilai semangat berjihad. Di Era sekarang di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan berperang, kita diajak untuk belajar pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan (bela negara) juga diajarkan di pesantren bahkan di sekolah sampai universitas perguruan tinggi mulai dari Pendidikan Moral Pancasila, PSPB, Mata Kuliah Pancasila, Penataran P4 bagi mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang mengajar sarjana militer berpangkat minimal Kolonel) dll. Jihad juga tidak harus memanggul senjata dan berperang.
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang paling besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy).
Ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada saat itu. Ketujuh tokoh tersebut adalah Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada akhir abad 18 dan awal abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh tokoh dari Indunisie di muka.
Ketujuh ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa mulai dari menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau Arab Pegon.
Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada pemaknaan yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar guru dan murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada waktu itu, Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia Belanda. Sementara para ulama di atas mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mufti Mekkah saat itu. Sementara untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib an Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi.
Ada juga istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren (tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam.
Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25).
KH Wakhid Hasyim wafat pada 19 April 1953. Apabila masih ada Pondok Pesantren atau santri-santri masih dalam masa belajar tidak berfikir yang penting sebagai santri mencari kepintaran dan masih perlu banyak mengaji kitab kuning kepada para Kyai dan Ulama di Pesantren, yakinilah bahwa Allah SWT akan selalu memberi jalan rizqi. Demikianlah uraian seputar dunia santri penjuru Nusantara, sehingga cita-cita Negara dan Bangsa Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur penuh ampunan ridho Allah SWT. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. (*****) aji s el foerbalinggiwie