KH Idris Kamali, Sederhana dan Tawaduk Cirebon-Belum banyak sejarah yang meriwayatkan kyai salaf asal Cirebon penerus estafet tradisi keilmuan KH. Hasyim Asy’ari, yaitu Kyai Idris Kamali. Lahir di Makkah pada 1887.
Ayahnya Kyai Abdul Jalil Kedongdong Cirebon, dikenal sebagai ulama ilmu falak dan qira’at asal Cirebon yang mengajar di Mekah. Ia satu generasi dengan Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), dan Syekh Muhammad Mahfuzh at-Tarmasi (1842-1920).
Dedikasi keilmuan, keikhlasan dan pengorbanan spiritual banyak dihaturkan oleh beliau dalam rangka menyemarakkan semangat intelektual dan pengetahuan santrinya agar kelak setiap dari mereka menjadi rasul qoum daerah masing-masing. Tidak mengherankan, jika murid-murid jebolan dari menantu Hadrastussyaikh ini menjadi tokoh nasional dan terpandang.
Fokus kajian keagamaan KH. Idris Kamali adalah hadist dan ulum al-hadits. Latar belakang ini ditengarai ketika KH. Hasyim Asy’ari takjub dengan kealiman dan kuatnya hafalan beliau, serta tidak jarang disuruh menjadi badal qori’ pengajian kitab Shohib Bukhori Muslim di masjid Tebuireng yang biasanya digelar selama Ramadhan. Hingga kemudian menjodohkannya dengan putri Hadratussyaikh, Nyai Azzah Hasyim.
Ikhlas Nyantri dan Mengabdi
Meski ulama besar nan sederhana itu telah 20 tahun mengajar kitab kepada para santri dan mengkader sejumlah santri di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, namun nama Kyai Idris tidak cukup menasional dan belum begitu dikenal luas oleh khalayak luar.
Beliau menjadi salah satu ikon pesantren Tebuireng, selain karena menantu KH. Hasyim Asy’ari, juga kontribusi dan perannya dalam mendidik dan mengkader sejumlah santri yang kemudian menjadi tokoh ulama di tingkat nasional. Kyai Idris memang lebih suka memerankan dirinya sebagai tokoh di balik layar kemasyhuran Tebuireng pasca-Hadratussyaikh.
Pengembaraan kyai Idris mencari ilmu setelah ngangsu kaweruh dengan kyai Irfan Musa, Kaliwungu, Kendal diteruskan ke Pesantren Tebuireng di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Pengetahuannya tentang ilmu hadis diperdalam di sana. Karena beliau tahu bahwa pendiri Pesantren Tebuireng dan pendiri Nahdlatul Ulama itu adalah seorang ahli hadis ternama.
Selama nyantri, Kyai Idris dikenal alim dan jenius dalam penguasaan kitab. Kitab-kitab dasar fiqih seperti al-Ghayah wa-t-Taqrib dan kitab ilmu nahwu seperti Mutammimah, sudah beliau hafal beserta penjelasannya.
Selain itu, beliau juga dikenal taat beribadah dan tekun melakukan riyadhah atau latihan spiritual tiap malam. Puasa hampir tiap hari. Dan sudah hafal al-Quran sejak usia 11 tahun.
Tidak heran kalau kemudian beliau ia dipercaya sebagai asisten atau badal KH. Hasyim Asy’ari yang membantu mengajar ngaji kitab di pondok. (M. Qomarullah, 2019)
Pendidikan Masif Balik Tirai
Pada tahun 1940-an, Kyai Idris mengajar di beberapa pesantren di Jawa, dari Pekalongan, Pesantren Kaliwungu di Kendal hingga di Pesantren Kempek, Cirebon.
Kabarnya ini untuk menghindari kejaran polisi Belanda yang waktu itu sedang mencurigai beliau menghasut para santri dan masyarakat untuk melawan penjajah asing. Namun, selang beberapa waktu kemudian, beliau dipanggil kembali ke Tebuireng.
Maka, sejak tahun 1953, Kyai Idris pun untuk mengajar para santri. Ketika mengasuh pesantren dari tahun 1955, salah satu putra KH. Hasyim Asy’ari meminta Kyai Idris mengajar kitab-kitab kuning guna mempertahankan sistem salaf atau ngaji sorogan di Pesantren Tebuireng. Sehingga bobot Tebuireng saat itu identik dengan pengajian kitab yang dimotori oleh kyai Idris bersama beberapa kyai lain.
Kyai Idris sendiri melihat bahwa Tebuireng mengalami langkah mundur dalam mencetak ulama mumpuni, seiring dengan diperkenalkanya sistem madrasah berjenjang: ibtidaiyah, tasanawiyah, aliyah.
Namun demikian, ia menyadari bahwa dirinya tidak cukup mampu dan cukup berpengaruh untuk mengaktifkan kembali “kelas musyawarah” yang dulu diselenggarakan Hadratussyekh.
Gus Dur memang pernah mengatakan bahwa kedudukan kyai di pesantren sebagai directur engineer, yakni sebagai pengasuh dan pemilik sekaligus. (Abdullah, 2016) Tapi rupanya ini tidak berlaku bagi Kyai Idris.
Meskipun dia menantu Hadratussyaikh, tetapi penguasaan pesantren sepenuhnya berada di tangan KH. Kholiq Hasyim. Namun, dengan keterbatasan yang dimiliki kyai Idris dan didorong rasa keprihatinannya, maka ia memusatkan pengajarannya kepada sekelompok santri pilihan yang didiknya sedemikian rupa sehingga dapat diharapkan menjadi ulama.
Jumlah mereka kurang lebih 20 orang. Untuk itu beliau membuat prasyarat dan kriteria yang cukup ketat. Pertama, harus tinggal di pesantren minimal tiga tahun; kedua, memohon secara pribadi untuk menjadi santri kyai Idris; ketiga, sudah tamat madrasah tsanawiyah;
keempat, mempunyai kesungguhan dan prestasi luar biasa; kelima, sudah hafal kitab dan pelajaran tingkat dasar; keenam, harus patuh kepada sang kyai, terutama dalam menunaikan shalat jamaah lima waktu bersama beliau di masjid; dan ketujuh harus menyatakan sumpah bahwa sang santri tetap bertahan untuk ngaji dan tidak akan meninggalkan, sampai sang guru sendiri menyatakan ngaji satu kitab sudah selesai.
Selain menggunakan metode sorogan dan wetonan, kyai Idris juga menggunakan metode musyawarah atau semacam forum diskusi terfokus di antara para santri yang terbagi dalam beberapa kelompok. Metode ini dimaksudkan agar para santri lebih mudah memahami dan mendalami isi satu kitab.
Ternyata disiplin dan komitmen ngaji itu juga berlaku buat dirinya. Ia jarang meninggalkan tugas mengajar. Tidak pula sibuk mengurus organisasi atau partai di luar. Bahkan dalam situasi ada tamu terhormat pun (pejabat dari Jakarta hingga seorang presiden) yang berkunjung ke Tebuireng, sang kyai tidak pernah memberi libur kepada santrinya. (A. Prayogi, 2018)
Para santri hanya ingat pernah suatu kali di tahun 1963 pengajian kitab diliburkan gara-gara ada “tamu agung” datang dan hendak ia temui. Dan ternyata tamu agung itu adalah seorang ulama kharismatik dari Jakarta, Habib Ali Kwitang, yang sangat dihormati oleh Kyai Idris. Waktu itu Habib Ali datang ke Tebuireng untuk keperluan ziarah ke makam KH. Hasyim Asy’ari.
Di antara murid-murid beliau adalah KH. Aqiel Siradj (Cirebon), KH. Abdul Hayyie M. Naim (Cipete Jakarta), Prof. Dr. KH. M. Tholhah Hasan MA (Malang), Prof. Dr. KH. Mustofa Ali Yaqub, MA (Tangerang), Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, Prof. Dr. HM. Djamaluddin Mirri, MA. (Surabaya), KH. Ishaq Latif (Tebuireng), KH. Syuhada Syarif (Jember), Dr. KH Mustain Syafii, MA, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan masih banyak lainnya.
Spirit perjuangan dan semangat dedikasi beliau dalam mengawal pendidikan pesantren sangat lah bisa dijadikan uswah dan teladan bagi guru, kyai dan pengasuh pesantren zaman sekarang, tanpa melupakan etika dan mengurangi rasa hormat. Pada 1981, ulama yang tawaduk itu menuntaskan rihlah keilmuannya di Haramain. Alih-alih Tebuireng, kali ini dirinya mengamalkan ilmu di tempat asal keluarganya, Cirebon.
Di sanalah Kiai Idris terus berkiprah hingga ajal menjemputnya pada Juli 1984. Dai tersebut wafat dalam usia lebih dari 90 tahun. Jenazahnya dikebumikan di kompleks permakaman keluarga di area Pondok Pesantren Kempek, Cirebon.(***)Penulis: Aji Setiawan, mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta dan Ketua ... Account Simpedes BRI no : 372001029009535.