Gus Dur

3874 Kata
KH Abdurrahman Wahid Oleh: Aji Setiawan,ST Gus Dur Bapak Pluralisme dan Pejuang Kemanusiaan ABSTRAKSI Gus Dur adalah salah satu ulama Indonesia dan sekaligus Presiden Indonesia keempat yang cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis. Hingga wafatnya tercatat ada 17 buku yang berhasil beliau buat, belum lagi kaya tulis lain yang beliau buat dalam bentuk jurnal dan lain sebagainya. Sekalipun demikian 14 Tahun telah berselang, beberapa gagasan dan pemikiran Gus Dur tetap dikenang dan senantiasa relevan untuk menjawab persoalan zaman dan senantiasa dikenang sepanjang masa. Konsistensi perjuangan dan keberanian Presiden ke-4 Indonesia ini dalam menegakkan kebenaran menjadi salah satu faktor pemikirannya selalu menginspirasi seluruh masyarakat. Kesejukan dalam mengurai berbagai masalah yang ada juga selalu dicontoh sebagai landasan berperilaku masyarakat. Tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan saat Gus Dur harus menyelesaikan masalah yang selalu muncul dari masa ke masa. Penentu kesuksesannya adalah dengan landasan yang bersih dan benar. Menapaktilasi jejak Gus Dur bisa dengan membaca karya tulis dan mendengarkan pidatonya. Gus Dur, sosoknya sebagai kiai, tokoh politisi, dan juga akademisi. Hal ini terlihat dari sejumlah karyanya yang memiliki visi dan berbobot. Selain itu, Gus Dur adalah seorang humanis dan nasionalis yang begitu mencintai rakyatnya tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan latar belakangnya. Gus Dur membuat keislaman menjadi begitu indah dan dicintai, bahkan oleh umat lain. Nilai humanisme (humaniterian islam) ini tidak lain dalam rangka mewujudkan nasionalisme dan kemanusiaan yang berkeadilan sosial. Dan disaat situasi kebangsaan Indonesia yang penuh dengan kekisruhan, kini banyak orang merasa sangat rindu dengan Gus Dur, dengan rangkulan humanismenya dan rasa humornya. Keyakinan Word : Nahdlatul Ulama, Pesantren, Kemanusiaan, Pluralisme A.Pendahuluan Bulan Desember ini, layak kita kenang sebagai bulan pluralisme, ham, anti korupsi, hari ibu. Di bulan Desember ini juga dikenang, bulan wafatnya Gus Dur. Di Indonesia ini, siapa yang tidak kenal dengan Gus Dur? Tokoh bangsa yang digadang-gadang sebagai Bapak Pluralisme dan “Pejuang Kemanusiaan” ini menyabet banyak sekali penghargaan atas kerja-kerja kemanusiaan dan perdamaian yang ia perjuangkan. Gus Dur selalu berada di garis depan membela kemanusiaan dan keberagaman. Bagi Gus Dur, tak ada artinya beragama jika seseorang kehilangan kemanusiaannya. Sebab sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi kemanusiaan. Pembelaan Gus Dur terhadap manusia bukan berarti melupakan Tuhan. Pemahaman Gus Dur yang sangat mendalam tentang agama Islam itulah yang membuat dirinya juga akan selalu berada di garis terdepan membela kemanusiaan. Gus Dur sebagai sosok pemimpin yang mampu menyampaikan pesan dengan asyik, menggunakan bahasa yang membumi, tidak menggurui, mudah dipahami dan suka humor. Buku biografi Gus Dur yang paling lengkap dan internasional best seller adalah yang ditulis oleh Greg Barton (The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid). Sementara untuk melacak jejak pemikirannya, dengan sangat mudah kita bisa menemui para sahabat dan muridnya secara langsung, serta membaca berbagai literatur yang ditulis oleh Gus Dur sendiri. Seperti buku Islamku Islam Anda Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, hingga Tuhan Tidak Perlu Dibela. Buku-buku tersebut adalah hasil buah pemikiran Gus Dur yang bertebaran di media dan makalah-makalah di seminar. Gus Dur kecil memiliki nama lengkap Abdurrahman Ad-Dakhil, lahir 4 Agustus 1940, walaupun versi lain menyatakan tanggal 7 September. Nama Ad-Dakhil belakangan diganti dengan Wahid (mengikuti nama depan ayahnya, KH. Wahid Hasyim), karena lebih populer. Dari jalur ibu, Nyai Solichah, Gus Dur memiliki kakek yang bernama K.H. Bisri Syansuri. Beliau adalah pengasuh pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Sementara kakek dari jalur ayah, yakni K.H. Hasyim Asyari, adalah tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia saat ini. Ketika usia 12 tahun, Gus Dur sudah ditinggal wafat ayahnya karena kecelakaan di jalan menuju kota Bandung. Seketika itu, pendidikannya diambil alih oleh ibunya. Pada tahun 1954 Gus Dur masuk ke Sekolah Menengah Pertama, lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak sambil sekolah SMEP. Lulus dari SMEP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Seusai dari Tegalrejo, pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Karena kecerdasan dan daya tangkapnya yang kuat, pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Selama dua tahun di Mesir waktunya lebih banyak dihabiskan dengan jalan-jalan, menonton film, dan membaca di perpustakaan. Tidak puas mengembara ilmu di Mesir, pada tahun 1964, Gus Dur lalu berpindah ke Baghdad. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Gus Dur kemudian melanjutkan petualangan ke Belanda, Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971. Mulai sejak kecil, Gus Dur sudah terbiasa dengan lingkungan yang beragam. Ketika di Yogyakarta, Gus Dur dititipkan oleh ibunya kepada tokoh Muhammadiyah, Kiai Junaidi. Di SMEP, Gus Dur juga sangat akrab dengan gurunya yang beragama Katolik. Darinya, ia dikenalkan dengan banyak buku, mulai dari karya Lenin ‘What is To Be Done’, Das Kapital-nya Karl Marx, karya-karya penulis terkenal seperti Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Gus Dur remaja adalah sosok yang gemar membaca dan haus akan ilmu pengetahuan. Ketika menginjak usianya dewasa, ia mengembara ke Timur Tengah bahkan sampai ke Eropa. Ilmu yang dipelajarinya pun beragam, mulai dari klasik, modern, hingga post modern. Hal ihwal inilah yang membentuk cakrawala pemikiran Gus Dur begitu kaya, sehingga dalam melihat segala persoalan ia tidak mudah menghakimi dan menyesat-nyesatkan. Pulang ke Indonesia Setelah kembalinya dari Eropa, Gus Dur diajak bergabung oleh Dawam Rahardjo di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bersama dua sahabat lainnya, Aswab Mahasin dan Adi Sasono. Dari sini, ia meneruskan kariernya sebagai seorang penulis untuk majalah dan surat kabar. Namanya pun banyak dikenal sebagai seorang intelektual karena pemikiran dan daya kritisnya dalam melihat persoalan. Mulai dari kebangsaan, politik, pesantren, keislaman, hingga sepak bola. Tidak hanya sebagai seorang intelektual an sich, Gus Dur juga bergerak sebagai aktivis. Bersama Arief Rahman, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, dan Bondan Gunawan, ia bergabung di Forum Demokrasi (Fordem) sebagai bentuk perlawanannya terhadap rezim Orde Baru yang otoriter. Bersama Romo Mangunwijaya, Gus Dur juga melakukan pendampingan terhadap korban pembangunan di waduk Kedung Ombo. Dalam pandangan Antonio Gramsci (1891-1937), Gus Dur masuk kategori intelektual organik. Seorang cendekiawan yang tidak hanya duduk di menara gading, namun juga bergerak melakukan perubahan sosial. Semasa hidupnya, Gus Dur mewakafkan dirinya untuk kepentingan dalam tiga skala besar; Islam, Indonesia, dan NU. Sebagai orang Islam, Gus Dur menyebarkan agama yang rahmatan lil ‘alamin. Pembelaannya kepada kaum yang termarginalkan, seperti Syiah, Ahmadiyah, Tionghoa, Inul, Dorce, bahkan sampai mengadvokasi kasus Kedung Ombo, adalah manifestasi islam yang dipandang oleh Gus Dur. Membebaskan dan merahmati semua. Dalam bingkai Indonesia, Gus Dur memperjuangkan demokratisasi dan kemanusiaan. Pada Mei 2008 Gus Dur dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wieenthal Center di Amerika Serikat karena kegigihannya memperjuangkan pluralisme dan perdamaian. Kiprahnya sebagai tokoh Indonesia sangat menentukan pada saat-saat bangsa Indonesia menghadapi situasi-situasi yang sulit. Diakui, hal yang paling ditakutkan oleh Gus Dur adalah perpecahan. Dalam prinsip perjuangannya selalu menggunakan cara-cara yang damai dan menolak kekerasan. Sementara di wilayah Ke-NU-an, Gus Dur meneruskan perjuangan kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari dengan memperjuangkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945. Semuanya itu yang kemudian mencerminkan sikap tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), i’tidal (bersikap adil), dan tawazun (berimbang). Sebuah kaidah yang selalu menjadi pijakan oleh Gus Dur sebagaimana juga pendiri NU yang lain; “almuhafadhah ala qadim al-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah”. Dalam hal ini, pendapat Quraish Shihab menyatakan, Gus Dur adalah seseorang yang berpijak di bumi Indonesia, melihat ke depan tetapi di saat yang sama tidak pernah tidak menoleh ke belakang. Setelah Soeharto lengser, Gus Dur terlibat di politik dengan mendirikan PKB, dan pada 20 Oktober 1999, ia terpilih sebagai Presiden RI. Sayang, masa kepresidenannya hanya berlangsung 18 bulan akibat pertentangan politik dengan DPR/ MPR. Namun masa yang sebentar itu telah meletakkan pondasi yang kuat bagi demokrasi di Indonesia. Gus Dur mampu menancapkan supremasi sipil terhadap militer. Selain itu, Gus Dur lah peletak pertama visi ekonomi kelautan dan kemaritiman. Setelah keluar dari istana, Gus Dur tetap melakukan aktivitas seperti biasanya sebelum menjadi presiden. Aktif menulis, seminar, mengajar pesantrennya di Ciganjur, memberikan ceramah pengajian di masyarakat bawah. Banyak orang menemui hanya untuk meminta nasihat dan dukungan dan doa layaknya seorang kyai. B.Pribadi Humanis KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah sosok paket komplit. Ulama sekaligus Umaro Indonesia. Tak hanya itu, Presiden RI keempat ini juga penulis yang produktif. Sedikitnya, ada 17 buku yang berhasil ditulis Gus Dur. Itu belum termasuk karya tulis lain semisal dalam bentuk jurnal dan lain sebagainya. Gus Dur wafat 14 tahun lalu. Tepatnya 30 Desember 2009. Setelah wafat, gagasan dan pemikiran Gus Dur tetap diperbincangkan dan dipikirkan. Mengapa Gus Dur menjadi sedemikian kuat pengaruhnya? Jawabannya bisa sangat kompleks dan beragam. Salah satunya adalah karena Gus Dur tidak hanya orang yang bicara dan menuangkan gagasan dalam tulisan, namun juga bekerja memperjuangkan apa yang ia pikirkan. Sejarah atau biografinya dengan terang benderang menerangkan perjalanan hidupnya yang penuh dengan pelaksanaan kata-kata. Mulai dari mengajar di pesantren, mengurus dan merawat organisasi NU, hingga menjadi politikus dan presiden. Basis pemikiran dan tindakan Gus Dur yang membuatnya menjadi orang besar tentu berpijak pada pondasi nilai tertentu. Paling tidak, membaca Gus Dur bisa disarikan dari berbagai perjumpaan, kesaksian, tindakan, dan tentu saja beragam percikan pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai tempat dan ingatan. Kita bisa menemukan nilai utama pikiran dan tindakan Gus Dur. Apa saja? Nilai-nilai itu adalah, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesantriaan, dan kearifan lokal. Sembilan nilai itulah yang kemudian menjadi panduan bagi para Gusdurian, murid-murid dan pengagum Gus Dur yang bertekad untuk meneruskan garis pemikiran dan perjuangannya. Konsistensi perjuangan dan keberanian Presiden ke-4 Indonesia ini dalam menegakkan kebenaran menjadi salah satu faktor sehingga pemikirannya menginspirasi masyarakat. Kelihaian dan cara bertindak dalam mengatasi masalah juga layak menjadi contoh. Gus Dur adalah seorang humanis dan nasionalis yang begitu mencintai rakyatnya tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan latar belakangnya. Gus Dur membuat keislaman menjadi begitu indah dan dicintai, bahkan oleh umat lain. Nilai humanisme (humaniterian islam) ini tidak lain dalam rangka mewujudkan nasionalisme dan kemanusiaan yang berkeadilan sosial. Salah satu kecerdasan Gus Dur adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final. Ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban-jawaban baru yang lebih kreatif. Saat situasi kebangsaan Indonesia yang penuh dengan kekisruhan, kini banyak orang merasa sangat rindu dengan Gus Dur, dengan rangkulan humanismenya. Menelusuri alur pemikiran Gus Dur merupakan kerja ilmiah tersendiri. Pasalnya, tokoh yang satu ini selain melintas, bermain, dan terlibat langsung dalam pelbagai diskursus, Gus Dur bahkan juga telah menjadi sebuah diskursus itu sendiri. Banyak jalan yang bisa dipakai untuk memahami kompleksitas Gus Dur, baik terkait tingkah laku politik, maupun gaya unik aktivitas Gus Dur lainnya. Di samping menengok historisitas perjalanan hidup Gus Dur, hal paling lumrah dan jamak dilakukan adalah membaca akar epistemologis dan jalan pikirannya melalui uraian-uraian tertulisnya yang tersebar dalam bermacam bentuk tulisan. Terlebih, Gus Dur sendiri terkenal sebagai penulis produktif bercakupan luas yang turut menyesaki ruang media nasional. C. Pandangan Tentang Pesantren Akar tradisi keilmuan di pesantren yang bersumber pada pengiriman anak-anak muda dari daerah Indonesia untuk belajar di Timur Tengah dan akhirnya mereka menghasilkan korp ulama yang tangguh dan mendalami ilmu agama di semenanjung Arab, terutama Makah. Dari sinilah lahir ulama-ulama besar seperti Kiai Hasyim Asy’ari Jombang, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Nawawi Banten, dan masih banyak ulama lagi yang kemudian mendirikan pesantren di Indonesia. Dalam hal ini Gus Dur ingin membuka fakta yang hari ini terjadi serius dalam dunia keilmuan pesantren, yaitu sebuah akar tradisi keilmuan yang mencoba mengaktualisasikan Al-Qur’an dan hadits dengan perangkat pemahaman yang serba memiliki konsep. Sekaligus di sisi lain para ilmuwan tersebut masih berpegang teguh pada normativitas ritual agama yang telah ada secara turun temurun. Inilah yang disebut Gus Dur sebagai ilmuwan humanis yang sholeh. Nilai humanisme (humaniterian islsm) ini tidak lain dalam rangka mewujudkan nasionalisme dan kemanusiaan yang berkeadilan sosial. Dan disaat situasi kebangsaan Indonesia yang penuh dengan kekisruhan, kini banyak orang merasa sangat rindu dengan Gus Dur, dengan rangkulan humanismenya dan rasa humornya. Menelusuri alur pemikiran Gus Dur merupakan kerja ilmiah tersendiri. Pasalnya, tokoh yang satu ini selain melintas, bermain,dan terlibat langsung dalam pelbagai diskursus, kini ia telah menjadi sebuah diskursus itu sendiri. Banyak jalan yang bisa dipakai untuk memahami kompleksitas tingkah laku politik dan gaya unik aktifitas Gus Dur lainnya. Di samping menengok historisitas perjalanan hidup Gus Dur, hal paling lumrah dan jamak dilakukan peneliti adalah membaca akar epistemologis dan jalan pikirannya melalui uraian-uraian tertulis yang tersebar dalam bermacam bentuk tulisan. Mengingat, Gus Dur sendiri terkenal sebagai penulis produktif bercakupan luas yang turut menyesaki ruang media nasional. Buku “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman” karya guru bangsa ini patut mendapat perhatian. Gus Dur dalam buku ini secara apik melakukan analisa wacana atas isu-isu agama, politik, sosial, demokrasi dan kepemimpinan yang dikontekstualisasikan dengan perkembangan kondisi di Tanah Air. Peran ini memang menjadi bagian tak terlepaskan dari dirinya. Kedudukannya yang terpandang, meniscayakannya untuk senantiasa mengangkat isu, berkomentar, mengkritisi bahkan menawarkan solusi atas sejumlah problem yang tengah dijalani. Salah satu kecerdasan Gus Dur adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final. Ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban-jawaban baru yang lebih kreatif. Gusdurian KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu dari segelintir orang itu. Hingga kini, lama setelah wafatnya, gagasan dan pemikirannya tetap diperbincangkan dan dipikirkan. Mengapa Gus Dur menjadi sedemikian kuat pengaruhnya? Jawabannya bisa sangat kompleks dan beragam. Salah satunya adalah karena dia tidak hanya orang yang bicara dan menuangkan gagasan dalam tulisan, namun juga bekerja memperjuangkan apa yang ia pikirkan. Sejarah atau biografinya dengan terang benderang menerangkan perjalanan hidupnya yang penuh dengan pelaksanaan kata-kata. Mulai dari mengajar di pesantren, mengurus dan merawat organisasi NU, hingga menjadi politikus dan presiden. Basis pemikiran dan tindakan Gus Dur yang membuatnya menjadi orang besar tentu berpijak pada pondasi nilai tertentu. Paling tidak, dengan membaca Gus Dur disarikan dari berbagai perjumpaan, kesaksian, tindakan, dan tentu saja beragam percikan pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai tempat dan ingatan, kita bisa menemukan nilai utama pikiran dan tindakan Gus Dur. Nilai-nilai itu adalah, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesantriaan, dan kearifan lokal. Sembilan nilai itulah yang kemudian menjadi panduan bagi para Gusdurian, murid-murid dan pengagum Gus Dur yang bertekad untuk meneruskan garis pemikiran dan perjuangannya. E. Pandangan Gus Dur Tentang Nilai Kemanusiaan Pandangan Gus Dur yang lain mengenai HAM demokrasi di pandang dari sudut nilai kemanusiaan (Islam humaniterian). Masalah kemanusiaan merupakan masalah global yang melampaui batas-batas etnik, ras, maupun ideologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki oleh bangsa, suku, agama, dan kelompok manapun di seluruh penjuru dunia. Paham moderat dan inklusif “al-muhafazhah ’ala al-qadîm ash-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” yang menjadi prinsip paham Ahlussunnah Waljama’ah menemukan relevansinya. Namun, semuanya itu tentu saja harus didasari oleh upaya yang serius terhadap masalah-masalah yang berkembang. Upaya-upaya penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia secara keseluruhan yang tentu saja harus mendapatkan respons serius dari agama (baca: Ahlussunnah Waljama’ah). Kenyataan bahwa setiap kelompok, bangsa, ideologi, maupun agama manapun di seluruh penjuru dunia untuk menggaungkan perjuangan demi penegakan dan pemenuhan HAM seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan, pertumpahan darah, kekerasan, dan kezaliman. Al-Quran sendiri dengan tegas menyatakan bahwa menghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan perbuatan orang-orang kafir. اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيّٖنَ بِغَيْرِحَقٍّۖ وَّيَقْتُلُوْنَ الَّذِيْنَ يَأْمُرُوْنَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِۙ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar) dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, sampaikanlah kepada mereka kabar gembira yaitu azab yang pedih.” (QS. Ali Imaran: 21) Menurut KH. Abdurrahman Wahid, jika kita melihat Islam hanya secara normatif, yaitu dari apa yang ada di fikih, akhlak, mungkin juga tasawuf, atau pada i’tikad kita, bisa saja itu berbeda dengan HAM. Akan tetapi yang terpenting adalah apakah dalam masyarakat kaum Muslim, kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka hukum, secara konstitusional, maupun legal (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999, 37). Fikih yang ditulis oleh para ulama kalau dipahami secara lebih mendalam sarat dengan perubahan-perubahan sesuai dengan konteks geografis, kultur, dan sosio-politik di mana pengambilan suatu hukum dilakukan. Sebagai ilustrasi, persyaratan menjadi hakim (qadhi) yang menurut Al-Mawardi (w. 450H) dalam karya monumentalnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah’, harus laki-laki. Akan tetapi, seorang kiai NU dari pesantren (KH. Muhammad Ilyas- pen.), yang dulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, justru membolehkan perempuan untuk memasuki Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri. Dan kemudian mereka bisa melajutkan ke Fakultas Syari’ah Jurusan Qadha. Ini artinya, ia akan mendapatkan ijazah dan bisa menjadi guru hakim agama, dan lama-lama bisa menjadi hakim agama (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999: 39). Peran penting dipegang oleh kaum perempuan banyak kita lihat contohnya dalam sejarah. Aisyah, istri Rasulullah adalah perempuan yang amat popular, pandangannya dalam soal-soal agama maupun pemerintahan dijadikan rujukan bagi para sahabat, bahkan menjadi pemimpin dalam perang Jamal. Syajarah ad-Dur, menjadi ratu pada masa dinasti Mamalik. Benazir Butho, tidak menemukan masalah untuk tampil sebagai perdana menteri di Republik Islam Pakistan yang hampir semua penduduknya notabene Muslim. Di lingkungan NU, pemberdayaan terhadap kaum perempuan menjadi concern utama bagi pembangunan masyarakat. Cita-cita ini mendasari lahirnya organisasi-organisasi perempuan seperti IPPNU, Muslimat NU, dan Fatayat NU. NU menentang pandangan tradisional di masa sebelum dan menjelang kemerdekaan, di mana perempuan dianggap sebagai "konco winking" (temang di belakang). Secara konseptual, NU pada dasarnya mengembangkan pandangan kesetaraan derajat perempuan dengan laki-laki (dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kodrat). Beberapa keputusan di lingkungan ulama NU mencerminkan pandangan ini, seperti: (1) Keputusan Konbes Syuriah NU tanggal 17 Sya’ban 1376 H/19 Maret 1957 M di Surabaya, yang membolehkan kaum wanita menjadi anggota DPR/DPRD; (2) Keputusan Muktamar NU tahun 1961 di Salatiga yang membolehkan seorang wanita menjadi kepada desa; dan (3) Keputusan Munas Alim Ulama tahun 1997 di NTB, memberikan lampu hijau atas peran publik, hingga menjadi presiden dan wakil presiden. Oleh sebab itu, tidak cukup beralasan jika Islam (baca: Ahlussunnah Waljama’ah) secara ideologis menolak kepemimpinan perempuan atau mensubordinasikan kaum perempuan. D. Penulis Produktif Basis pemikiran dan tindakan Gus Dur yang membuatnya menjadi orang besar tentu berpijak pada pondasi nilai tertentu. Paling tidak, dengan membaca Gus Dur disarikan dari berbagai perjumpaan, kesaksian, tindakan, dan tentu saja beragam percikan pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai tempat dan ingatan, kita bisa menemukan nilai utama pikiran dan tindakan Gus Dur. Nilai-nilai itu adalah, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesantriaan, dan kearifan lokal. Sembilan nilai itulah yang kemudian menjadi panduan bagi para Gusdurian, murid-murid dan pengagum Gus Dur yang bertekad untuk meneruskan garis pemikiran dan perjuangannya. Berikut ini adalah daftar buku kaya Gus Dur yang hingga kini dapat dinikmati pembaca: Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979), Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981), Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 1997), Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1998), Islam Tanpa Kekerasan (LkiS, Jogjakarta, 1998), Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999), Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999), Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, Jakarta, 1999), Islam, Negara, dan Demokrasi (Erlangga, Jakarta, 1999), Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, Jakarta, 1999), Gila Gus Dur (LkiS, Jogjakarta. 2000), Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (LkiS, Jogjakrta, 2001), Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001), Gus Dur Bertutur (2005), Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi (Wahid Institute, 2006), Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (2007). Tidak hanya buku, artikel, ulasan di majalah serta pidato dalam bentuk audio visual semua terdokumentasikan dengan baik di Yayasan Bani KH Abdurrahman Wahid - Jl Taman Amir Hamzah No 8 - Jakarta 10320 - Indonesia. Selain itu, untuk untuk membaca lengkap mengenai pemikiran dan tulisan Gus Dur, sejak 2008 telah dibuat web : www.gusdur.net. Menurut Alissa Wahid, situs ini dijadikan media penyampaian gagasan Gus Dur secara utuh. Berbagai komentarnya, yang dipandang kontroversial, selama ini muncul karena kutipan pers secara sepotong-sepotong, sehingga kurang dipahami masyarakat. "Mudah-mudahan, dengan situs ini, tak ada lagi plintiran pers," kata Alissa. Selain itu, target utama adalah supaya masyarakat luas bisa mengakses untuk mendapatkan pemikiran-pemikiran bekas ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini soal berbagai persoalan. "Mulai dari demokrasi, humanisme, agama, dan dunia seni," ujar perempuan yang akrab disapa Lisa ini. Sebenarnya Alissa menambahkan, homepage buat menyampaikan gagasan bekas ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini sudah dibangun sejak Gus Dur masih menjabat sebagai kepala negara. Namun karena sibuk, peluncuran situs dengan nama www.gusdur.net terpaksa ditunda. "Bapak dulu masih sibuk mengikuti perkembangan politik di Tanah Air," kata Lisa. Berbagai fitur ditampilkan dalam www.gusdur.net. Di antaranya berita seputar aktivitas dan ide-ide Gus Dur, berbagai tulisan Gus Dur, biografi, anekdot dan joke yang selama ini sering dilontarkan bekas pemimpin kaum nahdliyin ini, kolom artikel para pakar, galery foto, dan sejumlah artikel berbahasa Inggris. Situs ini juga menyediakan fasilitas interaktif yang dapat digunakan masyarakat untuk berdialog langsung dengan dirinya. Selain buku yang membahas khusus tentang Gus Dur dan terdokumentasi, diresensi dan didiskusikan dalam laman khusus pembaca buku, www.goodreads.com. Sementara jika kita mencarinya di mesin pencari Google, terdapat lebih dari sejuta ulasan tentang buku berbau Gus Dur. Belum lagi skripsi, tesis, dan disertasi yang ditulis jutaan Mahasiswa Indonesia, bahkan dari berbagai negara lain, yang membahas pemikiran Gus Dur. Puteri Gus Dur, Alissa Wahid, yang kini aktif mengelola lembaga The Wahid Institut (WI) dan Yayasan Bani Abdurrahman Wahid, mengakui pihaknya kerap menerima sejumlah penulis yang berdiskusi tentang buku mengenai Gus Dur yang telah atau hendak diterbitkan. "Kalau buku yang ditulis Gus Dur, ada sekitar tiga puluhan. Tapi kalau buku yang mengulas tentang beliau, belum terdokumentasikan seluruhnya di perpustakaan Wahid Institute," kata Alissa. Ia mengaku bersyukur, sang ayah kini menjadi inspirasi banyak orang. Ia juga berharap semangat kebangsaan dan kasih sayang Gus Dur tetap lestari dan diejawantahkan oleh generasi muda Indonesia. Karenanya, keberadaan Wahid Institute dan Yayasan Abdurrahman Wahid yang dipimpinnya kini, berupaya untuk tetap melakukan kajian tentang keagamaan dan keindonesiaan. Bersyukurnya lagi, kata Alissa, para pengagum Gus Dur dengan sukarela membentuk lembaga informal bernama Gusdurian. "Diskusi rutin digelar secara terbuka di kantor Wahid Institute. Di daerah-daerah, para Gusdurian juga rajin menggelar diskusi tentang pemikiran Gus Dur," ujarnya. PENUTUP Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di RSCM dan dimakamkan di Tebuireng Jombang. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Dan keempat putrinya inilah yang sampai sekarang mewarisi pemikiran serta melanjutkan perjuangan KH. Abdurrahman Wahid. Seorang kiai pesantren, pemimpin yang dikenal mempunyai keistimewaan ialah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan, Gus Dur tak hanya dikenang lewat tulisan-tulisannya, tetapi juga kuburannya yang diziarahi ribuan orang setiap hari. Nilai-nilai kemanusiaan yang dikembangkan oleh Gus Dur membuatnya tak hanya diziarahi umat Islam, tetapi juga masyarakat dari berbagai kalangan dan agama Pustaka: 1. Aji Setiawan, Gus Dur Bapak Pejuang Kemanusiaan, Jaringan Santri ,24 Desember 2020 2. Aji Setiawan, Mengenang Gus Dur, Pena Persatuan ,24 Oktober 2022 3. Aji Setiawan, Sembilan Nilai Warisan Gus Dur, Apa Saja? Nu Jepara, 9 Agustus 2022 4. Aji Setiawan, Gus Dur Seorang Penulis Produktif, NU Jawa Tengah, 1 Januari 2022 5. Aji Setiawan Laduni, 12 Tahun Gus Dur , 20 Desember 2021 6. Aji Setiawan, Mengenang Gus Dur Seorang Penulis Produktif, Laduni 30 Desember 2021 7. Aji Setiawan, Bapak Tilas Gus Dur Dalam Menulis, Laduni ,30 Desember 2021 Penulis : Aji Setiawan,ST ajisetiawanst@gmail.com Alamat : Cipawon 6/1, Bukateja,Purbalingga,Jawa Tengah 53382 Simpedes BRI 372001029009535
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN