KH. M. Munawwir Krapyak
Ulama Nusantara Ahli Qur’an Mendunia
Dalam agama Islam, sosok kiai merupakan posisi dan pemegang peranan yang kompleks dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana sudah tertanam dipikiran masyarakat bahwa kiai merupakan seorang panutan yang selalu dijadikan contoh oleh masyarakat dengan beragam kelebihan yang telah dimiliki. Al-Qur’an merupakan panutan bagi seorang muslim karena al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang menjadi sarana ibadah untuk orang muslim. Salah satu ulama yang ahli dalam Qira’at al-Qur’an adalah KH. M. Munawwir Krapyak sebagai pemegang sanad al-Qur’an yang sampai kepada Rasulullah Saw. Pendiri Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta.
KH. M. Munawwir Krapyak adalah salah satu ulama Nusantara ahli qur’an mendunia abad ke 20 . Nama lengkapnya KH. M. Munawwir bin Kiai Abdullah Rasyad bin Kiai Hasan Bashari. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, dari pasangan Kiai Abdullah Rasyad dengan Nyai Khadijah
KH M. Munawwir beristrikan empat orang, yaitu Ny. R.A. Mursyidah dari Kraton, Ny. Hj. Suistiyah dari Wates, Ny. Salimah dari Wonokromo, dan Ny. Rumiyah dari Jombang. Ketika istri pertamanya meninggal dunia, KH M. Munawwir menikahi Ny. Khodijah dari Kanggotan, Gondowulung.
Berbicara masalah sanad al-Qur’an di bumi Nusantara, khususnya Pulau Jawa tidak dapat dipisahkan dengan Kyai Muhammad Munawir atau Kyai Munawir Krapyak. Cahaya al-Qur’an yang bersemanyam di dalam dirinya menjadikan daerah Krapyak menjadi semakin dikenal masyarakat luas. Thalabah yang ingin meneguk madu keilmuannya, tidak hanya dari Nusantara, melainkan merambah ke manca negara. Mereka dengan asyiqnya belajar qiraah Ashim riwayat Hafsh dari penjaga wahyu ini.
Garis Keturunan
Kyai Munawir Krapyak merupakan keturunan dari darah biru. Ia terlahir dari keluarga yang hidup di sekitar lingkungan Kauman, Yogyakarta yang kental dengan nuansa religi dan dekat dengan Keraton Kesultanan Yogyakarta. Kakeknya, Kyai Hasan Besari merupakan salah seorang ajudan kepercayaan Pangeran Diponegoro di saat dikumandangkannya Perang Jawa. Kepada sang kakek, Pangeran Diponegoro pernah menulis, “Orang semuanya mesti tahu akan hal ini, laki-laki, perempuan, besar, kecil, tidak perlu disebutkan satu persatu, adapun orang yang saya suruh, namanya Kasan Basari (Hasan Bashari).”
Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa Kyai Munawir Krapyak lahir di lingkungan Kauman yang penuh dengan kegiatan keagamaan dan kenegaraan. Kauman di zamannya, ada banyak kyai yang mempunyai peranan penting seperti Kyai Lurah Nor, Kyai Abu Bakar, Kyai Haji Lurah Hasyim, dan lain-lain, yang mana ulama-ulama ini disebut dengan Abdi Ndalem Putihan Agama Islam di Keraton Yogyakarta. Kelompok putihan inilah yang memainkan peranan agama di Kesultanan Yogyakarta.
Keluarga Kyai Munawir Krapyak yang merupakan salah seorang yang ikut andil dalam perkembangan agama Islam di Kauman, Yogyakarta. Mereka selalu mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam sebagai bekal untuk menapaki kehidupan di dunia dan akhirat. Sebagai langkah utama agar benteng tauhid menjadi kokoh, maka mereka dikenalkan kepada Allah dan RasulNya (melalui Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul) beserta sifat wajib, jaiz, dan muhallnya, serta ilmu-ilmu yang lainnya, khususnya al-Qur’an yang menjadi pegangan hidup umat Islam.
Kyai Abdullah Rasyad sangat mendambakan agar keturunannya dapat membaca, menghafal, dan menguasai isi al-Qur’an. Saking semangatnya ingin mempunyai anak yang ahli dalam bidang al-Qur’an, ia dengan senang hati akan memberikan hadiah uang sebanyak 150-250 rupiah kepada Kyai Munawir Krapyak jika telah menghatamkan al-Qur’an dengan baik. Model motivasi yang seperti ini memang manjur digunakan untuk menggugah semangat anak-anak supaya tetap giat dalam belajar. Semua itu dapat terealisasi. Alangkah bahagianya Kyai Abdullah Rasyad.
Di masa kecil Kyai Munawir Krapyak belajar ilmu agama kepada ayahnya dan ulama-ulama yang ada di sekitar kauman Yogyakarta.
Karomah Munawwir Krapyak sudah kelihatan sejak kecil, Kiai Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon) dikala masih berusia sekitar 8 tahun belum bisa mengucap dengan jelas bunyi “R”. Namun setelah minum air bekas cucian tangan beliau, langsung dapat membaca “R” dengan jelas.
Kala mengajar, biasanya beliau sambil tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun bila ada santri yang keliru membaca, beliau langsung bangun dan mengingatkannya.
Setelah dari Yogyakarta, Kyai Abdullah Rasyad menyuruhnya untuk belajar di Demangan Madura guna belajar kepada Syaikhona Khalil Bangkalan. Di Pesantren ini jaringan Kyai Munawir Krapyak semakin terbangun, ia berkenalan dengan santri-santri yang datang dari berbagai penjuru seperti Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Wahab Hasbullah, Kyai Dimyathi Termas, Kyai Ma’shum Ahmad, dan lain-lain.
Selama mondok di Pesantren Demangan, gelagat Kyai Munawir Krapyak yang akan menjadi ulama berpengaruh dalam bidang al-Qur’an telah dicium oleh Syaikhona Khalil Bangkalan.[1] Hal ini sudah terbiasa sebagaimana yang terjadi kepada murid-muridnya yang lain seperti Kyai Ridwan Abdullah, Kyai Wahab Hasbullah, dan Kyai Ma’ruf Kedunglo. Dikisahkan bahwa Kyai Munawir Krapyak disuruh Syaikhona Khalil untuk menjadi imam salat padahal umurnya masih sekitar 10 tahun. Hal ini ditafsirkan sebagai bentuk pengakuan sang guru atas keilmuan Kyai Munawir Krapyak dalam bidang al-Qur’an atau qiraat.
Kyai Munawir Krapyak merasa masih haus untuk mencari ilmu. Ia merasa tidak cukup dengan ilmu yang didapatkannya. Ia pun akhirnya mengembara untuk menambah keilmuannya dengan mengunjungi Pesantren Darat yang diasuh oleh Kyai Sholeh Darat Semarang yang dikenal sebagai guru sufi-nya tanah Jawa. Ia dijuluki dengan nama Imam Ghazali al-Shaghir. Selain kepada Kyai Sholeh Darat Semarang, ia juga pernah belajar kepada Kyai Abdullah Kanggotan Bantul, Kyai Abdurrahman Watu Congol, Magelang. Dengan banyaknya ulama yang ditimba ilmunya, ia berharap dapat menguasai berbagai disiplin ilmu agama seperti Tauhid, Fiqih, Hadist, Tafsir, Tasawuf, dan lain-lain.
Supaya keilmuan Kyai Munawir Krapyak lebih matang dan rukun Islamnya menjadi sempurna, sang ayah memerintahkannya untuk melanjutkan belajar di Haramain sembari menunaikan ibadah haji (1888). Tahun keberangkatannya ini bertepatan dengan kepulangan Kyai Ahmad Dahlan dari menjalani dirasah di Haramain untuk yang pertama kalinya.
Tradisi mengunjungi Haramain, baik untuk belajar atau menunaikan ibadah haji sudah biasa dilaksanakan oleh ulama Kauman sejak dijaring hubungan Kesultanan Mataram dengan Daulah Asyraf di Haramain. Hubungan bilateral ini sama-sama menguntungkan. Syarif Makkah dapat mengirimkan tokoh agama untuk menyebarkan agama Islam di Mataram, sedangkan Sultan Mataram dapat mengirim rakyatnya untuk belajar atau menunaikan ibadah haji. Di antara ulama Kauman yang belajar di Masjidil Haram adalah Syaikh Baqir al-Jukjawi, Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Hanad Noor, dan Kyai Maklum. Semuanya ini masih ada hubungan kerabat dengan Kyai Munawir Krapyak, sebab salah adik Kyai Munawir Krapyak telah dinikahi oleh Kyai Ahmad Dahlan. Sedangkan Syaikh Baqir al-Jukjawi, Kyai Hanad Noor, dan Kyai Maklum merupakan keponakan Kyai Ahmad Dahlan.
Sewaktu awal di Tanah Suci, beliau mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat untuk menghapalkan al-Quran. Namun ayah beliau belum memperkenankannya, sehingga berniat mengirimkan surat balasan. Namun, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah mendapat surat kedua dari putranya yang menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hafal. Dihafalkannya dalam waktu 70 hari (keterangan lain menyatakan 40 hari).
Tidak tanggung-tanggung Kyai Munawir Krapyak belajar di Haramain. Dirasahnya dijalani selama 21 tahun, waktu yang cukup lama. Dengan perincian, 16 tahun belajar di Makkah al-Mukarramah, dan 6 tahun nyantri di Madinah. Selama di Haramain, ia fokus dengan derasahnya terlebih dalam masal al-Qur’an, baik hafalan maupun qiraahnya. Ia belajar ke berbagai ulama yang menggelar halaqahnya di Haramain di antaranya adalah Syaikh Abdullah Syanqara, Syaikh Syarbini, Syaikh Muqri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdusy Syakur, Syaikh Musthafa, Syaikh Mahfudz al-Termasi, dan Syaikh Yusuf Hajar.
Karena kecintaan Kyai Munawir Krapyak terhadap al-Qur’an, maka ia ingin mendalami dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengannya, sehingga al-Qur’an yang dihafalkannya tidak hanya terasa di mulut, namun merasuk ke dalam hati, sehingga mempengaruhi ihwal kesehariannya. Agar niatnya ini mendapatkan sebuah keberkahan, maka ia pun terlebih dahulu mengirimkan surat kepada ayahnya untuk meminta restu dan izin. Surat dari haramain dilayangkan sebanyak dua kali. Surat pertama tidak mendapat balasan. Surat yang kedua, ia sudah terlanjur menghafalkan al-Qur’an sebanyak 30 juz. Mengetahui anaknya telah menekuni al-Qur’an, alangkan bahagianya Kyai Abdullah Rasyad yang mempunyai keinginan atas cita-cita tersebut sejak lama.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Kyai Munawir Krapyak supaya al-Qur’an bersemayam di dalam dirinya adalah melalui tiga tahapan. Pertama, selama seminggu, ia menghatamkan al-Qur’an sekali. Kedua, selama tiga hari ia menghatamkan al-Qur’an sekali. Ketiga, selama tiga tahun, ia menghatamkan al-Qur’an setiap hari. Ketiga tahapan ini meskipun berat, namun dengan penuh kesabaran ia dapat melaluinya dengan baik. Bahkan dikisahkan, bahwa Kyai Munawir Krapyak membaca al-Qur’an selama 40 hari non stop, sehingga mulutnya mengeluarkan darah.
Bahtera Rumah Tangga
Lamanya Kyai Munawir Krapyak berdirasah di Haramain tidak membuatnya lupa menunaikan sunnah rasul, pernikahan. Tercatat, ia pernah melakukan pernikahan sebanyak enam kali yang darinya dikaruniai 34 keturunan. Semuanya memberikan keturunan kecuali pernikahannya dengan Nyai Wuryan.
Pernikahan yang pertama bersama dengan Nyai Mursyidah dari Kauman, Yogyakarta. Keduanya dikaruniai lima anak yaitu, Abdullah Siradj, Khadijah, Ummatullah, Abdullah Affandi, dan Abdul Qadir.
Pernikahan yang kedua berlangsung dengan Nyai Khadijah (Nyai Sukistiyah) dari Wates, Kulon Progo Yogyakarta. Darinya, Kyai Munawir Krapyak dikarunia 11 keturunan, yaitu Muhammad, Bahrudin, Jazilah, Hasyimah, Zaini, Jamalah, Hani’ah, Zainal Abidin, Ahmad Warson, dan Fathimah.
Pernikahan yang ketiga berlangsung dengan Nyai Salimah dari Wonokromo Bantul yang membuahkan sembilan keturunan, yaitu Hindun, Aminah, Zulaikha’, Badhi’ah, Washil, Ja’far, Dalhar, Jauharah, dan Hidayatullah,
Bersama istri keempat, yakni Nyai Rumiyah dari Jombang Jawa Timur, Kyai Munawir Krapyak dianugerahi keturunan empat, yaitu, Juhannah, Zainab, Zainudin, da Badriyah.
Untuk pernikahan Kyai Munawir Krapyak bersama dengan istri yang kelima, yaitu Nyai Khodijah dikaruniai lima keturunan, yaitu Juwariyah, Dzurriyah, Walidah, Ahmad, dan Zuhriyah.
Pesantren Krapyak
Jika sudah menikmati indahnya dirasah di Haramain dan bagaimana pahala ibadah di dalamnya yang dilipatgandakan, maka thalibul ilmi merasa berat untuk meninggalnya. Ia ingin selalu hidup di samping Masjidil Haram, Makam Rasulullah SAW dan Masjid al-Nabawi. Namun, apa boleh buat? Panggilan dakwah menyebarkan Islam sebagaimana yang diperintah agama sangatlah penting meskipun hanya satu ayat, mengentaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Kyai Munawir Krapyak merasa terpanggil untuk kembali ke kampung halamannya guna menularkan apa yang sudah didapatkannya selama nyantri di Haramain seperti halnya temannya, Kyai Ahmad Dahlan.
Kepulangan Kyai Munawir Krapyak ke kampung halamannya disambut antusias oleh keluarganya dan ulama keputihan yang ada di sekitar Kauman. Mereka mengharapkan semakin banyak generasi pemuda Kauman lulusan Haramain, maka akan menambah semakin ramainya kegiatan keagamaan yang diselenggarakan. Masjid Gede semakin ramai diisi pengajian, silih berganti kyai yang mengajar, menjadi imam, dan khatib di saat salat Jum’at ditunaikan.
Kyai Munawir Krapyak yang fokus dalam bidang al-Qur’an merasa kurang nyaman jika bertempat di Kauman sebab terlalu ramai, sehingga kurang kondusif apabila digunakan santri yang dalam proses tahfidz, sehingga terbesitlah dalam dirinya untuk mendirikan sebuah pesantren yang jauh dari keramain kota. Amanah mendirikan pesantren ini mulanya timbul dari sahabatnya, Kyai said saat masih menjalani dirasah di Haramain.
Setelah melalui pertimbangan dengan matang, Kyai Munawir Krapyak memilih desa krapyak sebagai lokasi yang nantinya akan digunakan sebagai tempat tinggal dan media dakwahnya. Dibelilah sebidang tanah dekat Kandang Menjangan dari Bapak Jopanggung (disebut desa Krapyak) yang masih berupa hutan lebat, penuh dengan binatang buruan, terlebih rusa atau menjangan. Uang pembelian tanah tersebut hasil waqafan dari Haji Ali Graksan, Cirebon. Karena dibangun di atas tanah Krapyak, maka pesantren ini dikenal sebagai Pesantren Krapyak. Ia didirikan pada tahun 1909 M. Sebagian pendapat menyebutkan didirkan pada 1911.
Setelah hijrah dari kauman menuju Krapyak, santri-santri yang dahulunya ngaji bersama dengan Kyai Munawir Krapyak ikut pindah bersama dirinya. Musalla di Kauman yang dahulunya digunakan untuk mengajar al-Qur’an diserahkan sepenuhnya kepada iparnya, Kyai Ahmad Dahlan yang kemudian hari menjadi milik Nasyiatul Aisyiah Yogyakarta.
Maha Guru Para Qurra’ di Nusantara
Nama Kyai Munawir Krapyak semakin melejit dalam dunia al-Qur’an di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Kehadirannya semakin menambah cahaya (nawwara yunawwiru munawwaran) dan khazanah pesantren Nusantara. Disiplin al-Qur’an yang didalaminya bak nibras yang menerangi dan membuat orang ingin mendekatinya supaya mendapat sinar atau keberkahan. Santri-santri yang ingin ngalap berkah kepadanya semakin bertambah, mulai sekitar 60-an (1910-1920) hingga menjadi 150-an (1921-1923). Saat kembali ke rahmatullah, santri krapyak ada sekitar 200-an yang berasal dari Nusantara dan manca Negara.
Kyai Munawir Krapyak fokus dalam menjaga wahyu ilahi, baik dengan dideres (dibaca berulang-ulang), diajarkan, atau diamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari. Ia hanya fokus mengurus al-Qur’an, tidak tergiur untuk mengurus dunia atau ikut dalam dunia pergerakan sebagaimana yang dilakoni oleh sebagian sahabatnya seperti Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan Kyai Wahab Hasbullah. Keistiqamahannya dalam menjaga wahyu ini menjadi asset besar untuk pengembangan kajian al-Qur’an dalam masalah qiraah yang ada di Nusantara. Berduyun-duyun, santri mendatangi kediamannya untuk ikut serta meneguk madu keilmuan yang bersemayam di dalam dirinya. Murid-muridnya kebanyakan menjadi ulama besar yang meneruskan perjuangannya menjaga wahyu ilahi seperti halnya Kyai Muhammad Arwani Kudus, Kyai Abdul Hamid Hasbullah (adik Kyai Wahab Hasbullah), Kyai Yusuf Cirebon, Kyai Abdul Jamil Cirebon, Kyai Ma’shum Cirebon, Kyai Baidlowi Kendal, Kyai Umar Abdul Mannan Solo, Kyai Muntaha Wonosobo, Kyai Suhaimi Bumiayu, Kyai Hasbullah Yogyakarta, dan lain-lain.
Santri-santri Kyai Munawir Krapyak yang meneruskan estafetnya dalam meneruskan perjuangan menjaga kalam ilahi dan meneruskan rantai-rantai sanad al-quran. Tercatat, bahwa sang maha guru al-Qur’an nusantara ini sanadnya menempati posisi yang ke-30 dari silsilah sanad al-Qur’an yang diwarisi secara turun temurun mulai dari nabi Muhammad saw hingga dirinya. Sebagian pendapat ada yang mengatakan bahwa sanad al-Qur’an yang didapat oleh Kyai munawir itu menempati posisi yang ke-28, namun setelah dilakukan kajian yang mendalam, ternyata sanad yang mengatakan menempati posisi 28, masih ada nama ulama yang belum disebutkan. Berikut adalah kutipan sanad tersebut :
(30) Kyai Munawir Krapyak (w. 1360 H/1942 M) dari – (29) Syaikh Abdulkarim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi, dari (28) Syaikh Isma’il Basytin, dari (27) Syaikh Ahmad ar-Rasyidi, dari (26) Syaikh Musthafa ibn Abdurrahman ibn Muhammad al-Azmiri (w. 1156 H/ 1743 M), dari (25) Syaikh ahmad Hijaziy, dari (24) Syaikh Ali bin Sulaiman ibn Abdullah al-Manshuriy (w. 1134 H/ 1722 M), dari (23) Syaikh Sulthan ibn Ahmad ibn Salamah ibn Ismail al-Muzaziy al-Mishri (w. 1075 H/1664 M), dari (22) Syaikh Abul Futuh Saifuddin bin ‘Athaillah al-wafai al-Fadhaliy (w. 1020 H/ 1611 M), dari (21) Syaikh syahadzah al-Yamani, dari (20) Syaikh Nasirudin Muhammad ibn Salim ibn Ali ath-Thablawiy (w. 966 H/1559 M), dari (19) Syaikh Zakariyya ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Zakaria al-Anshari al-Mishri (w. 926 H/1520 M), dari (18) Syaikh Shihabudin Ahmad ibn Asad ibn Abdul Wahid al-Umyuthi al-Syafi’i (w. 872 H/1467 M), dari (17) Syaikh Abul Khair Muhammad ibn Muhammad ibn Ali ibn Yusuf al-Jazariy al-Syafii (w. 833 H/ 1429 M), dari (16) Syaikh Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Abil Hasan ibn Sha’igh al-Hanafi (w. 776 h/ 1374 m) atau Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman ibn Ahmad ibn Ali ibn Mubarak ibn al-Ma’ali al-Washithi al-Mishri al-Bagdadi (w. 781 H/1378 M), dari (15) Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdul Khaliq ibn Ali ibn Salim al-Mishri al-Syafi’i (w.725 H/ 1379 M), dari (14) Al-Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdul KHALIQ ibn Ali ibn Salim ibn Musa al-Hasyimi al-Abbasi al-Mishri (w. 661 H/1262 M), dari (13) syaikh abu Muhammad al-Qasim ibn Firruh ibn Khalaf ibn Ahmad al-syathibi al-Ru’aini al-Andalusi (w. 590 H/1194 M), dari (12) Al-Imam Abi al-Hasan ali ibn Muhammad ibn Ali ibn Hudzail (w. 564 H/1168 M), dari (11) Ibnu Dawud Sulaiman ibn Najah ibn Abil Qasim al-Andalusi (w.496 H/ 1103 M), dari (10) Syaikh Abu Amr Ustman ibn Said ibn Ustman ibn Umar al-Dani (w. 444 H/ 1053 M), dari(9) Abi al-Hasan ath-Thahir ibn Abdul Mun’im ibn Abdullah Ghalbun (w. 399 H/ 1008 M), dari (8) Syaikh Abul Hasan Ali ibn Muhammad ibn Shaleh ibn Abi Dawud al-Hasyimi (w. 368 H/978 M), dari (7) Syaikh Abul Abbas Ahmad ibn Sahl ibn Fairuzani al-Asynani (w. 307 H/919 M), dari (6) Syaikh Abu Muhammad Ubaid ibn al-Shabbah ibn Suraih al-Kufi al-Baghdadi al-Nasyali (w. 235 H/849 M), dari (5) Abu Umar Hafsh ibn Sulaiman ibn Mughirah al-Asadi al-Bazzar al-Ghaziri al-Kufi (w. 180 h/ 796), dari (4)‘Ashim Ibn Bahdalah-Maula Bani Djudaimah ibn Malik ibn Nasyr ibn Qo’in ibn Asad (w. 128 H/ 745 M), dari (3) Abu Abdurrahman Abdullah ibn Habib ibn Rubai’ah al-Sulami al-Kufi (w.73 H/692 M), dari (2) Sadatina Utsman bin ‘Affan (w. 23 H/ 644 M), ‘Ubay bin Ka’ab (w. 30 H/ 650 M), Zaid bin Tsabit (w. 45 H/ 665 M), ‘Ali bin Abi Thalib (w. 74 H/693 M), Abdullah ibn Mas’ud (w. 32 H/ 652 M), dari (1) Rasulullah Muhammad Saw (w. 11 H/ 632 M).
Di antara para muridnya itu adalah KH Arwani Amin Kudus, KH Badawi Kaliwungu Semarang, K. Zuhdi Nganjuk Kertosono, KH Umar Mangkuyudan Solo, KH Umar Kempek Cirebon, KH Nor/Munawwir Tegalarum Kertosono, KH Muntaha Kalibeber Wonosobo, KH Murtadlo Buntet Cirebon, KH M. Ma‘shum Gedongan Cirebon, KH Abu Amar Kroya, KH Suhaimi Benda Bumiayu, KH Syatibi Kiangkong Kutoarjo, KH Anshor Pepedang Bumiayu, KH Hasbullah Wonokromo Yogyakarta, dan KH Muhyiddin Jejeran Yogyakarta.
KH M. Munawwir dikenal sebagai seorang yang istiqamah dalam beribadah. Salat wajib dan sunnah rutin dikerjakannya. Wirid Al-Qur'an selalu ia khatamkan sepekan sekali, biasanya setiap hari Kamis. Sifat muru'ah tercermin dari kerapiannya berpakaian. Ia terus-menerus mengenakan tutup kepala (kopiah atau serban), berpakaian sederhana, dan terkadang mengenakan pakaian dinas Kraton Yogyakarta saat menghadiri acara resmi kraton.
KH M. Munawwir dikenal sebagai seorang yang istiqamah dalam beribadah. Salat wajib dan sunnah rutin dikerjakannya. Wirid Al-Qur'an selalu ia khatamkan sepekan sekali, biasanya setiap hari Kamis. Sifat muru'ah tercermin dari kerapiannya berpakaian. Ia terus-menerus mengenakan tutup kepala (kopiah atau serban), berpakaian sederhana, dan terkadang mengenakan pakaian dinas Kraton Yogyakarta saat menghadiri acara resmi kraton.
Menurut KH. Munawir AF, alumnus Krapyak dan Mustasyar PWNU DIY, Mbah Munawwir adalah sosok yang penuh teladan. Sebagaimana umumnya ulama, para Kyai, Mbah Munawwir juga mempunyai wiridiyadhah yang spesial dalam hal Al-Qur'an.
“Selama 7 hari 7 malam, beliau mengkhatamkan Al-Qur'an 1 kali - selama 3 tahun. Setiap 3 hari 3 malam, mengkhatamkan Al-Qur'an 1 kali - selama 3 tahun. Setiap 1 hari 1 malam, mengkhatamkan Al-Qur'an 1 kali - selama 3 tahun. Selama 40 hari/malam membaca Al-Qur'an tanpa henti,” tegasnya.
Kiai Munawir AF juga menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Mbah Munawwir tersebut merupakan teladan yang dilaksanakan para sahabat Nabi.
“Sebagaimana para sahabat Rasulullah SAW dulu, mereka mengkhatamkan Al-Qur'an ada yang 5 hari sekali, tetapi yang banyak setiap 7 hari sekali, seperti: Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dll, termasuk Mbah Munawwir, beliau lakukannya sehingga wafat,” lanjutnya.
“Suatu riyadhah yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali hamilul Qur'an yang memiliki kemauan yg kuat, semangat yang tinggi seperti Mbah Munawwir atau yang setara dengannya. Berbahagialah santri Krapyak yang mempunyai Mbah Munawwir sebagai cermin keteladanan yang bermutu tinggi,” kenangnya.
KH Munawwir adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap keluarga dan para santrinya. Wejangan-wejangan yang ia sampaikan dalam pengajian secara apik diterapkan dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak membedakan tamu yang mendatanginya, semua ia sambut dengan baik.
Setelah sekian lama dijajah Belanda, pada bulan Maret 1942, bangsa Jepang mengganti menjajah bumi Nusantara. Pendudukan Jepang ini tidak kalah pahitnya dengan Belanda, bahkan rakyat semakin menderita dengan romusa sebagai ganti atas cultuur stelsel atau rodi yang digencarkan oleh Belanda. Jepang sebagai pelindung bangsa Indonesia, hanya sebuah omong kosong belaka, sebab selain mengeruk alam, dan tenaga, mereka juga memaksa umat Islam untuk melakukan seikere yang dapat membahayakan tauhid umat Islam. Demi ketetapan iman, banyak ulama yang harus dipenjara seperti Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Karim Amrullah. Di situasi yang genting, yang menimpa umat Islam seperti ini Kyai Munawir Krapyak mengajak santri-santrinya untuk membaca shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali dan surat Yasin 41. Amaliah seperti ini mempunyai kekhasan dapat menolak balak atau bencana atas kehendak Allah.
Bahkan, ia sesekali bersilaturahmi kepada keluarga santrinya, begitu pula kepada tetangganya. Di tengah-tengah cakaran kekuasaan Jepang atask bumi Nusantara, KH Munawwir sakit selama 16 hari sebelum meninggal dunia pada hari Jum'at , tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H (6 Juli 1942) di rumahnya, saat KH. M. Munawwir wafat ditunggui oleh salah seorang putrinya yang bernama Nyai Jamalah. KH. M. Munawwir dimakamkan di Dongkelan Kauman tepatnya di Tirtonirmolo, Kecamatan asihan Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Riwayat regenarasi pengasuh Pondok Pesantren Krapyak selepax KH. M. Munawwir adalsh.KH. R. Abdullah Affandi,KH. R. Abdul Qadir (tahun 1941-1968 M), KH. Ali Maksum (tahun 1941-1989 M), KH. Zainal Abidin Munawwir(tahun 1989-2014 M)., KH. Ahmad Warson Munawwir (tahun 1989-2013 dan saat ini diasuh oleh KH. Ahmad Shidqi Masyhuri S.Psi., M.Eng
(**) Aji Setiawan
Daftar Pustaka :
Al-Harari, Syaikh Muhammad Amin bin Abdullah. Majma’u al-Asanid wa Madfaru al-Maqashidu min Asanidi Kulli al-Fununi. Maktabah al-Asadi. Makkah al-Mukarramah. Tanpa Tahun.
Mastuki HS dan M. Ishom El-Seha (ed). Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren. Seri 1-3. DIVA Pustaka. Jakarta. 2006.
Nisa, Khalimatu & Fahma Amiratulhaq. Jejak Sang Pioneer Kamus al-Munawir KH. A. Warson Munawir. Yogyakarta : Pustaka Komplek Q. 2015.
Budi, Biografi KH Munawwir Krapyak, ladunni, 11 Januari 2021
Solahudin, M. Ulama Penjaga Wahyu. Kediri. Nous Pustaka Utama. 2013.
Aji Setiawan, KH Munnawir Krapyak Ulama Al Qur’an Yang Mendunia, Pena Persatuan ,Desember 2022
Simpedes BRI 372002029009535