HNAB : 2

1323 Kata
Suara rintih kesakitan terdengar di ruangan 8x8 meter persegi. Terlihat seorang cowok berusia 23 tahun tengah terkulai lemas terduduk di bangku kayu dengan kedua tangan di ikat di belakang. Di depanya berdiri sorang cowok berusia sama seperti dirinya, berpostur tinggi tegap tengah membawa cutter di tangan kanannya. "Masih nggak mau berbicara?" tanya seorang yang baru saja datang dengan dua cowok lain di belakangnya. Yang di tanya hanya menggeleng, "Dia masih diam,Rey." Cowok bernama Rey tadi mendekat kearah dimana seorang tengah terkapar dengan wajah yang penuh dengan darah segar akibat sayatan cutter. "Sekali ini aja gue tanya sekali lagi, dimana Ervan berada?" tanya Rey dengan rahang mengeras. "Gue nggak tau dia ada dimana," jawab cowok itu lirih. Rey tersenyum simpul, "Oke, sepertinya lo suka hal yang menantang dari pada harus menerima pertanyaan yang biasa aja," Rey berjalan mendekati dua cowok di belakangnya Galang dan Dewa. "Gue emang nggak tau dia ada dimana! b*****t!" suara serak teriakan itu malah membuat Rey tertawa. "Haruskah gue percaya sama lo?" tanya Rey lagi. "Bunuh gue kalau lo mau! Sampai mati pun gue akan bilang hal yang sama! Gue nggak tau dia ada dimana!" jelas cowok tadi dengan tenaganya yang masih tersisa. "Oke," jawab Rey singkat dan memberi isyarat kepada Vero untuk mundur dan Dewa yang mengambil alih. "Hmm, oke seperti apa yang lo bilang beberapa detik yang lalu. Lo kenal gue kan? Gue nggak suka main-main," jawab Dewa sambil mengeluarkan revolver dari saku hoddynya. Cowok itu melotot kaget,"Wa, kita teman kan? Lo tega bunuh gue?" Dewa sedikit berfikir, "Oh iya gue lupa lo temen gue ya." Dewa berhenti mengisi peluru kedalam revolver tersebut membuat cowok itu lega. "Tapi teman nggak berlaku dalam hal bisnis seperti ini,situasinya berbeda,Bro." jawab Dewa di iringi senyum mengerikan. Cowok itu kelagapan. Rey, Galang dan Vero menikmati tontonan di depan mereka dengan senyum penuh kemenangan. "Lo udah lihatkan, ada satu peluru dalam revolver ini. Karena lo temen gue,gimana kalau kita bermain sebentar," tawar Dewa. Cowok itu terdiam, wajahnya begitu ketakutan, "Gue mohon,Wa. Jangan bunuh gue." ucapnya memelas. "Oke, gue duluan." dewa memutar revolver dan mengarahkan ke kepalanya. Namun, kosong. Cowok itu semakin ketakutan. Terlihat dari wajahnya yang panik. "Kini giliran lo." Dewa kembali memutar revolver itu dan mengarahkan ke kepala cowok tadi. Tapi hasilnya masih sama, kosong. Semua berjalan sampai dua kali percobaan. Nafas cowok itu memburu. Wajahnya begitu pucat pasi. Serangan mental memang paling mematikan. "Duh gue bosen,Nih. Gimana mau mati sekarang?" Dewa mengarahkan pistol itu tepat di kepala cowok itu lagi. "Stop! Gue beneran nggak tau Ervan dimana. Kalau pun gue tau, Gue akan bilang Alan seminggu yang lalu karena dia juga nyari keberadaan Ervan." teriak cowok itu serak. Rey menegapkan badannya."Alan? Kenapa dia cari Ervan?" tanyanya pada Danu. Cowok yang mereka siksa. "Gue nggak tau masalah di antara mereka apa. Yang jelas Alan dan teman-temannya juga sedang mencari Ervan." "Lang, tolong cari informasi soal Alan dan Ervan," perintah Rey pada Galang. Segera dengan cepat cowok itu mengutak-atik laptopnya. "Sekarang, lebih baik lo jaga cewek lo. Sebelum Ervan menemukan dia." "Nara?" tanya Rey lagi. Danu mengangguk,"Dia berencana menggunakan cewek lo sebagai tameng buat dia," Wajah Rey berubah drastis. Wajah tampanya berubah seram. Otot lehernya mencuat keluar. Tangannya mengepal erat. "b******k!" Makinya sambil meninju meja kaca di sampingnya. Prankkkkk Reflek Galang menyelamatkan laptop yang masih dia gunakan di atas meja. Kaca meja itu pecah berserakan. Tangan Rey berdahah akibat pecahan kaca. Namun, dia tidak mempedulikan. Semua orang yang berada disana terdiam. Rey begitu menakutkan jika sudah marah. *** Dooorrrr Nara terbangun setelah bermimpi buruk. Dia berjalan keluar kamar mengambil segelas air dingin lalu dia teguk dalam-dalam. Mimpi yang aneh, dia bermimpi melihat Rafa terbunuh dengan pistol. "Aku kenapa sih?" gumam Nara pada diri sendiri. Jam menujukan pukul 1 dini hari. Sudah empat hari Rafa tidak pulang ke apartemen Nara. Sudah empat hari juga ponsel Rafa tidak aktif. Nara mengkhawatirkan cowok itu, meski Rafa sering tidak pulang bahkan dulu hampir 2 minggu Rafa tidak kemari perasaan Nara biasa saja. Tapi mengapa belakangan ini dia begitu mengkhawatirkan Rafa? Tak ingin memikirkan hal yang tak penting. Nara memutuskan kembali tidur di kamarnya. Suara alarm di ponsel Nara membuatnya terbangun. Namun, ada yang aneh. Nara melihat di balik selimut tebalnya. Ada sebuah tangan dengan arloji hitam melingkari perutya. Dia menoleh ke belakang sudah ada Rafa yang masih menutup matanya rapat. Nara tersenyum lebar. "Jangan senyum begitu,Malah nggak pengen bangun, nih," ucap Rafa masih menutup matanya. Nara masih bandel, dia terus tersenyum,"Pulang jam berapa tadi?" tanyanya. "Jam setengah 3 pagi,hmm aku kangen banget sama kamu." disisnya semakin mengeratkan pelukannya. "Rafa, sesak nih," "Jangan berangkat kuliah hari ini, kita di apartemen aja seharian." pintanya. "Aku harus mempersiapkan pameran,Raf." "Nggak usah. Sehari aja bolos bukan masalah besarkan?" Rafa masih saja ngotot. Tapi Nara tetaplah Nara, dia akan luluh dengan ucapan Rafa. "Kalau gitu biarin aku buat sarapan untuk kamu. Pasti kamu lapar." Nari bangkit dari tidurnya setelah berhasil lepas dari pelukan Rafa. Rafa hanya bisa tersenyum melihat Nara yang masih cantik meskipun baru bangun tidur. Nara itu seperti pelangi dalam hidup Rafa yang gelap. Nara yang selalu ada saat dia butuh sandaran. Nara yang begitu perhatian padanya melebihi keluarga. Itu mengapa Rafa tidak ingin kehilangan Nara. *** "Nggak ke kantin,Ra?" Tanya Marsya teman sebangku Nara. "Enggak, ada yang harus aku catat." Marsya melihat seorang cowok tampan yang tengah memandang ke arahnya lewat jendela. "Ra, kamu kenal cowok itu? Dia lihatin kamu terus dari tadi." bisik Marsya sambil mencuri pandang ke jendela. Nara menolehkan wajah, Rafa tengah memandangnya. senyum tipis tercetak di wajah tampan Rafa. Dia berjalan memasuki kelas Nara yang hanya menyisakan gadis itu bersama Marsya akibat jam istirahat. "Hay, Ra." Sapanya dengan senyuman. "Hay, Raf. Kok kamu ngerti kelas aku?" tanya Nara keheranan. "Butuh waktu 2 hari buat nyari nama lo beserta kelasnya." jawab Rafa sambil tersenyum geli dengan ucapannya sendiri. Nara terkekeh pelan, "Ada apa nih?" "Enggak, tadi gue nyari lo di kantin tapi nggak ketemu. Gue samperin deh ke kelas ternyata lo bener ada disini. Ini ricebowl buat lo, tadi ada sisa satu dari pada dia sendirian di kantin jadi gue beli, di makan ya." Nara tersenyum lebar oleh celotehan Rafa, "Oke terimakasih banyak ya," "Gue balik dulu," pamit Rafa dan segera berlalu pergi. Marsya yang sedari tadi hanya melihat sambil memandang wajah tampan Rafa pun mencoel lengan Nara."Kenal dimana woy cowok ganteng kayak dia?" tanya Marsya. "Dia yang bantuin aku masuk sekolah dua hari lalu," jawab Nara seadanya. Marsya hanya mengangguk paham. Setelah jam pulang sekolah terlah terdengar, Nara segera berkemas dan menyetop taksi untuk pulang. Namun, di tengah perjalanannya dia melihat Rafa tengah berkelahi dengan siswa dari sekolah lain. "Pak pak berhenti disini," pinta Nara. "Bapak tunggu sini sebentar ya," Nara segera berlari mengampiri kerumunan itu. Meskipun dia takut karena dengan tubuh yang mungil bisa remuk dia ikut di pukuli oleh para siswa tersebut. "Woy polisi!" teriak Nara mencoba membubarkan masa. Mendengar kata polisi paea siswa tadi segera berlali menjauh dan meninggalkan Rafa yang tergeletak dengan wajah babak belur. "Rafa." panggilnya. Rafa di bopong memasuki taksi di bantu Nara dan sopir taksi tadi. Taksi itu melesat dengan cepat. 1 jam kemudian. Rafa membuka matanya, hal yang pertama dia lihat adalah langit-langit ruangan yang berbeda dari rumahnya. "Kamu udah sadar?" suara lembut yang baru dia kenal beberapa hari ini terdengar di telinganya. Nara memandang wajah Rafa dengan cemas. "Tadi kamu di kroyok sama anak-anak sekolah lain. Mau aku laporin ke polisi?" tanya Nara lembut. "Nggakahhh aishhgg," Rafa merintih kesakitan. "Muka kamu penuh luka. Jangan banyak bergerak dulu ya. Tadi udah aku kompres pakai air hangat, trus aku kasih salep biar lukanya mengering." jelas Nara lembut. Rafa berterimakasih dalam hati kepada Nara. Dia begitu sangat beruntung bisa di tolong oleh gadis cantik, baik dan ramah seperti Nara. Gadis itu sangat perhatian padanya. Baru kali ini dia mendapat perhatian lebih dari seorang gadis yang bahkan belum dia kenal selama seminggu. Rafa yakin ini adalah takdir dari Tuhan. Nara di kirimkan untuk menerangi dunianya yang cukup gelap selama ini.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN