Jason mengabaikan Alice yang merajuk. Wajahnya begitu masam, sejak semalam juga tidak berhenti menangis. Dia tidak salah, Jason hanya mengambil apa yang menjadi haknya sebagai seorang suami. Lagi pula sudah tertulis di surat kesepakatan dia bersama Tuan Dominic jika Jason menginginkan keturunan laki-laki, sebagai penerus.
Dia tidak bodohh saat menikahi Alice, tidak ingin dirugikan dalam bentu apa pun. Setidaknya jika suatu saat mereka berakhir cerai, Jason sudah memiliki anak yang akan menjadi penerus. Dengan begitu harta warisan akan lebih banyak jatuh ke tangannya.
"Segera bersiap, kita akan segera ke kediaman Papa. Benarkan wajah kamu, jangan ditekuk seperti itu."
Alice meletakkan garpu dan pisaunya kasar, menatap Jason dari kejauhan. Jason berada di kursi paling ujung, sementara Alice berada di ujung sebelahnya. Mungkin panjang meja itu berkisar empat meter, terdapat dua belas kursi secara keseluruhan. Jika keluarga Jason datang, mereka berkumpul di meja itu untuk menikmati sajian.
"Aku nggak mau!"
"Maka bersiap saya seret lagi seperti semalam."
"Kita bercerai aja kalau gitu, aku lama-lama bisa gilaa jadi istri kamu. Jalan aja pinggangku masih sakit, aku nggak mood mau keluar rumah." Akibat jatuh semalam Alice merasa pinggangnya nyeri, nanti dia akan meminta Bibi Pety memijatnya.
Jason menyudahi makan, tidak berniat berdebat pagi-pagi buta. "Saya tunggu lima belas menit, Alice."
Alice menghentakkan kakinya kesal, kemudian meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Mau bagaimana lagi, dia tetap harus menurut demi keselamatan daddynya.
Jason mengancam Alice semalam, jika dia tidak menurut, Tuan Dominic yang akan menjadi incaran Jason.
"Ck, menyedihkan banget!" kata Alice saat memandangi pantulan dirinya di cermin rias. Dia melepaskan kaosnya, kemudian mengambil pakaian yang lebih rapi.
"Dasar pemangsa!" Dia menggerutu lagi saat melihat banyaknya tanda kemerahan tersemat di daerah dadaa hingga beberapa di leher. Susah payah Alice menutupi tanda menjijikan itu menggunakan mekapnya.
Terpaksa Alice menggerai rambut, mengenakan tambahan syal pita leher untuk mengalihkan tanda kepemilikan Jason. Takut jika mekapnya hilang, memalukan sampai orang lain mengetahuinya.
"Nanti kalau Papa ajak ngobrol, kamu cukup iyain aja, tidak perlu basa-basi."
"Kenapa? Terserah aku dong."
Jason memicing, tapi Alice tidak takut. Akhirnya dia memilih memejam, menyalakan musik agar tidak ada pembicaraan di antara mereka. Alice sebal melihat Jason, teringat kejadian semalam. Menggelikan!
Sesampainya di kediaman Tuan Herbert, Jason melangkah bersisian dengan Alice. Mereka terlihat seperti bukan pasangan yang lagi jatuh cinta. Apalagi raut cemberut Alice, membuktikan jika wanita itu banyak menerima tekanan batin.
"Kondisikan wajah kamu." Jason melingkarkan lengan pada pinggang Alice.
"Nggak usah sentuh-sentuh ih." Alice melangkah lebih dulu ke dalam, tidak memedulikan bagaimana tanggapan Jason atas keberaniannya.
"Hei, Jason ... ini Alice istri kamu?" Tuan Herbert tersenyum hangat, menyalami Alice. "Selamat datang, silakan duduk."
"Maaf kemarin Papa tidak bisa datang ke acara pernikahan kalian. Jason terbiasa membuat acara dadakan, dia juga baru mengabari saya H-1, kebetulan saya masih memiliki pekerjaan di Paris yang tidak bisa ditinggalkan. Alhasil saya baru tiba di Indonesia tadi malam."
"Nggak pa-pa, Pa. Acaranya sederhana aja, yang datang juga dikit."
Tuan Herbert langsung menatap Jason. Kemarin pria itu mengatakan jika acara mereka lancar dan meriah, banyak tamu undangan yang datang. "Kalian berniat membuat acara resepsi?"
"Tidak, Pa, ribet."
"Kamu ini tidak ada romantisnya sama sekali, Jason, heran Papa. Dia emang seperti ini, Nak Alice, mohon dimaklumi."
Alice mengangguk, meski sebenarnya berat untuk memaklumi sikap aneh Jason.
"Bagaimana kalian bisa ketemu dan akhirnya memutuskan nikah? Jason sangat tertutup, dia selalu enggan bercerita sama Papanya sendiri. Bahkan ini pertama kalinya dia memperkenalkan wanita pada saya."
"Pa, jangan terlalu banyak tanya, ini bukan sesi wawancara sama media. Kebiasaan banget."
Apakah Alice harus jujur mengenai pernikahan mereka? Kira-kira bagaimana tanggapan Tuan Herbert, mungkinkah dia akan membantu perceraiannya karena mereka tidak saling mencintai?
"Papa nggak tanya sama kamu, Jason, jangan ikut menyahut."
"Ah, kami nggak sali--"
"Pa, biarin Alice mencicipi kue bikinan Bibi Tera, dia pasti menyukainya." Jason menyela cepat, dia bisa menebak maksud dan tujuan pembicaraan Alice. Wanita itu memiliki seribu akal, jangan sampai Jason kecolongan. "Dibilang nggak usah pakai penutup leher, Papa maklum namanya pengantin baru."
Alice menganga saat Jason membahas lehernya. Dasar pria idiottt!
Tuan Herbert tertawa. "Pukul saja kepala Jason kalau dia jahil atau bersikap kasar sama kamu, Nak Alice. Ayo kita ke ruang makan, banyak kue yang Bibi Tera bikin khusus buat menantu saya."
Di sela-sela makan kue sambil mengobrol ringan bersama, mereka kembali kedatangan seseorang. Dia adalah Aldric, saudara Jason.
"Hei, kamu ...!" Alice tersenyum lebar saat mendapati pria yang pernah menolongnya waktu itu. "Apa kabar?"
Aldric tersenyum, menyalami dengan hangat sambil mengusap lengan Alice. "Baik. Kebetulan ketemu di sini. Siapa dia, Pa?"
"Eh tunggu dulu ... kamu panggil 'Pa'?"
"Iya, dia Papa aku."
"Astaga, beneran? Kok kebetulan banget kita ketemu di sini."
Tuan Herbert senang melihat keceriaan Alice, tidak seperti sebelumnya yang tampak sungkan dan irit bicara. "Dia istri Jason, Al. Sayang banget kemarin kita tidak hadir di pernikahan mereka."
"Oh ... jadi dia yang selama ini Jason rahasiain dari kita, Pa? Bahkan H-1 pernikahan aja masih nggak dikasih tau mukanya gimana. Nggak nyangka ternyata dunia sesempit ini."
Jason masih diam, tapi matanya tetap mengawasi setiap gerakan Alice. Dia malas berurusan dengan Aldric, pria itulah yang selalu menjadi kebanggaan Tuan Herbert. Jika Jason berulah, dia selalu disuruh mencontoh Aldric, si anak baik dan penurut.
"Makan kue ini, Al, enak banget. Bibi Tera jago bikinnya."
Aldric lebih muda lima tahun dari Jason, tapi memiliki tinggi yang tidak jauh berbeda. Kalau dilihat dari rupa, mereka memang pantas bersaing. Jason tampan, Aldric pun sama.
"Centil banget kamu." Jason menyindir Alice, tatapannya mengisyaratkan ketidaksukaan.
"Apa sih, ganggu aja."
"Kalian kayak bukan suami dan istri, atau lagi ngambekan?" Aldric menggoda, berniat hanya bercanda untuk mencairkan suasana.
Alice menaikkan bahu. "Dia emang resek."
"Kalau Jason tidak memperlakukan kamu dengan baik, laporkan sama Papa. Biar saya yang turun tangan membereskan dia." Tuan Herbert angkat bicara, dia tahu bagaimana watak putranya, dari dulu tidak pernah berubah.
"Kalau gitu Papa bisa bantu kami bercerai?" Jason, Aldric, maupun Tuan Herbert terkejut mendengar penurutan Alica secara tiba-tiba. Saling melempar pandang penuh tanya. "Ahahaha ... aku bercanda. Nggak mungkin aku suka rela jadi janda, 'kan?"
Jason berdehem, bangkit dari kursinya. "Ayo, Alice, kita berkeliling sekitar sini. Papa punya taman yang luas, kamu pasti suka." Melingkarkan lengannya posessif.
"Jason ... nggak ma--"
"Ayo, Sayang ...!"
Akhirnya mau tidak mau, Alice mengiyakannya. Dia takut tanduknya Jason keluar dan menerkamnya tanpa lampu. "Apa sih, nggak asik banget!"
"Saya tenggelamin kamu ke kolam buaya Papa kalau berani ngomong sembarangan lagi!"
"Kamu pasti bohong, nggak mungkin Papa punya buaya." Jason menarik Alice, membawanya menuju kolam buaya Tuan Herbert. Alice menjerit ketakutan, berpegangan erat pada Jason. "Aku percaya. Oke, oke, kita baikan. Aku tadi bercanda doang, kamu serius banget."
"Papa bisa curiga sama kita."
"Kamu takut? Pernikahan kita emang aneh, aku nggak suka kamu ya!"
"Nanti kita buat perjanjian di rumah. Kamu ini harus segera dibungkam biar diam!"
Dan benar saja, Jason mengambil ciumannya saat Aldric berniat menyusul. Jason sengaja melakukannya, agar Alice maupun Aldric tahu diri dan ingat posisi mereka.
***
Setelah asyik main di Herbert Mall bersama Violet dan Sammy--cowok incaran Alice, dia pulang dengan raut ceria. Beban menikah selama seminggu bersama Jason rasanya hilang. Dunia cerah tanpa adanya Jason di rumah, kebetulan pria itu sedang mengurus pekerjaan ke Singapura, sudah empat hari tidak pulang.
"Aku bakal ngadain acara syukuran kalau Jason nggak pulang lagi. Udah nyaman banget hidup aku kayak gini. Semoga dia dapat istri baru aja di Singapura, ya Tuhan ...!" Alice menelentangkan tubuhnya di tengah-tengah kasur, memejam sembari menghirup aroma ruangan yang menenangkan.
"Kalau Tuhan kabulkan doa kamu, jangan salahkan saya kalau menikah lagi."
Suara berat itu mengacaukan ketenangan Alice. Matanya membola saat menoleh pada Jason yang sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi menggunakan handuk selutut.
"Astaga, aku hampir jantungan. Kamu ini suka banget datang dan hilang tiba-tiba. Kemarin berangkat ke Singapura nggak bilang, terus datang juga nggak ngabarin. Kalau tau gini, aku nginep aja di unit Violet. Males ketemu kamu, aku bisa darah tinggi."
Jason melepaskan handuknya, Alice langsung memekik dan menutup wajahnya. "Dasar omes!" Dia berniat kabur, tetapi tangannya ditangan oleh pria itu. "Nggak, aku nggak mau lagi melakukannya!"
"Apa, sih? Saya pakai celana."
"Bohong!"
"Makanya diliat dulu."
Alice menghentakkan kakinya geram. "Lepasin, Jason, kamu ini kayak om-om kurang belaian."
"Ya memang, mau kamu belai saya?"
"Ogah!" Jason melepaskan tangan Alice secera tiba-tiba, wanita itu hampir terjungkal. "Nggak waras, aku bisa depresi hidup sama kamu, Jason. Udah tua bukannya tobat, malah makin-makin kelakuannya."
"Daddy kamu sakit, mau menjenguknya atau tidak?" Jason mengambil rokok, duduk di balkon. "Saya baru dapat kabar."
Alice mengurungkan niatnya pergi ke kamar mandi, menatap Jason beberapa saat--mencari kebohongan. "Aku kok nggak dikabari?" Segera mengecek ponselnya, ternyata habis batrai. Cih, pantas saja.
"Ayo sekarang aja, Jason. Napas Daddy pasti sesak lagi, dia asma. Ini alasan aku nggak mau ninggalin Daddy, dia udah tua dan sering sakit-sakitan. Aku cuman punya Daddy."
Jason hanya mendengarkan keluhan Alice, tidak mungkin juga mengabulkan permintaan itu. Jason tidak akan pindah ke rumah mertua, tidak ingin juga jika Tuan Dominic tinggal di kediamannya. Jason tidak senang tinggal bersama orang tua, dia memiliki kebebasan dan aturan hidup yang tidak mudah dimengerti orang lain.
"Nanti jam tujuh, saya masih capek."
"Aku berangkat sendiri aja kalau git--"
"Bisa tidak kamu nurut sebentar aja, Alice? Jangan memancing kemarahan saya. Bisa saja saya larang kamu ke rumah daddy, tidak peduli bagaimana kondisinya."
Alice menggeleng. "Jangan. Nanti Daddy kenapa-kenapa, aku harus tau keadaan dia."
"Ya sudah, nurut makanya. Sana belajar masak, lakukan hal bermanfaat daripada terus-terusan memancing emosi saya. Jangan bisanya cuman berkeliaran sama teman-teman kamu. Kalau mereka masih lajang, wajar."
Meski Jason berada di Singapura atau belahan dunia lain, dia tetap mengetahui ke mana saja Alice pergi. Sebuah chip sudah dia masukkan ke dalam kulit wanita itu, hingga memudahkan Jason memantau pergerakannya.
"Siapa suruh kamu menikahiku? Kalau di rumah aku memang istri kamu, kalau di luar 'kan bisa suka-suka aku."
Jason menyesap rokoknya, menatap lurus ke depan. Dia sedang lelah dan banyak pikiran, beruntung Alice bebas hari ini setelah apa yang dia lakukan selama tidak ada Jason di rumah. "Tanya ke Daddymu, kenapa dia sok-sokan main judi kalau akhirnya jatuh miskin."
"Cih! Kamu jangan atur-atur aku ya, aku juga udah punya pacar. Aku suka cowokku, bukannya pria tua kayak kamu."
Jason memicing, nyali Alice langsung menciut. Dia buru-buru kabur, sebelum Jason menerkamnya. Setelah ini Alice akan membuat beberapa rencana lagi agar Jason membebaskan dia bermain di luar.
Alice membiarkan Jason istirahat sebentar dan memberi ruang untuk dia sendirian, dia memilih ke dapur meminta Bibi Pety membuatkan kue atau puding, biasanya Tuan Dominic senang nyemil untuk memulihkan kondisinya.
Alice tidak bisa memasak, tidak pandai juga beberes, dia selalu mengandalkan asisten rumah tangga. Selama ini hidup Alice serba berkecukupan, hingga membuatnya manja.
Puding buah sudah jadi, Alice kembali ke kamar dan bersiap untuk mengunjungi daddynya. Dia melihat Jason tertidur di balkon, bingung ingin membangunkan atau menunggu hingga pria itu bangun sendiri.
Hingga hampir setengah jam berlalu, Jason tak kunjung bangun juga, akhirnya Alice nekat membangunkan. Mereka harus pergi, tidak bisa ditunda sampai besok.
"Ayo ke tempat daddy, Jason, kamu sudah janji. Ini hampir jam setengah delapan, kamu nggak bangun juga, makanya aku bangunin."
Jason mendengkus, tidurnya kebetulan lagi nyenyak sekali--setelah empat hari tidak memiliki waktu tidur yang baik. "Kamu ganggu aja, bentar dulu. Nanti juga bisa."
"Aku berangkat sendiri kalau kamu nggak mau!"
Mata berat Jason seketika terbuka, dalam hati benar-benar mengumpat. Menghadapi anak muda memang tidak mudah, Alice terlalu kekanak-kanakan.
Melihat Jason bangkit dari posisinya, Alice bersorak penuh kemenangan. Mungkin setelah ini dia akan mempertimbangkan ide Violet, membuat Jason jatuh cinta padanya. Dengan begitu, Alice bisa bersikap sesuka hati dan memiliki kebebasan.
Tapi di sisi lain, Alice malah kepikiran ingin selingkuh saja. Bisa jadi Jason murka padanya, lalu langsung menceraikan. Kalau Jason yang menggugat, berarti aset keluarganya tetap utuh, sebab bukan Alice yang menginginkan berpisah. Lagi pula di surat perjanjian tidak ada larangan agar Alice tidak boleh berselingkuh.
"Elmer, apa kamu ikut ke rumah Daddy? Kamu tinggal aja deh, ngapain juga bawa pengawal ke mana-mana. Jason emang lebay. Aku benar, 'kan?"
"Salah!"
Alice mencebikkan bibir. "Kamu jangan terlalu nurut sama Jason, dia sesat. Percaya sama aku."
"Saya lebih percaya sama Tuan Jason, Nona. Saya telah bekerja sejak lama dengannya."
"Apa kamu nggak berniat nikah dan punya keluarga sendiri? Berhenti aja kerja sama Jason, nikmati hidup kamu. Lagian kita nggak tahu kapan umur berakhir, jangan sampai kamu nyesel. Mengabdi sama Jason mah nggak ada untungnya, kamu bakal tertekan."
Elmer menunjukkan wajah datar mendengar kalimat tidak masuk akal yang dilayangkan Alice. Rupanya gadis kecil itu ingin memengaruhinya, eh?
Dia pikir Elmer bocah plastik yang bisa termakan bujuk rayuan? Ya Tuhan, sempit sekali pemikirannya.
"Saya punya pilihan sendiri, Nona. Saya menikmati pekerjaan ini."
"Cih, kamu sama Jason sama, sama-sama nyebelin. Aaaa ... atau jangan-jangan kamu nggak normal, ya? Ih kamu suka Jason?"
"Anda sedang mabuk, Nona?"
"A-apa? Enggak kok."
Elmer mengangguk saja, kemudian memilih pergi daripada menciptakan perdebatan. Setelah ini pekerjaannya akan semakin rumit. Menjaga Alice akan jauh lebih susah daripada bekerja untuk Jason. Belum apa-apa gadis itu sudah melayangkan pertanyaan tidak masuk akal tahap 1. Masih tahap awal, belum ke tahap berikutnya yang makin membuat hilang akal.
"Dasar Elmer nggak tahu sopan santun, aku 'kan belum selesai ngomong. Kenapa sih orang-orang di sini pada manut sama Jason. Jangan-jangan dikasih makan kembang tujuh rupa!"
"Kamu ngomong apa?" Jason berdiri di ujung tangga, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Sungguh, Jason tidak paham kenapa istrinya senang menggerutu.
Dulu Jason sempat bercita-cita memiliki istri yang pendiam, super penurut, dan tidak banyak menuntut. Ternyata Tuhan malah memberi yang sebaliknya.
Alice cepat-cepat pergi meninggalkan Jason menuju halaman depan, membawa pudingnya dan cupcakes dengan langkahan lebar.
***
Tuan Dominic sudah diperiksa oleh dokter, dia akhirnya hanya melakukan rawat jalan di rumah. Nanti akan ada dokter pribadi yang datang khusus memeriksa dan memberinya perawatan secara rutin.
"Bisa biasa saja wajah kamu? Kalau tidak ikhlas saya tidur di sini, saya bisa cari kamar lain."
"Boleh, gih ke kamar tamu." Alice melipat kedua tangan di pinggang. Dia tampak tidak ikhlas membawa Jason ke kamar pribadinya yang serba pink.
Jason pikir Alice tidak akan seberani itu karena di sini ada Tuan Dominic, ternyata sama saja. "Lagian kamar kamu bikin saya sakit mata."
"Biarin, suka-suka aku ya. Aku masih muda, wajar seleranya beda sama kamu yang udah tua bangka."
"Tua bangka itu daddy kamu, bukan saya."
"Pergi sana, tidur sama Elmer."
Tanpa banyak bicara lagi, Jason beranjak. Tidak lucu jika mereka bertengkar sekarang, yang ada Tuan Dominic mengidap penyakit baru--serangan jantung misalnya, 'kan?
Elmer terkejut melihat Jason kembali ke lantai satu, dia segera berdiri dan menganggukkan kepala sebagai rasa hormat. "Tuan membutuhkan sesuatu?"
"Tidak. Saya sedang pusing, jangan ganggu saya." Jason menyerahkan ponselnya pada Elmer. "Kalau ada yang menghubungi, katakan kalau saya sibuk. Punya istri bukannya enak, malah bikin saya cepat stress."
"Nona Alice membuat keributan lagi, Tuan? Apa perlu saya yang mengingatkannya?"
"Saya saja tidak didengar, apalagi kamu. Mudah bagi dia menyepak kamu."
Elmer mengangguk paham. Alice memang bukan perkara yang mudah. Wanita itu dan segala kerumitannya telah menjadi satu. "Tuan perlu kopi?"
Jason memijat pelipis. "Boleh." Sebelum Elmer beranjak, Jason teringat sesuatu. "Si brengsekk itu sudah dipastikan aman di ruang bawah tanah, 'kan? Saya beri waktu sampai besok, jika dia tidak buka mulut, saya yang akan menghabisi nyawanya."
"Aman, Tuan, saya sudah memastikannya sebelum berangkat tadi."
Jason berlalu menuju kamar tamu, duduk di balkon untuk menyesap rokok lagi. Dia sedang berusaha menghabisi orang-orang yang berani bermain curang padanya.
Mulai dari kecurangan yang terjadi di kantor, penipuan di kapal pesiar miliknya, sampai penyeludupan barang edar berbahaya mengatas namakan dirinya.
Satu orang anggota pelaku sudah berhasil Jason tangkap sewaktu di Singapura kemarin, dia terkurung di ruang bawah tanah. Jika pria itu tidak juga membuka mulut ke mana perginya musuh Jason yang lain, maka nyawanya akan habis besok pagi.
Masalah kematian ibunya belum terpecahkan, kini masalah baru bertubi-tubi datang. Jason sampai pusing berurusan dengan kepolisian, sebab barang edar berbahaya itu terbukti ada di villa pribadinya yang terletak di pulau seberang. Kalau Jason tidak membuktikan jika dia dijebak, maka villa dan pulau itu akan diamankan oleh pihak berwajib. Tidak ada yang boleh melintas ke daerah sana lagi.