"Mbak Sara ini Minggu loh, Mbak masih kerja?!"
Suara merdu dari ujung meja makan besar membuat sosok perempuan yang sibuk memakai jam tangannya sontak menoleh, niat hati Sara untuk tidak menatap meja makan yang selalu sukses membuka trauma di masalalunya buyar seketika, tidak ada yang salah dengan sapaan akrab tersebut, sapaan yang di berikan oleh seorang adik kepada seorang kakak, hari Minggu yang seharusnya menjadi waktu istirahat, tentu saja wajar Raya, adik dari seorang Sara, menanyakan hal ini kepada Sara yang sudah begitu rapi dengan setelan kerjanya.
Sara, perempuan berusia 25 tahun tersebut menatap sekilas pada meja makan tempat suara tersebut berasal, dan kembali untuk kesekian kalinya bagi Sara, mendapati bagaimana meja makan yang begitu penuh kenangan antara dirinya dan Sang Mama kini di tempati sosok-sosok yang berbeda membuat hatinya terasa teriris.
Bagaimana tidak, di meja makan ini dahulu dia dan Mamanya seringkali menghabiskan waktu untuk memasak dan juga membuat kue, di saat Sara libur, maka seharian Mamanya akan mengajaknya memasak apapun dan akan di nikmati bersama-sama saat Papanya kembali dari kantor, namun siapa yang menyangka, di balik keharmonisan yang menurut seorang Sara kecil begitu sempurna menyimpan kebobrokan yang pada akhirnya membuatnya harus kehilangan Mamanya di usia muda.
Kini di meja tersebut sudah tidak ada Mamanya, tempat yang seharusnya di tempati Mamanya telah di gantikan oleh ibu tirinya yang tidak lain adalah penghancur rumah tangga keluarga Yudhayana, dan hal itu semakin melengkapi kehancuran di hati Sara, tempatnya pun di gantikan oleh Raya. Di mata Sara, mereka yang ada di meja makan ini bukanlah keluarga, namun para pembunuh yang sudah membuatnya sebatang kara di dunia ini.
Andaikan saja Papanya tidak ada main gila dengan janda gatal hingga janda gatal tersebut hamil dan membuatnya memiliki adik tiri, mungkin Mamanya akan hidup sampai sekarang.
Sungguh, Sara sangat membenci Ibu tirinya, hadirnya di rumah ini dengan dalih meminta pengakuan membunuh Mama dalam sekejap, hati perempuan mana yang tidak hancur mendapati suaminya yang dinas di luar kota justru menikah siri hingga memiliki anak yang hanya berjarak dua tahun dari usia Sara. Suami yang di bangga-banggakan justru bertingkah begitu b***t.
Kematian Mamanya sudah terjadi nyaris 20 tahun yang lalu, sosok Nyonya Santi Amara Yudhayana pun sudah di lupakan begitu saja berganti dengan Rani Yudhayana yang kini menjadi Ibu Persit seorang Abian Yudhayana, sama seperti segala kenangan tentang seorang Santi Amara yang seolah di hapus hilang dari rumah ini, sosok lembut yang melahirkan Sara pun terlupakan begitu saja.
Segala kenangan tentang Mamanya mungkin bisa di hapus Ibu Tiri dan Papanya seiring berjalannya waktu namun luka di dalam hati Sara belum sembuh sama sekali. Luka tersebut semakin dalam mendapati betapa jauhnya jarak antara dia dan Sang Papa, hal yang membuat Sara bertekad jika dia harus secepatnya melarikan diri dari rumah yang membuatnya susah bernafas.
"Tentu saja aku akan pergi bekerja jika Bossku memanggilku. Aku bukan seorang Nona besar yang untuk minum saja minta di ambilkan."
Suara denting sendok dan garpu dari sang Papa dan Ibu tiri sontak terhenti mendapati kalimat sarkas dari Sara, bisa Sara tebak beberapa detik lagi tatapan dan perintah otoriter dari Papanya akan terdengar menegurnya karena percayalah, segala hal yang mengangkut istri dan anak kesayangannya adalah hal yang sangat sensitif untuk seorang Abian.
Apalagi jika Raya sudah menunduk dan memasang wajah Princess paling tersakiti di wajahnya, maka dampratan adalah hal yang pasti akan di dapatkan oleh Sara.
"Jaga ucapanmu, Sara. Kamu ini di sapa baik-baik sama adikmu malah jawabanmu kayak orang nggak tahu diri! Memangnya Papa pernah ajarin kamu jadi orang yang kurang ajar....."
Abian tidak pernah bisa menyelesaikan kalimatnya karena dengan malas Sara memotongnya dengan suara yang amat bosan, "Memangnya Papa pernah ngajarin aku apa? Papa saja nggak pernah ingat punya anak dari seorang Santi Amara. Ciiiih, Anda ini kadang kalau ngomong nggak berkaca. Jangan pernah ngatain orang lain kurang ajar kalau sendirinya busuk."
Bodo amat Sara di bilang kurang ajar, terkadang Papanya ini memang perlu di sadarkan untuk berpikir sebelum berbicara. Dan benar saja, jawaban menohok dari Sara tersebut membuat Papanya terdiam seketika, tidak bisa menjawab hinaan Sara namun gantinya selai coklat yang ada di tengah meja menjadi sebuah lembing yang melayang ke arah Sara.
Ya, nyaris saja kepala Sara pecah karena lemparan selai coklat oleh Papanya sendiri, namun Tuhan masih berbaik hati membuatnya terhindar hingga vas yang ada di belakangnya yang hancur berkeping-keping.
"PAPA!!!"
"PAPA!!!"
Berbeda dengan Raya dan Ibu tiri Sara yang berteriak histeris mendapati bagaimana seorang Abian Yudhayana mengamuk membalas hinaan dari anaknya sendiri, Sara yang mendapati semua perlakuan Papanya yang sangat tidak mengenakan dan bukan kali pertama di dapatkan ini hanya menatap Papanya dengan dingin. Tidak ada ketakutan di mata Sara, yang ada jus
"Sudah Pa. Ya Tuhan, kalian ini kenapa sih setiap ketemu ribut mulu. Kamu juga Sara, sini sudah duduk sarapan saja. Jangan di tanggapi Papamu."
Mendapati Ibu tirinya yang berusaha meraih tangannya dan memintanya untuk duduk bersama di meja makan, sontak saja Sara langsung menepisnya dengan pandangan jijik. "Nggak usah sentuh-sentuh."
"SARA!!!"
Penolakan dari Sara membuat Rani terdiam, sama seperti reaksi Raya beberapa saat lalu yang membuat Abian mengamuk pada Sara, melihat bagaimana sang Ibu tiri menunduk sedih dengan penolakan dari Sara membuat Sara semakin buruk di mata Papanya sendiri, amarah itu mungkin akan meledak hebat jika Sara tidak memilih pergi dari ruang makan yang terasa seperti neraka ini meninggalkan Papanya yang sedang berusaha di tenangkan oleh Ibu tirinya.
"Udah Pa, jangan di kerasin si Sara. Dia bisa makin benci sama Mama kalau kayak gini."
Dalam langkahnya keluar dari rumah megah yang terasa begitu menyesakkan dengan segala trauma yang membekas di dalam otaknya, Sara masih bisa mendengar suara lembut ibu tirinya, sungguh Sara sama sekali tidak bisa menahan diri untuk tidak mencibir bagaimana sikap sok baik Ibu Tirinya yang begitu pandai berpura-pura, Sara sama sekali tidak mempercayai niat baik ibu tirinya, karena jika benar ibu tirinya adalah seorang wanita yang baik, tidak mungkin dia mau mengangkangi suami orang, huuuh, Sara benar-benar membenci keluarganya.
"Berantem lagi sama Om Abian!"
Baru saja Sara menuruni tangga terakhir rumah megah milik Papanya dan meninggalkan keluarganya yang sangat memuakkan, seorang yang menurut Sara juga sangat memuakkan lainnya di sertai dengan sapaan yang sangat berbasa-basi di dapati oleh Sara.
Tanpa menjawab pertanyaan basa-basi busuk seorang berseragam loreng di hadapannya, Sara melayangkan pandangan sinis penuh rasa muak.
"Tiap hari nongkrongin rumah Jendral, nggak dinas lu?"