Kegagalan Ciuman Pertama

2393 Kata
Teman masa kecil, tak selalu menjadi pacar yang baik. Terbukti dari suara berisik di luar sana. Kudenger pintu kamarku digedor keras seraya berulangkali memanggilku selayaknya majikan membentak babu. Dikuasai rasa malas, kulangkahkan kakiku dengan gontai menuju pintu ruangan. Kubuka daun pintu, untuk kemudian bertemu pandang dengan sorot mata setengah terkatup milik seorang perempuan. Kepalanya bermahkotakan rambut panjang setengah terikat. Tiap helai rambut itu hitam mengkilat memantulkan binar mentari hangat. Kulihat lengannya berkacak pinggang. Tas kecil berwarna hitam juga tergantung di lengan kanannya. Alis gadis itu mengkerut memandangku dengan wajah tak sedap. Iris matanya berpendar hijau efek dari contact lens yang ia kenakan. Ah, dia sudah terlihat begitu rapi. Rok abu-abu pendek dan kemeja muda begitu rapi hasil setrika. Sementara di lain pihak, aku masih mengenakan pakaian piyama, lengkap dengan rambut acak tak tersisir. Pandanganku kemudian menyapu ruangan di belakang, terfokus pada jam weker yang tenggelam di dasar akuarium. Aku gagal menghubungkan benang merah sebab musabab kenapa benda itu bisa berada di sana. By the way, jarum pendeknya menunjukan ke angka 8. Ah.... Mendadak pikiranku berubah panik. ANJ— Mataku kembali menoleh pada gadis di depan pintu. Keringat dingin mulai mengucur deras— tersadar bahwa aku sudah ingkar janji. Dia membuka mulutnya hendak meledak marah. Tapi aku berhasil menghentikan letupan emosi itu dengan menutup pintu tepat di depan wajahnya. BLAM! Sebisa mungkin aku tak memedulikan sayup caci maki di seberang pintu. Secepat kilat aku melesat ke kamar mandi, menyalakan kran, lalu membersihkan diri. Sempat pula aku terpeleset jatuh menginjak sabun yang tercecer di lantai. 2 menit 12 detik berlalu, aku berhasil keluar dari ruangan dengan napas menggebu-gebu. Kulihat perempuan tadi masih menunggu dengan wajah tak sedap, menatapku kesal sambil melipat kedua tangannya. “Lambat,” ucapnya sinis. Aku tak menghiraukan protes di mulutnya. Kepalaku menengadah ke arah langit, menatap langit berwarna biru cerah. Hmmm... ini awal pagi hari yang klise. Seperti biasa, matahari bersinar terang menembus gumpalan awan berbentuk kapas. Wajahku juga diterpa tiupan angin menyegarkan. Aku yakin, hari ini pasti akan berjalan membosankan seperti biasanya. Satu napas panjang ditarik sekuat tenaga, lalu diembuskan secara perlahan untuk menenangkan pikiran. Kulihat pepohonan di sekitar bergoyang pelan, kupu-kupu kecil terbang di sudut tanaman hias. Udaranya terasa sejuk sekali. … Semilir angin pagi bertiup pelan seraya motor berpaju di jalanan. Penumpang perempuan di belakang tak menjawab sedikit pun kecuali sebuah anggukan. Aku bertanya tentang rencananya sepulang sekolah. Andai dia tak memiliki agenda, tentu aku harus segera mengambil kesempatan. Hari ini adalah hari Valentine, dan aku sudah menyiapkan kejutan spesial untuknya. Sejak kecil kami selalu bermain bersama, hingga akhirnya kami resmi beranjak naik menjadi sepasang kekasih. Tiga hari berlalu sejak pertama kali aku menyatakan cinta padanya. Dan kini hubungan kami terasa baik-baik saja. Akan tetapi, tak ada yang berubah dari sikap dan penampilannya. Status seorang pacar tak menjadikannya harus berbenah diri untuk menjadi lebih baik. Sikap ketusnya senantiasa menghiasi, termasuk watak angkuh nan bossy yang kerap menjadi ciri khasnya. Terlihat dari kelakuannya di pagi hari ini, dia selalu memerintahku untuk mengantarkannya ke sekolah tepat di jam tujuh pagi. Walau sebenarnya tak menjadi masalah, karena aku dan dia masih ada dalam satu sekolah. “Jadi, nanti siang jam 2 kita ketemuan di Situ Buleud dekat patung badak ya,” ucapku meyakinkan. Gadis itu hanya mengangguk pelan, pandangannya menatapku lekat dengan ekspresi datar yang tak bisa kumengerti. Sebenarnya kami sering melakukan pertemuan di tempat dan waktu yang sudah ditentukan. Akan tetapi, kali ini statusnya menjadi lebih spesial karena pertemuan ini adalah kencan kami yang pertama— sebagai sepasang kekasih tentunya. Hari itu, jam sekolah terasa lebih lama dari biasanya. Berulang kali aku menatap jam dinding untuk memastikan waktu belajar telah tiada. Baru pada pukul satu siang, ketika lonceng berdentang keras— aku melesat meninggalkan semuanya. Mengebut menaiki motor Jupiter Z berwarna orange muda, aku kembali ke rumah untuk mempersiapkan diri dengan mengenakan kemeja biru tua. Tak lupa menyempatkan diri selama lima menit di kamar mandi, demi meyakinkan diri agar bisa tampil dalam penampilan terbaik. Dengan langkah tergesa aku menghampiri motor di depan rumah, kunyalakan mesinnya hingga meraung dan melesat meninggalkan tempat. Kutatap jarum pendek pada jam tangan di sebelah kiri, mendapati waktu sudah menunjukan pukul setengah dua. Panik pun semakin menjadi, beberapa kali aku nyaris tersungkur karena mengebut di tikungan tajam. Danau kecil nan unik di tengah kota, terasa sejuk dikelilingi pepohonan serta jalur kecil untuk pejalan kakinya. Tempat itu bernama Situ Buleud, salah satu icon dari kota Purwakarta. Di sinilah tempat kami hendak berjumpa, di bawah pintu masuk dihiasi sebuah patung hias berbentuk badak bercula satu. Kutatap jam kecil ditanganku, menyadari waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Pandanganku menyapu taman sekeliling, mencari keberadaan dia yang tak kunjung datang. Aku berusaha menenangkan pikiran, mungkin saja angkutan umum yang ia naiki terkendala macet atau suatu sebab. Lima belas menit berlalu, hatiku mulai gundah. Beberapa kali kubeli minuman dingin di penggir jalan sebagai pelepas dahaga. Pancaran sinar mentari terasa sangat menyengat, tak satupun kudapati awan melindungi di atas sana. Setengah jam terlewati begitu saja, jelas bahwa ini bukan hanya sekedar terlambat. Maka kuputuskan untuk menghubungi dia saja. Kuambil handphone kecil di saku untuk menghubungi dirinya. Namun nahas, Handphone itu layarnya berwarna gelap tak mau merespon. Tak lama bagiku untuk tersadar bahwa baterainya telah habis terkuras. Panik mengikuti tak lama kemudian, mataku jelalatan berusaha mencari counter hp pinggir jalan, kebanyakan dari mereka melayani jasa untuk charging handphone dalam kondisi darurat. Kutemukan salah satu dari mereka, beberapa memang ada yang sedang me-recharge hp-nya. Aku cari charger untuk hape bermerk Ben-Q. Akan tetapi, tak ada dari mereka yang menyediakan charger dengan bagian ujung yang panjang menyamping. Hape yang kumiliki bukanlah jenis hape mainstream yang beredar banyak di masyarakat, tipe charger-nya pun berbeda jauh dengan berbagai charger yang tersedia. Jelas sudah, aku tak memiliki cara untuk menghubungi dirinya. Jarum pendek di jam dinding nyaris menunjukan angka tiga, hampir sejam sejak waktu yang sudah kami tentukan. Diam di tempat tak akan menyelesaikan masalah, maka kuputuskan untuk kembali ke rumah demi mengambil sebuah charger-an. Kupacu motor untuk tiba di sana, butuh waktu hampir lima belas menit dalam menempuh perjalanan. Bolak balik ke Situ Buleud, menjadikanya setengah jam ketika aku kembali ke sana. Jarum panjang kini menunjukan pukuk empat kurang. Colokan charger kutempel pada sambungan listrik salah satu counter hape. Waktu dua menit untuk menyalakan benda itu terasa sangat menyiksa. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menekan tombol hijau, menelepon dia sedetik setelah hape menyala. Nada sambung terdengar tak lama kemudian, diikuti dengan suara merdu dari bidadari di seberang sana. Walau tentu saja, bidadari itu memiliki kosakata kasar bak seorang preman pasar. “Ada di mana lu b**o! Gue udah nungguin dua jam di sini!” Suara gadis itu menyeruak keluar, terdengar jelas walau tanpa menggunakan modus pengeras suara.   Dengan intonasi yang hati-hati aku memilih kosakata, “Aku jam dua sudah ada di sini, di depan pintu gerbang yang ada patungnya.” “Lah, aku juga di sini, emangnya sebelah mana sih?” Sontak aku celingak-celinguk ke sekeliling, berusaha mencari keberadaan dirinya, “Nggak ada, kamu ada di mana emangnya?” ucapku berusaha meyakinkan. “Aku di pintu gerbang!” bentaknya tak sabar. “Aku juga di pintu gerbang, tapi pintu gerbang yang mana?” balasku pelan. Barulah dia tenang seketika itu juga, “Pintu gerbang utara, dekat ke pasar.” Aku menjawabnya dengan satu tarikan napas, “Aku dari jam dua nungguin di pintu utama, yang ada patung badaknya. Kita kan janjian di sana…” Tak ada jawaban, sambungan itu pun terputus begitu saja. Aku pun bergegas menuju ke sana. Sejak awal kami memang tiba di waktu yang sama, hanya saja menunggu di tempat yang berbeda. Kususuri danau itu lewat jalan yang mengitarinya, menangkap sosok perempuan termenung sendirian dengan wajah yang masam. Motor orange yang kunaiki diparkirkan tak jauh dari sana, lalu dengan langkah gontai aku memberanikan diri untuk datang menyapa. “Hai..” Aku menyapa dengan suara yang kaku. Ia hanya menoleh, lalu mengalihkan pandangan sedetik kemudian, “b**o,” ucapnya pelan. Aku hanya menggelengkan kepala, sifat egoisnya cenderung menyalahkan orang lain, walau sebenarnya itu kekonyolan dari dirinya sendiri. Sejak awal kami memang sepakat untuk bertemu di pintu utama— dengan patung badak di bagian depannya. Namun di sinilah ia berada, di pintu kecil dari sudut terjaduh yang sulit untuk dijangkau. Susah payah kami betemu, kini ia menjawabnya dengan keheningan semata. Kami hanya duduk berdua, menatap daun pepohonan yang terbang ditiup angin senja. Gadis itu hanya diam seribu bahasa. “Kau lapar?” ucapku memecah suasana. Dia menjawab dengan sebuah anggukan. “Makan di KFC yuk?” Gadis itu mengangguk kembali. Kunaiki motor yang terparkir tak jauh darinya, sejenak termenung menatap helm yang hanya ada satu menempel di sana. Kami berdua hendak makan di tengah kota, di mana terdapat polisi buas yang siap datang mengejar. Dan kini, aku hendak memboncengnya hanya dengan satu helm, membiarkan rambut panjangnya berkibar ditiup angin. “Kau lupa membawa helm cadangan— b**o,” komentarnya ketus. Aku hanya tersenyum kering, menyadari kebodohan lainnya, “Bagaimana kalau makan sate marangi saja di Wanayasa? Di sana tak ada polisi yang akan datang mengejar.” Gadis itu hanya menjawab dengan sebuah dengusan, “Terserah.” Maka di sanalah kami menghabiskan waktu, memesan dua puluh tusuk sate kambing, lengkap dengan sup iga bening. Keheningan tak pernah lelah mengikuti, gadis itu tak pernah melontarkan kata untuk memulai sebuah pembicaraan. Andai aku mengambil inisiatif mengajak bercengkerama pun, jawaban yang muncul tak lebih dari sebuah gelengan dan anggukan. Orang lain mungkin akan berpikir bahwa dia seorang gadis bisu. Padahal bukan begitu sebenarnya, dia hanya terlalu bingung untuk berucap sesuatu. Gadis itu akan berubah menjadi cerewet andai aku bisa memancing hal menarik di pikirannya. Atau ketika menikmati saat memaki diriku yang terjebak masalah akibat betingkah bodoh. Sedari dulu dia memang selalu begitu. “Habis ini kita main ke Istora yuk,” ujarku seraya menyeruput sisa sop di mangkok. Dia menjawab dengan sebuah anggukan. Terkadang dia bersikap buas, namun sering pula berlaku imut seperti anak kucing. 8 tahun aku mengenalnya tak sedikit pun aku mengerti jalan pikirannya. Gadis itu menyimpan gelas es kelapa mudah yang sudah selesai diminum. Tiba saatnya bagiku untuk merogoh kocek membayar semua tagihan. Bagaimanapun juga, sudah menjadi derita dan kewajiban bagi pihak pria untuk mentraktir perempuan teman kencannya. Wajahku berubah ekspresi, meraba saku belakang yang terasa datar tanpa sedikit pun tonjolan. Seharusnya saku itu menggembung terisi sebuah dompet. Tempat di mana uangku terlipat—lengkap dengan KTP dan SIM C yang susah payah berhasil kubuat sebulan yang lalu. “Kenapa?” ucapnya menyelidik. Aku masih berusaha tenang, “Bukan apa-apa,” lanjutku sambil berusaha mencari. Kuraih jaket putih yang sejak tadi tersandar di kursi, memeriksa tiap sudut dari sakunya, hanya untuk mendapati tempat itu telah kosong tak berisi. “Dompetku …” ucapku bingung. “Hilang?” ucapnya, “Coba ingat-ingat lagi.” Aku memutar otak me-replay lagi ingatanku sejauh ini. Tadi siang ketika mencari counter untuk me-recharge hape dompet itu masih berada di saku celana. Lalu ketika pulang ke rumah untuk mengambil charger, lalu balik lagi ke Situ Buleud untuk mencas hape lalu … . “Ah…” aku baru teringat, dompet itu pasti tertinggal di counter hape— ketika terakhir kali membayar jasa listrik. “Tertinggal?” tukas gadis itu menyelidik, seolah bisa mengetahui apa yang sedang kupikirkan. Aku menjawab dengan sebuah anggukan. Kata, “Maaf” hanya terlintas di mulut tak lama kemudian. Dia mengembuskan napas pelan, sembari mengeluarkan dompet dari saku bajunya, “Ini, ambil saja untuk bayar makanan tadi.” Tak perlu kujelaskan betapa malunya saat ini. Berniat keren mentraktir di kencan pertama, namun harus berakhir dengan sebuah kekonyolan. Tak ada pilihan yang lain, jadi kuterima saja selembar uang seratus ribu dari tangannya. Selesai membayar, aku sontak memacu motor untuk kembali ke counter handphone di siang tadi. Menanyakan akan kabar dompet yang hilang, walau tentu saja kecil kemungkinan untuk bisa ditemukan. Dan memang begitulah hasilnya, tak ada seorang pun yang melihat. Andai memang benar terlihat, rasanya hampir mustahil bagi mereka untuk mengakuinya. Bahuku jatuh dengan lemas, berbalik menuju motor dengan pacarku yang menunggu di sana. “Gak ketemu?” selidiknya. Aku mengangguk, kami berdua hanya menghela napas. “Jadi sekarang bagaimana?” Tanya gadis itu, kali ini dia terlihat lebih proaktif.  “Kita main ke Istora,” jawabku singkat, “Mengikuti rencana sebelumnya.” Motor itu pun melaju kembali mengantar kami berdua, melewati beberapa g**g sempit demi menghindari pos polisi yang bertebaran di kota. Kami hendak pergi menuju tempat bernama Istora. Sebuah tanjung berisi bangunan tua tak terawat peninggalan sejak lama. Terletak dekat dengan bangunan utama bendungan Jatiluhur, pemandangan di sana jauh lebih indah dari sisi danau lainnya. Semilir angin bertiup pelan disertai pancaran mentari di sore hari. Langit kemerahan memberi warna orange cerah pada awan cirrus jauh di langit sana. Di sudut sebelah timur, kulihat malam sudah terbentuk dengan gemerlap bintang mengintai. Jarum pendek di jam tangan menunjukan angka enam, tanda hari beranjak gelap. Tempat ini sepi sekali, tak seorang pun berlau lalang di sekitar. Tidak ketika adzan sore hendak berkumandang. Kami berdua duduk di sebuah kursi dekat tebing, menatap langsung pantulan matahari dari riak kecil di permukaan danau. Kesunyian senantiasa mengikuti. “Hey,”ucapku memanggilnya. Dia menoleh. “Happy Valentine,” ucapku dengan senyum di wajah. Seraya menyerahkan sebuah kado kecil berisi cokelat pada dirinya. Ekspresinya tak banyak berubah, jauh dari kesan terkejut yang sudah kubayangkan. Mulutnya hanya bergerak pelan, lalu berucap dalam suara nyaris tak terdengar, “Terima kasih.” Aku menjawab dengan sebuah anggukan, “Mau dibuka sekarang?” Dia menggeleng, sembari mendekap kado itu di d**a, kulihat senyum kecil terukir di wajahnya. Oke, dia sudah berada dalam mood. Sekarang beralih ke misi selanjutnya. Hari ini aku harus mendapatkan first kiss dari dia. Agak memaksa memang, mencium gadis yang baru dikencani dalam satu hari itu terdengar egois. Tapi hey, dia kan temanku sejak kecil. Jadi yang kulakukan ini masih dalam batas sebuah kewajaran. Kupegang bahunya, gadis itu agak tersentak kaget. Terlebih akan keberadaan wajahku yang semakin dekat dengannya, menyosor begitu saja mengincar bibirnya. Dan dengan ini, kunyatakan bahwa aku sudah bisa mencium seorang gadis dengan sempurna. Namun gadis itu menggerakkan kepalanya, menghindar ke sebelah kiri dalam timing yang sangat sempurna. Butuh beberapa detik bagiku untuk bisa mencerna perbuatannya, lalu mengulangi niat awal untuk menyosor mengincar bibirnya. Percobaan selanjutnya kembali berakhir dengan sebuah kegagalan, gadis itu kembali menghindar dengan refleks bak seorang ahli bela diri. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri tiap kali aku berusaha menciumnya. Butuh lima kali percobaan sebelum akhirnya tangan gadis itu bergerak untuk menghalangi mulutku. Ekspresinya yang berubah dingin terasa menancap seiring dengan ucapan dari mulutnya, “Kau ini mau apa? Mulutku tak bisa kau cium begitu saja.” Membekulah tubuhku seketika itu juga, bingung tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia menarik lengannya dari bibirku, lalu menatap danau dengan mata yang sayu, “Kau boleh melakukannya..” “Eh?” aku terhenyak. Apa dia tadi memberikanku izin untuk menciumnya? Berarti sejak awal aku memang harus meminta sopan darinya. “Tapi nanti.” Gadis itu mengangkat telunjuknya memberi peringatan, “Nanti ketika kita sudah resmi menjadi suami istri..” Mataku terbelalak seketika itu juga. Dia sudah berpikir sejauh ini. “Kau.. boleh menciumku, bahkan melakukan apapun sesuka hatimu … jika nanti kita sudah terikat dalam hubungan yang resmi.” Hatiku terenyuh seketika, tentu saja diikuti dengan sebuah anggukan saat itu juga. Aku janji, suatu saat ketika kita sudah hidup bersama.   ... Adzan magrib berkumandang, kami beranjak dari sana. Tiba di parkiran, gadis itu berceloteh pelan, “Hey, kau sudah periksa bagasi motor?” Aku menggeleng, kubuka tempat itu seketika itu juga. Mendapati dompet berisi uang milikku tergeletak di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN