“Pacar Abang?” Ayah tampak bingung dengan perkataan Ibu, setahu dia Mikha belum punya pacar. Anak lelakinya itu bahkan belum pernah mengenalkan pacarnya pada keluarganya, Ayah bahkan tidak tahu apakah Mikha pernah berpacaran atau tidak.
“Iya. Ini! Siapa nama kamu tadi?” tanya Ibu yang semakin bersemangat.
Raya tahu dia sudah melakukan kesalahan. Walaupun selama ini dia tidak pernah salah namun insting Raya mengatakan bahwa dia melakukan kesalah.
“Ah, maaf sepertinya saya melakukan kesala—“
“Jangan pergi. Kali ini kamu akan aku perkenalkan,” potong lelaki itu tiba-tiba menahan lengan Raya agar tidak pergi dan membuat Raya yang terkejut sekarang.
“Ibu, Ayah, kenalkan ini Raya. Pacar aku,” ujar lelaki itu membuat kedua orang tua di hadapannya mereka itu berekspresi berbeda. Si Ibu tampak senang dan bersemangat sementara si Ayah tampak terkejut dan juga menyelidik.
“Benar kamu pacar Mikha?” tanya Ayah pada Raya.
Raya melirik sebentar ke arah Mikha dan dia tahu bahwa lelaki itu memohon hanya dengan pandangan mata. Raya kembali memandang Ayah dan akhirnya mengangguk pelan.
“Ya ampun, Abang. Akhirnya.” Si Ibu bertepuk tangan.
Ayah juga tampaknya sudah mulai senang, dia tersenyum lebar sambil menatap istrinya.
“Selama ini belum pernah ada wanita yang dibawa Mikha untuk dikenalkan pada kami. Melihat kamu sekarang dikenalkan, berarti hubungan kalian sudah lama ya?” tanya Ayah.
“Belum lama.” Raya menjawab.
“Iya, sudah.” Mikha menjawab.
Ayah dan Ibu kembali berpandangan, keduanya menjawab dengan berbeda.
Raya dan juga Mikha seketika merasakan gugup yang luar biasa.
“Oh, mungkin buat Abang hubungan mereka lama karena dia ‘kan belum pernah berpacaran sebelumnya,” jelas Ibu membuat Ayah ikut mengangguk-angguk.
“Raya ... lain kali ke rumah, ya. Abang, nanti ajak pacarmu ke rumah,” ujar Ibu.
Raya hanya bisa tersenyum kikuk karena untuk satu jam berikut dia dicerca berbagai pertanyaan yang membuatnya pusing. Dia sesekali memandang lelaki di sampingnya yang juga terlihat gugup juga.
Raya tidak habis pikir, jika ini bukanlah kesalahan bagaimana mungkin lelaki playboy sepertinya bisa sangat kaku seperti sekarang. Dia bersikap sangat berbeda dengan para playboy yang pernah Raya temui.
Raya lalu memperhatikan kedua pasangan di hadapannya ini. Raya menebak usia pernikahan mereka pasti sudah lebih dari 25 tahun tapi keduanya masih terlihat sangat mesra. Sesekali si pria akan menyuapi si wanita dan si wanita selalu memperhatikan si pria ketika makan. Bahkan mata mereka juga memancarkan cinta, berbeda jauh dengan kedua orang tua Raya yang selalu siap perang setiap kali mereka bertemu.
“Raya,” panggil Ibu yang menyadarkan Raya dari pikirannya yang melayang entah ke mana.
“Iya Bu?” Raya juga diminta untuk memanggil wanita itu dengan sebutan Ibu dan si pria dengan sebutan Ayah.
“Ibu minta nomor telepon kamu, dong. Biar Ibu bisa ajak kamu ke rumah tanpa harus ngomong dulu ke Abang. Soalnya kamu tahu sendiri, dia susah sekali bicara,” ujar Ibu.
Rasa tidak enak membuat Raya akhirnya memberikan nomor telepon pribadinya pada Ibu lelaki yang menjadi targetnya itu.
“Ibu awet muda sekali ya,” ujar Raya.
Ibu tampak malu-malu, “Ah, gak juga.”
“Soalnya pas tadi ngeliat, aku pikir pacarnya ....” Raya melirik ke arah Mikha.
“Hus, jangan muji Ibu terlalu tinggi gitu. Nanti turunnya susah,” ujar Ibu.
“Lah, memang benar kok. Ibu memang masih kelihatan muda sekali, makanya Ayah tambah sayang,” ujar si Ayah gombal membuat Ibu tersipu malu. Raya tersenyum melihat tingkah orang tua ini.
“Ke rumah yuk, Ra. Kenalan sama Adiknya Mikha. Namanya Mitha,” ujar Ibu lagi.
“Hah?”
Raya panik, tiba-tiba saja otak geniusnya tidak bisa dipakai berpikir alasan untuk menolak ajakan Ibu.
“Raya gak bisa, Bu. Dia harus kembali bekerja.” Mikha membuat alasan yang berhasil membebaskan Raya.
“Oh gitu. Ya sudah, kapan-kapan ke rumah ya, Ray. Nanti Ibu masakin soto ayam spesial,” ujar Ibu lagi.
“Iya, Bu.” Raya mengangguk sambil tersenyum kikuk.
“Kalau Mikha macam-macam sama kamu, bilang saja ke Ayah. Nanti Ayah yang akan kasih dia pelajaran,” tambah Ayah.
“Iya, Yah.”
“Ya sudah. Kalau begitu Abang antar Raya saja. Ibu dan Ayah biar naik taksi saja,” ujar Ibu membuat Mikha tidak percaya saat mendengarnya. Dia merasa dikhianati keluarga sendiri.
“Eh, gak apa-apa, Bu. Kebetulan saya bawa mobil,” tolak Raya. Jujur saja, dia sudah sangat ingin untuk kabur dari sana.
“Oh gitu. Ya sudah. Kami sebenarnya ingin ngobrol lebih lama Cuma kami harus segera pulang.” Ibu dan Ayah berdiri membuat Raya dan juga Mikha juga ikut berdiri.
“Eh, Bang. Kamu antar dong pacar kamu ke mobilnya, nanti Ayah sama Ibu tunggu kamu di mobil,” uajr Ibu saat melihat Mikha bergegas pergi.
Mikha menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
“Ya sudah, kami duluan ya, Raya. Jangan lupa, kalau Ibu telepon datang ke rumah, harus datang ya.” Ibu lalu melambai dan berjalan sambil bergandengan tangan bersama dengan Ayah.
Begitu melihat orang tuanya menjauh, Mikha langsung menarik lengan Raya membuat wanita itu langsung menghadap ke arahnya. Lelaki itu tampak marah membuat Raya sedikit takut.
“Sebenarnya kamu siapa dan mau kamu apa?” tanya Mikha.
“Kamu Mikha ‘kan? Mikha Handaya—“
“Handayono!” Mikha mengoreksi penyebutan nama belakangnya.
“Iya itulah pokoknya. Dengar, aku benar-benar minta maaf karena aku gak tahu kamu lagi sama Ibu kamu tadi,” ujar Raya.
“Jawab dulu pertanyaanku,” ucap Mikha.
“Hah, itu. Dengar, aku dapat klien yang menyuruhku untuk menjebak playboy seperti kamu dan—“
“Playboy?” Mikha terkejut mendengarnya.
Raya mengangguk.
“Aku?” Mikha menunjuk dirinya sendiri.
Raya kembali mengangguk.
“Aku bahkan belum pernah pacaran,” ujar Mikha jujur yang kali ini cukup sukses membuat Raya terkejut.
Raya mencoba mencari kebohongan dari ekspresi Mikha namun dia tidak mendapatkan apa pun di sana.
“Kamu terlalu polos untuk ukuran pria tampan,” ujar Raya.
“Aku tidak butuh komentarmu.” Mikha melambaikan tangannya di depan wajah Raya.
Raya memasang wajah cemberut.
“Aku mau minta maaf karena membuat kamu tidak nyaman karena Ayah dan Ibu,” ujar Mikha.
Raya mengangguk.
“Ayahku sakit jantung dan aku takut kalau dia akan kenapa-kenapa karena terlalu terkejut,” ujar Mikha.
“Jadi itu alasan kamu bilang kalau aku pacar kamu?” tanya Raya.
“Setidaknya alasan aku lebih masuk akal daripada alasan kamu,” sindir Mikha.
“Kamu galak sekali,” ucap Raya lagi.
“Aku bisa saja melaporkan kamu karena melanggar privasi orang lain. Kamu seperti seorang stalker,” balas Mikha membuat Raya terdiam.
“Siapa pun yang menyuruh kamu untuk mengikuti aku, dia pasti sudah gila,” lanjut Mikha.
***
“Raya orangnya menyenangkan ya,” ujar Ibu saat mereka sedang makan malam.
“Raya?” tanya Mitha.
Mikha memutar bola matanya, ini akan menjadi percakapan panjang yang melelahkan kalau sudah Mitha yang berbicara.
“Iya. Pacar abangmu,” jawab Ibu.
“Pacar?” Bola mata Mitha hampir keluar saking kagetnya dia.
“Iya. Tadi dikenalkan ke Ayah sama Ibu,” lanjut Ibu.
“Abang punya pacar? Kasihan sekali anak perempuan itu. Dia pasti menderita.” Mitha menggerakkan tangannya secara dramatis seperti pemain teater.
Mikha yang sudah biasa melihat itu hanya mengabaikan Adiknya itu.
“Hus! Jangan gitu. Kita tuh harusnya senang, akhirnya ada yang mau sama Abang kamu ini,” ujar Ibu yang akhirnya malah membuat mereka semua tertawa sementara Mikha hanya bisa pasrah.
“Apa pekerjaan pacar abang?” tanya Mitha lagi.
Mikha mendadak bingung sekaligus kesal. Adiknya itu suka sekali membuat Mikha berada dalam kesusahan.
“Ah ... itu ... dia,” Mikha mencoba merangkai kata.
“Mereka tuh jadiannya baru,” ujar Ibu.
“Ya tetap saja, masa pekerjaannya saja gak tahu,” ujar Mitha yang semakin membuat Mikha ingin mencekiknya saat itu juga.
“Mungkin ... mereka kenalan lewat aplikasi-aplikasi itu. Apa namanya ... tindir? Sindir? Sinder?” Ibu mencoba mengingat aplikasi yang pernah Mitha jelaskan padanya.
“Sudah! Berhenti membicarakan dia!” ujar Mikha yang lalu beranjak dari meja makan.
“Bang, jangan lupa ajak pacarmu hari minggu ini. Kita ada arisan keluarga di rumah. Lumayan, dia bisa sekalian kenalan sama Om Tante kamu,” ujar Ibu.
“Dia sibuk, Bu.” Mikha menjawab asal membuat Ibu mencebik.
Wanita itu lalu teringat sesuatu. Dia pergi ke kamar untuk mengambil ponselnya dan tersenyum melihat kontak Raya yang tadi dia simpan.
“Calon menantu yang sudah lama aku tunggu nih.” Ibu segera menekan tombol panggil.