"Bukannya tidak mau bergerak. Ini hanyalah cara halus."
~Arial~
Gadis itu turun dari bus. Berjalan menyusuri lorong koridor halte yang berakhir di trotoar. Arial sedikit menyunggingkan senyumnya. Nita tidak menyadari sedikitpun jika ada seseorang yang berjalan membuntutinya sejak ia ke dalam bus.
Hingga di depan gerbang sekolah Arial memilih untuk mampir ke warung Kang Tri terlebih dahulu.
Kenapa senyum-senyum sendiri? " tegur Kang Tri dari belakang.
Jantung Arial nyaris bunuh diri. “Kang Tri. Ngagetin aja,” balas Arial kesal.
“Lagian, pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri,” sahut Kang Tri.
Arial terkekeh. "Biasa lah, Kang," jawabnya.
"Kang Tri jadi khawatir." Kang Tri berubah menjadi wajah menjadi cemas.
Kenapa? Kedua alis Arial nyaris tertaut.
"Takutnya teh kamu kena sawan," jawab Kang Tri terlalu.
"Sawan Mendes," asal Arial.
"Itu Shawn Mendes," sahut Elsa tiba-tiba berdiri di samping Arial.
Kini jantung Arial nyaris bocor. "Anjir," rutuknya kesal menatap tajam Elsa.
Alis Elsa mengerut heran. Kenapa lo? "
Arial menggeleng gemas.
"Dih." Elsa menatap Arial dengan aneh. "Kayak orang ketauan maling aja lo pake kaget-kagetan segala!" serunya kemudian.
Arial berdecak sebal. Ia memilih pergi bekerja harus berdebat dengan Elsa.
"Yeeee malah pergi!" Mata Elsa mengikuti langkah Arial. "Heran gue," rutuknya.
Sabar, Neng. Masih pagi. Jangan marah-marah, ”timpal Kang Tri.
Elsa tidak merekamnya. Niat untuk membeli nasi uduk buatan istrinya Kang Tri ia batalkan dan lebih memilih untuk segera masuk ke dalam area sekolah.
"Neng, gak beli nasi uduk ?!" seru Kang Tri.
"Libur," balas Elsa tanpa membalikkan badannya.
Kang Tri menghembuskan napasnya perlahan. "Mungkin belum rejekinya." Kemudian menoleh pada sang istri.
Sang istri hanya tersenyum hangat.
***
Kevin duduk manis di samping Arial. Hari ini ia merasa janggal dengan Arial yang tiba-tiba memilih untuk nongkrong di kantin dengan durasi yang lebih lama. Biasanya Arial tidak pernah melebihi batas waktu sepuluh menit untuk duduk di kantin. Cukup ketika ia udah harus makan siang karena tidak membawa bekal.
“Tumben betah di kantin, lo,” komentar Angga sebelum meminum softdrink-nya.
Arial menunjuk seseorang dengan dagunya ke sebelah kanan memberi tahu siapa yang sedang ia lihat pada kedua sisi. Cewek konyol itu.
"Oh." Kevin ber-oh ria lalu kembali duduk manis menatap gorengan.
"Lo mau?" Kevin menoleh. Seperti ada sambaran api yang menghanguskan otak Arial. Ambil aja. Gue yang bayar, "lanjut Arial bayar.
"Lagi baik nih orang," celetuk Angga tanpa dosa mengambil satu gorengan. Semuanya, Vin. Ambil. Semuanya kalo perlu, "perintah Angga antusias.
"Oke dah!" setuju Kevin bersemangat memungut banyak gorengan.
"Pelan-pelan kali. Kayak gak pernah makan gorengan aja, lo," cibir Arial.
Kevin kegiatan memasukan gorengan kedalam mulutnya. "Udwah dweh. Dwarwi pwadwa lwo cwumwa ngwelwiatwin dwia. Mwendwing lwo swampwerin dwia," balas Kevin di sela-sela makan gorengannya.
“Lo ngomong yang bener, napa? Telen dulu tuh gorengan,” protes Angga.
"Tinggalin aja dah. Bayar sendiri lo!" tambah Arial segera pergi dari tempatnya. Disusul dengan Angga di belakangnya.
Buru-buru Kevin berlari goreng bakwannya. "Eh, monyet! Awas lo ya!" geram Kevin hanya bisa pasrah melihat langkah dua sohibnya yang semakin menjauh. "Ck! Duit gue tinggal dua rebu, again," keluhnya menatap recehan bergambar bunga melati.
***
"Lo duluan aja. Gue mau ke lab komputer dulu," ucap Arial pada Angga ketika sampai di pertigaan koridor menuju kelas XII.
Angga mengangguk. "Ya udah, gue duluan," balasnya berlalu meninggalkan Arial.
"Khem!" Suara berdehem khas cewek terdengar dari belakang. Arial menoleh.
"Lo lagi, ngapain sih lo ?!" sentak Arial setelah tahu siapa cewek yang berdiri di balik punggungnya.
Elsa melipat untuk kepentingan di depan d**a. Lalu mencampakkan tatapannya kearah lain. "Musuh banget sih lo sama gue. Kemaren-kemaren ngajak ujan-ujanan. Sok-sokan romantis. Sok-sokan dramatis. Cih!"
Arial mendengus sebal. "Hm." Ia segera berlalu dari hadapan Elsa.
"Eh, si k*****t! Malah ninggalin gue!" geram Elsa segera mengejar langkah Arial.
"Ngapain sih lo ngikutin gue?" tanya Arial sadar bahwa Elsa pasti akan menyusulnya. Lebih tepatnya membuntutinya.
"Gue cuma mau bilang. Balikin toples-toples gue!" jawab Elsa menatap tajam Arial.
Arial langkahnya. Ia Membalikkan seratus delapan puluh derajat menatap Elsa. "Lo kena sawan, El?" Arial menatap Elsa dengan penuh rasa kasihan.
"Udah deh, lo. Gak usah basa-basi. Balikin toples-toples gue!" pekik Elsa lagi meluapkan sisa rasa kesalnya pada Arial.
Arial mengembuskan nafaysnya secara perlahan. Mengontrol rasa sabarnya agar tidak meledak begitu saja. "Iya. Bawel!" Ia berlalu dan batal untuk pergi ke laboratorium komputer.
"Eh, Arial!" pekik Elsa lagi.
Arial tak acuh dan tetap melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas. Apalagi bel masuk akan berbunyi beberapa menit lagi.
"Bener-bener tuh anak!" gerutu Elsa setelah punggung Arial menghilang.
Sesampainya di koridor kelas. Terlihat Angga dan Kevin sedang duduk di bangku semen depan kelas padahal sudah berbunyi sejak satu menit yang lalu, namun dua sohibnya itu masih ada di luar kelas.
"Belum masuk, lo?" tegur Arial pada dua sahabatnya.
"Liat deh di dalem ada siapa," tunjuk Angga meminta izin Arial untuk segera masuk ke dalam ruang kelas.
"Siapa?" tanya Arial penasaran.
"Lo keduluan tuh! Cek gih," tambah Kevin malas menjawab pertanyaan Arial. Ia memilih untuk memberikan kode keras dari pada harus menjelaskan.
Rasa bingung dan penasaran mengisi pikirannya. Arial menurut perkataan kedua sahabatnya. Ia masuk ke dalam kelas.
Deg!
Seperti baseball ada hantaman bola. Terlihat dengan jelas Gilang dan Nita sedang sok romantis belajar bersama. Entah apa yang mereka bahas yang pasti saat ini Arial merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Nita tengah asyik tertawa karena penjelasan Gilang yang terdengar ada sedikit bumbu humor dan Gilang yang selalu berusaha mencari tahu di setiap kesempatan sekecil apapun itu.
Arial berjalan mendekat. Udah, Lang. Udah masuk. Pacarannya nanti lagi, ucapnya santai, mengusir Gilang dari tempat duduknya secara alami.
Terdengar ketawa-ketiwi dari penghuni kelas XII IPA 1. Mereka seperti menertawakan usaha Gilang untuk menghanyutkan gelar jomblonya.
"Yaelahh. Santai Boss, sebentar lagi kok," balas Gilang sedikit kesal. Ia tidak mau martabatnya jatuh begitu saja dengan sia-sia.
"Gue liat kelas lo udah masuk tuh," sahut Arial tetap datar dan santai membuat alunan ketawa-ketiwi dari teman-berita yang terus berlanjut.
Gilang menatap semua orang yang menertawakannya dengan tatapan yang amat menindas. Berhasil membuat semuanya kembali diam dan pura-pura sibuk mempersiapkan bukunya masing-masing untuk pelajaran selanjutnya.
Gilang menatap Nita, berpamitan dengan santun. "Nit, gue ke kelas ya?" Lalu mengembangkan senyuman termanis yang ia miliki. Tapi masih lebih manis senyuman milik Arial.
"Iya." Nita mengangguk dan senyuman Gilang.
"Nanti bisa dilanjut di perpustakaan kok," tambah Gilang.
“Iya, Lang,” sahut Nita menghargai.
Gilang pergi dari tempat Arial. Ia sempat memicingkan matanya dengan penuh petunjuk arah pada Arial. Arial .nya dengan tak acuh Membenci atau suka adalah haknya. Hak setiap orang. Begitulah Arial.
Arial duduk di bangkunya. Lirikan mata Nita cukup menusuk meski sedikit. "Nggak usah lirik-lirik gitu," ketus Arial tanpa menoleh.
Mendengar ucapan Arial yang sangat berbeda, Nita segera menegakkan tubuhnya dan menghadap ke arah papan tulis.
"Jangan cuek-cuek. Diembat orang, tau rasa lo!" bisik Angga penuh peringau.
Arial mendengus sebal. Malas jika harus dengan hati. Terlebih jika dua sohibnya harus ikut campur.
Biarin aja. Biar tau rasa dia, ”sahut Kevin pelan menepuk bahu Angga sebelum menyambar tempat duduknya.
Arial wujud pandangannya ke kanan, orang yang mendengar ocehan dua sahabatnya sejak orok. Namun dengan tepat pandangannya menangkap tatapan Nita yang juga menatapnya kembali. Tatapan Nita terlihat bingung. Arial menatap Nita dengan datar dan lekat tanpa berkedip sedikitpun. Wajah datarnya menunjukkan ketegasan dan peringatan.
Buru-buru Nita kembali memfokuskan perhatiannya pada sang guru yang baru saja memasuki kelas.
"Selamat siang."
"Siang."
Arial serem juga, ya? Batin Nita merasa tertindas dengan pandangan Arial. "Tapi dia ganteng," gumamnya pelan seraya mengembangkan senyum di bibirnya.
Suasana yang hening dan tertib membuat semua mata tertuju pada Nita. Namun tidak dengan Arial yang sudah jelas-jelas mendengar ucapan Nita meski.
"Nita. Kamu kenapa?" tanya Pak Tora heran dengan kelakuan siswinya.
Nita mendongakkan menatap menatap Pak Tora. "Nggak apa-apa kok, Pak," balas Nita yang menahan rona merah di pipinya agar tidak muncul begitu saja.
"Bilang aja. Saya juga tau kalau saya ganteng," lanjut Pak Tora lagi disambut dengan tawa mengisi isi seluruh sudut ruang kelas.
"HAHAHAHA!!!!!"
"HHHHHUUUUUUUU !!!!!!"
Nita bergeming. Lalu menundukkan kompleksitas perumahan yang berubah seperti delima.
Diam-diam Arial mengembangkan senyum permanennya. Rasanya seperti ada hati yang melonjak kegirangan ketika itu.
"Arial," panggil Pak Tora.
Semuanya diam. Tidak ada sorakan apalagi tertawaan.
Arial wajahnya.
"Ketawa ya ketawa. Gak usahased gitu," ucap Pak Tora keras langsung disambut dengan sorakan meriah dari para penggemar.
"HHHHHUUUUUUUU !!!!!!!"
"Mampus, kena lo!"
Arial menoleh ke belakang. Menatap orang yang berteriak dan memakinya. Elsa.
Elsa segera memalingkan wajahnya ke arah lain, seakan tidak melakukan apa-apa. Tetapi pandangan Arial terus menusuk penyamarannya, meruntuhkan tembok pertahanan yang dibangunnya beberapa detik yang lalu. Merasa kalah, Elsa memberanikan diri lalu untuk menghapus tatapan Arial nyengir kuda selebar-lebarnya.
"Stres," tajam Arial pelan namun jelas.
Elsa mencibikkan bibirnya.
***
Bel pulang sekolah berkumandang setelah empat jam pelajaran berhasil membuat otaknya senam aerobik.
Satu persatu warga kelas XII IPA 1 keluar dari kelasnya, meninggalkan bangkunya masing-masing yang akan terasa sangat menyengat jika diduduki kembali.
"Pusing dah gue!" keluh Kevin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia menganggap Pak Tora siap membunuhnya secara perlahan-lahan dengan mata pelajaran matematika yang mengajarnya.
"Gue kan udah bilang. b**o jangan dipelihara," sahut Angga pedas.
Kevin membelalakkan matanya. Malas dengan ocehan yang Angga lontarkan. "Sok lo!" ketus Kevin segera menjalankan Arial. "Al, liat noh Angga," adunya manja pada Arial.
"Gue bukan Bapak, lo," sungut Arial bangkit dari duduknya setelah membereskan semua peralatan sekolah. Lalu segera bangkit dari tempat duduknya.
Kevin mendesis geram. Ia menatap Angga yang semakin merasa menang.
Angga menyeringai lebar. Meledek Kevin dengan ekspresi paling menyebalkan yang dimilikinya.
Daripada harus melihat Angga yang sangat menyebalkan, Kevin segera menyusul Arial yang terlihat sedang berdiri di ambang pintu dengan tatapan seperti menerawang masa depan.
Dengan seksama Kevin memperhatikan Arial yang sedang memandang lurus ke arah dua orang yang berjalan lebih jauh. Dalam beberapa detik, Kevin mengerti makhluk apa yang menjadi sorotan mata tajam Arial.
"Tuh kan, keduluan," ucap Kevin merangkul Arial dari samping.
Arial mengembangkan senyum. Biarin aja, ucapnya cuek kembali melanjutkan langkahnya yang sempat sampai.
"Halahh taek lo!" cibir Kevin mendorong Arial dengan sisa tenaga yang ia miliki.
***
Semburat jingga menerpa wajahnya. Arial sedikit menyipitkan matanya karena terpaan sinar matahari. Ia memandang dua orang yang sedang tertawa di kejauhan --- di seberang jalan tepat di bawah kanopi hijau halaman depan sebuah kafe. Ada sebuah perasaan seperti sedang mencabik-cabiknya tanpa ampun. Namun Arial belum benar-benar bisa memahami perasaannya. Perasaannya cukup mati.
Arial mengembuskan napasnya perlahan. Ia kembali meminum jus apel yang pesanannya. Perasaan di dalam dadanya semakin bergejolak dan panas. Arial memutuskan untuk pergi dari tempatnya dan menemui Nita.
"Asyik nih?" rusuh Arial sesampainya berdiri di samping Nita.
Nita dan Gilang wajahnya. Ingin melihat siapa pemilik suara yang mengganggu obrolannya. Gilang menatapnya dengan pandangan tidak suka.
"Kurang kerjaan lo!" sindir Gilang merasa jengah.
Arial mengangkat kedua alisnya lalu menatap Nita. "Kalo lagi berduaan yang ketiga setan," celetuknya.
Nita yang terlihat netral merasa tidak terusik. Ia menatap Gilang.
"Iya. Setannya lo!" sembur Gilang.
Arial tertawa. Gadis di sampingnya pun ikut tertawa. "Tau aja lo," balas Arial.
Gilang tak acuh. Lalu mendengus dingin.
Nita menatap Gilang dengan perasaan tidak enak.
"Ya udah, gue cabut," pamit Arial menepuk pundak Gilang.
Nita hanya diam tidak memberi respon apapun.
Arial berlalu dengan perasaan sedikit lega. Terlebih dugaannya benar bahwa Gilang sedang berusaha menghentikan Nita. Ia memilih duduk di dalam kafe dan dekat dengan jendela bening. Ponselnya bergetar membuat rasa geli di dadanya. Nama Mamanya tertera dengan jelas di layar ponsel.
"Iya, Ma," sahut Arial untuk Wulan di seberang telepon.
"Kamu dimana sekarang?" tanya Wulan dengan sedikit cemas.
"Arial lagi di kafe, Ma. Mama mau nitip apa?" jawab Arial kemudian menawarkan makanan untuk Wulan agar tidak terlalu cemas jawabannya alias menyogok halus.
"Mama nggak mau nitip apapun. Lebih baik sekarang kamu pulang," pinta Wulan karena waktu sudah hampir pukul setengah petang dan Arial belum juga pulang.
"Iya. Bentar lagi Arial juga pulang kok, Ma," balas Arial sangat menenangkan Wulan.
***
Nita mengedarkan pandangannya. Obrolan Gilang terasa sangat panjang sampai sedikit bosan. Ia ingin cepat-cepat pulang.
Pandangannya berhenti, ia menatap Arial yang sedang berbicara dengan lawannya di ponsel. Tak lama kemudian laki-laki itu menyimpan ponselnya kembali di dalam saku kemeja bersamaan dengan kedatangan seorang gadis yang terlihat familiar meminta ijin untuk duduk bersama.
***
"Siapa yang nyuruh lo duduk," ganas Arial menatap Elsa yang datang entah darimana.
Elsa mendesis. "Issshhh, masih kesel aja," balasnya teringat dengan kesalahannya saat awal jam mata pelajaran Pak Tora.
"Terserah lo dah!" serah Arial malas.
"Lo di sini lagi ngapain?" tanya Elsa ramah.
“Suka-suka gue dong mau ngapain,” ketus Arial.
"Ih! Kok nyolot sih," kesal Elsa menyesal telah mengeluarkan suara halusnya.
"Baper lo!" sahut Arial datar pergi meninggalkan Elsa.
***
Gilang larangan kendaraannya tepat di halaman rumah bergaya naturalisme. Tidak berpagar, rumput hijau dan banyak bunga ditumbuhi serta ada dua pohon besar di kanan dan kiri halaman. Terlihat asri.
Gilang mengedarkan pandangannya keseluruh rumah yang ada di komplek tersebut. Semuanya tidak berpagar dan dijaga ketat oleh satpam. "Rumah lo di sini?" tanya Gilang heran.
Nita mengangguk sambil tersenyum. Ia segera turun dari motor sport Gilang.
"Deket sama Rumah Elsa, dong?" lanjut Gilang.
Nita mengangguk lagi. "Iya, deket. Rumah Elsa yang itu." Nita menunjuk ke arah satu-satunya rumah yang tidak ditumbuhi bunga-bunga hanya ditumbuhi satu pohon rindang yang tingginya tidak lebih dari lima meter, meskipun begitu terlihat lebih indah dari yang lainnya.
Gilang mengangguk paham. “Ya udah. Gue pulang dulu,” pamitnya.
"Iya," balas Nita.
Gilang kembali menyalahkan mesin motornya kemudian melesat.
Nita menatap punggung Gilang yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang. Ia melangkahkan kakinya. Komplek perumahannya begitu sepi, mungkin karena matahari sudah lebih condong ke barat dan hanya tersisa setengahnya.
"Maaf gue ngikutin lo!" seru Arial tiba-tiba. Ia berdiri di atas jalan paving blok yang mengarah ke pintu rumah Nita.
Nita tersentak langkahnya dan sempat mematung di tempatnya untuk beberapa detik. Harap-harap cemas ia Membalikkan tubuhnya.
"Lo nggak maafin gue?" Arial menaikkan keningnya.
Untuk sedetik Nita terdiam. Kenapa lo ngikutin gue? " balas Nita detik berikutnya.
Biar gue tau rumah lo, jawab Arial jujur.
Nita terdiam. Diam seribu bahasa. Pikirannya sibuk mencerna semua ucapan Arial.
Gue ngikutin lo dari pagi, lanjut Arial. "Dari lo berangkat sekolah naik bus sampe pulang sekolah nebeng si Gilang," tambah Arial lebih rinci.
Nita masih terbengong dibuatnya.
Arial mengembangkan senyumnya. "Ternyata rumah kita nggak jauh," ucap Arial seperti menemukan berlian paling berharga.
"Jadi lo nguntit gue?" tangkap Nita menyimpulkan kelakuan Arial seharian ini.
Arial menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya begitulah," balasnya. Detik berikutnya ponsel Arial berbunyi dan nama panggilan Iskandar muncul di layar ponselnya. Arial segera mengangkat telepon tersebut.
"Hallo, Pa," jawab Arial.
"Kamu dimana sekarang?" tanya Iskandar sarkastik.
"Di-di rumah temen, Pa," jawab Arial cukup kaku karena pertanyaan Iskandar terdengar cukup galak.
"Nggak usah pulang sekalian!" ucap Iskandar langsung menutup teleponnya.
Arial terdiam menatap layar ponselnya. Tapi tak lama kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Nita. "Gue balik," pamit Arial singkat berlalu tanpa sepatah kata lagi dan tanpa menunggu jawaban dari Nita.
Nita terbengong ditempatnya.