Niat hati ingin membuat kejutan dengan pulang secara diam-diam, Ravi malah mendapatkan fakta bahwa istrinya membawa pria lain ke kamar yang harusnya hanya mereka berdua saja yang boleh masuki.
Di kolong ranjang, Ravi bersembunyi dan berusaha diam jangan sampai mengeluarkan suara. Sedangkan di atas ranjangnya … Monik alias istri Ravi sedang melakukan aktivitas panas penuh hasrat dengan pria lain.
Desahan, erangan dan kata-kata nakal terus terdengar seiring suara khas dua insan yang melakukan hubungan selayaknya suami dan istri. Namun, sebisa mungkin Ravi tetap diam meskipun amarahnya sudah sangat menjadi-jadi.
“Kamu tahu, apa yang membuatku nggak mengerti dengan jalan pikiranmu?” Itu adalah suara seorang pria yang merupakan selingkuhan Monik. Mereka mengobrol sambil tetap saling memberi kepuasan satu sama lain.
“Ahhh,” desah Monik. “Memangnya apa yang membuatmu nggak mengerti dengan jalan pikiranku, Beb?”
“Kenapa kamu mau menikah dengan Ravi kalau secara fakta kamu nggak mencintainya?”
Monik terkekeh. “Hmm, gimana ya jelasinnya? Intinya pria yang aku mau itu sebenarnya Bima, tapi Bima udah punya calon istri dan dia setia banget. Pernah aku goda tapi gagal. Dia sama sekali nggak tertarik sama aku.”
“Akhirnya mau nggak mau … kamu incar Ravi, begitu?”
“Jujur nih, secara look aku lebih suka Ravi. Dia lebih manly daripada Bima. Tapi secara isi rekening … Bima menang di atas segalanya. Sayangnya Bima bucin banget sama pacarnya, bahkan aku dengar mereka mau nikah. Ah, Sara beruntung bangeeet.”
“Usia suamimu itu berapa, sih?”
Monik tidak langsung menjawab dan malah mendesah beberapa kali sampai akhirnya berkata, “Dua delapan. Sama kayak Bima. Ahh, ini gila. Enak banget. Percepat, Beb.”
Bukankah Ravi se-kuat itu? Ia hanya diam saja padahal tahu istrinya sedang berhubungan badan dengan pria lain. Wajahnya memang sudah merah menahan amarah, tangannya pun siap melayangkan bogem mentahnya, hanya saja seolah ada sesuatu yang membuatnya menahan diri sehingga tetap bersembunyi.
Bahkan, sepertinya saat ini Monik dan selingkuhannya sudah selesai dengan aktivitas mereka. Namun, keduanya tetap di atas ranjang dan malah melanjutkan obrolan tentang Ravi dan Bima.
“Aku pikir kalau nikah sama Bima hidupku bukan hanya terjamin dengan masa depan cerah, secara dia ini anak konglomerat sekaligus ketua partai. Siapa yang nggak mau coba? Dia anak orang terpandang dan berkuasa,” ujar Monik menyambung pembicaraan yang tadi. “Sialnya Bima lebih memilih Sara. Terpaksa aku sama Ravi deh. Aku sempat mempertimbangkan, setelah dipikir-pikir … meskipun nggak se-kaya Bima, tapi isi rekening Ravi ini lumayan juga loh.”
“Suami kamu itu anak buahnya Bima, kan?”
“Mereka sahabat dari kecil karena Ravi ini salah satu anak asuh keluarganya Bima yang disekolahkan hingga perguruan tinggi sama mereka. Dan sejak dulu hingga sekarang Ravi kerja di samping Bima sebagai asistennya.”
“Jadi kamu pengen bosnya malah dapat asistennya,” kekeh selingkuhan Monik.
“Enggak masalah. Apalagi Ravi ini hot banget di ranjang. Gilaaa.”
“Sama aku hot mana?”
“Aww! Tangan kamu nakal, Beb,” balas Monik.
“Kalau suami kamu memang hot, kenapa kamu bawa aku ke ranjang kalian ini?”
“Ahh … Beb! Jari kamu, ya ampun!”
“Jawab dong pertanyaan aku barusan.”
“Soalnya Ravi, kan, lagi di luar kota. Jadi aku bisa sama kamu dulu, Beb.”
“Mau ronde kedua? Akan aku buktikan jauh lebih hot dari suamimu.”
---
Dengan keringat membasahi wajah dan tubuhnya, Ravi yang semula tidur di sofa spontan membuka matanya.
Mimpi buruk itu datang lagi….
Ya, bukan sekali dua kali Ravi memimpikan kejadian hampir setahun yang lalu saat dirinya memergoki sang istri melakukan hubungan badan dengan pria lain. Tak bisa dimungkiri, mimpi seperti itu membuat tidur Ravi tidak nyenyak karena harus terbangun pada hampir tengah malam seperti ini.
Padahal setelah kejadian itu mereka langsung bercerai dan Ravi sudah menyandang status duda. Anehnya, mimpi sialan itu terus datang seolah sedang menghantuinya.
Ravi kemudian mengambil posisi duduk di sofa bed yang ada di kamarnya. Sofa bed itu menjadi tempat tidur pria itu semenjak memergoki Monik berselingkuh. Bukannya apa-apa, Ravi kesulitan untuk tidur di ranjang pasca kejadian sialan itu.
Bahkan tidur di sofa saja masih terkadang memimpikan kejadian itu, apalagi jika tidur di kasur, dampaknya akan lebih parah. Itu sebabnya hampir satu tahun ini sofa adalah tempat yang memungkinkan Ravi bisa tidur jauh lebih berkualitas jika dibandingkan dengan di kasur.
Tangan Ravi menggapai ponselnya yang diletakkan di meja. Ada banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Ravi tentu tidak mendengarnya karena ia termasuk ‘kebo’ jika sudah tertidur. Maksudnya, tidak akan kedengaran sekalipun ada yang berteriak. Itu sebabnya panggilan dan pesan masuk itu tak terdengar olehnya.
Sejenak Ravi menoleh ke arah jam dinding di kamarnya, waktu menunjukkan pukul sebelas malam.
“Ada apa Pak Hadin menghubungiku jam segini?” gumam Ravi.
Ravi kemudian menelepon balik Pak Hadin, pria paruh baya yang sudah seperti ayahnya sendiri. Pak Hadin adalah ayah kandung Bima yang sudah menganggap Ravi seperti anak sendiri.
Selama beberapa saat, Ravi menunggu sampai panggilan diangkat. Sampai kemudian, suara Pak Hadin di ujung telepon sana mulai terdengar. Ada apa ini? Suaranya tampak sedih, tidak seperti biasanya.
“Kamu di mana, Rav? Apa kamu sudah pulang?”
“Saya langsung pulang ke rumah, Pak. Soalnya Bima bilang ingin bertemu calon istrinya."
“Bima kecelakaan, Rav.”
“A-apa?!” Sontak Ravi langsung terkesiap. “Kecelakaan?”
“Jenazahnya sedang diurus pihak rumah sakit. Bisakah kamu ke sini sekarang?”
Ravi dua kali lipat lebih terkejut. “Maksud Pak Hadin … jenazah siapa?”
“Bima meninggal, Rav. Bima meninggal,” pungkas Pak Hadin dengan suara bergetar.
Refleks, Ravi menjatuhkan ponselnya.
Bima meninggal?