“Kamu tahu pamali?!”
“Bu….”
“Sara, kamu ini dibilangin malah nggak nurut! Bukannya saya udah ingetin sampai berkali-kali kalau pulang kerja jangan pergi ke mana-mana apalagi perginya jauh. Pamali! Kamu lupa sebulan lagi mau jadi pengantin?!” omel Rinda di ujung telepon sana. Rinda adalah ibu tiri Sara.
“Aku ingat, Bu. Tapi aku perginya cuma sebentar, kok.”
“Mau sebentar atau lama. Tetap aja pamali! Cepat pulang sekarang! Cucian piring juga numpuk, tuh.”
“Ibu nyuruh pulang bukan karena pamali atau takut terjadi apa-apa sama aku, kan? Melainkan mau nyuruh aku cuci piring.”
“Awas aja, dalam setengah jam kamu nggak pulang….”
“Sara perginya sama saya, Bu,” potong Bima yang langsung membuat Rinda terdiam. Suara Bima benar-benar teduh dan menenangkan.
Bima memang sengaja menepikan mobilnya lalu mengambil alih ponsel di tangan Sara. Bima merasa jika dirinya yang bicara dengan Rinda, semua masalah selesai karena calon ibu mertuanya itu tidak mungkin melarang mereka pergi.
“Oh, ke-kenapa Sara nggak bilang kalau perginya sama Nak Bima? Kalau begitu hati-hati, ya. Jangan malam-malam pulangnya.” Kentara sekali Rinda menjadi canggung.
Benar, kan, dugaan Bima? Calon ibu mertuanya itu langsung ciut dan seolah tak bisa berkutik. Cara bicaranya pun sampai terbata.
Sejenak Bima melirik jam di tangannya. Masih pukul delapan malam.
“Saya antar Sara pulang nggak lewat dari jam sepuluh ya, Bu.”
“Sekali lagi hati-hati ya. Ingat, kalian adalah calon pengantin.”
Setelah sambungan telepon terputus, Bima menyerahkan ponsel Sara kembali.
“Makasih ya, Mas,” kata Sara.
“Berterima kasihlah dengan cara menurut,” jawab Bima seraya mengeluarkan kain lalu bersiap menutup mata Sara.
Sontak Sara terkejut. “Eh? Ini apa-apaan?”
“Menurut aja, oke? Ada kejutan spesial sekaligus hadiah pernikahan buat kamu.”
Setelah menutup mata Sara dengan sempurna, Bima lalu tersenyum. Tak lama kemudian ia kembali melajukan mobilnya.
“Sebenarnya aku mau dibawa ke mana, Mas? Aku udah dari tadi nanya tapi nggak dijawab terus. Mana sekarang pakai acara ditutup matanya segala.”
“Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi kamu akan tahu jawabannya.”
“Hmm.”
“Kita sebenarnya hampir tiba. Perkiraan kurang dari sepuluh menitan lagi kita benar-benar tiba.”
Beberapa menit kemudian, bunyi berdecit menandakan mobil sudah tiba di suatu tempat yang Sara sendiri tidak tahu dirinya sedang berada di mana. Saat ini, matanya masih dalam keadaan ditutup kain yang diikat rapat, kuat tapi tidak menyakitkan.
Sebenarnya ini ada di mana? Jujur, Sara memang sangat penasaran. Hanya saja, ia tidak serta merta berani membuka penutup matanya sebelum dipersilakan oleh calon suaminya.
Apa tadi Bima bilang? Ini kejutan spesial untuk sekaligus hadiah pernikahan yang satu bulan lagi akan mereka laksanakan. Ah, Sara jadi tambah penasaran.
Bima turun dari mobilnya dan langsung membukakan pintu untuk sang kekasih.
"Perhatikan langkahmu, Sayang. Hati-hati.” Bima merangkul pinggang Sara sekaligus memapah calon istrinya itu agar tetap bisa berjalan tanpa terjatuh.
“Dalam hitungan ketiga, aku akan membuka penutup matamu,” ucap Bima yang saat ini masih memapah calon istrinya menuju rumah baru yang akan mereka tempati satu bulan lagi, tepat setelah mereka resmi menjadi suami istri.
“Satu, dua, tiga….” Bima membuka penutup mata Sara. “Taraaa!”
Sara langsung tersenyum penuh rasa kagum. Di hadapannya terdapat sebuah rumah bergaya modern yang dari luar saja sudah terlihat aesthetic.
“Selamat datang di rumah kita, Sayang. Rumah yang akan kita tempati sebulan lagi. Ini hadiah pernikahan untukmu.”
“Mas, ini bagus bangeeet,” balas Sara yang masih merasa kagum. Bahagia? Sudah pasti.
“Bagus apanya? Belum juga diajak masuk,” kata Bima. “Ayo masuk, Sayang,” lanjutnya sambil membuka pintunya menggunakan kartu kunci di tangannya.
Bima kemudian mengajak Sara masuk dan melakukan house tour dengan penuh semangat. Jangan ditanya betapa bahagianya Sara. Rumah yang akan Bima hadiahkan padanya ini benar-benar melebihi ekspektasinya.
Rumahnya memang bergaya minimalis, tapi sangat modern. Sara sungguh dibuat takjub lantaran rumah seperti ini tadinya hanya ia bisa tonton lewat konten orang-orang yang membagikannya di reels. Namun, sebentar lagi ia akan tinggal di rumah seperti ini, bersama pria idamannya.
Ah, ini sangat membahagiakan.
“Tadinya aku nggak bisa menebak, kira-kira Mas Bima mau bawa aku ke mana. Apalagi mataku ditutup. Makasih ya, Mas. Makasih udah menghadiahkan ini untuk aku.”
“Kamu suka?”
“Suka banget,” jawab Sara cepat. “Dapurnya pun impian banget, Mas. Aku nggak pernah menduga bakalan punya dapur se-keren itu.”
“Supaya kamu semangat masaknya,” balas Bima. “Mau lihat kamar kita?”
Kamar kita? Mendengarnya saja sudah berbunga-bunga.
“Belum didekorasi, sih. Nanti menjelang pernikahan … akan dihias se-indah mungkin untuk menyambut pengantin yang akan malam pertama,” jelas Bima sambil berjalan menuju kamar.
Bima membuka pintunya dan Sara yang mengikuti pria itu langsung dipersilakan masuk.
“Ini nantinya akan menjadi kamar kita, Sayang.”
Sara mengangguk-angguk terharu. Bertemu Bima adalah hal paling luar biasa dalam hidupnya. Bima bukan hanya memberinya banyak cinta, melainkan siap membebaskan Sara dari belenggu keluarganya yang toxic sekaligus menjadikan Sara sebagai sapi perah tanpa pernah diberi kasih sayang.
Menikah dengan Bima, tentu secara otomatis Sara akan terbebas dari keluarganya. Hal itu membuat Sara merasa kalau dirinya seperti Cinderella dan Bima adalah pangeran yang akan membawanya lari dari rumah rasa neraka.
Padahal menurut Sara, dengan Bima membawanya pergi dari rumah saja sudah cukup, tapi ternyata Bima memberikan lebih banyak dari yang Sara layak dapatkan.
Sara masih melihat-lihat area kamar yang sangat berbeda jauh dengan kamar pribadinya yang jauh dari kata layak. Tiba-tiba Bima memeluknya dari belakang.
“Semoga kamu suka.”
“Kalau itu jangan ditanya, Mas. Aku suka bangeeet.”
Pelukan yang hangat itu, mendadak berkembang menjadi ciuman saat Sara memutar tubuhnya. Ya, mereka ciuman sangat intens dan entah karena terbawa suasana atau bagaimana … perlahan yang mereka lakukan lebih dari sekadar ciuman.
Tidak tahu setan macam apa yang merasuki keduanya sampai-sampai mereka berbuat khilaf. Ya, mereka berhubungan selayaknya suami dan istri di ranjang yang seharusnya menjadi tempat istimewa untuk malam pertama mereka.
Ranjang itu kini telah ternodai nafsu yang tidak tertahankan. Nafsu yang seharusnya baru bisa mereka lampiaskan satu bulan lagi tepat setelah resmi menjadi suami-istri.
***
Saat ini Bima mengemudikan mobil dengan kecepatan normal. Tak bisa dimungkiri baik Sara maupun Bima masih kepikiran tentang apa yang mereka lakukan tadi di rumah baru yang akan mereka tempati setelah menikah.
Bagaimana tidak kepikiran, bisa-bisanya mereka melakukan hubungan selayaknya suami istri!
“Tadi itu malam pertama kita, hanya waktunya saja yang lebih cepat,” ucap Bima. “Ya, anggap saja begitu,” sambungnya kelewat tenang, berbeda dengan Sara yang tampak tidak tenang. Sepanjang perjalanan wanita itu terus merasa gelisah.
“Mas, aku takut. Seharusnya kita nggak melakukannya.”
“Maafkan aku, Sara. Tapi kamu tenanglah, toh satu bulan lagi kita resmi menjadi suami istri. Jadi, semuanya akan baik-baik aja meskipun kita udah melakukan itu sebelum waktunya. Kalaupun kamu hamil … jangan lupa bulan depan aku sudah menjadi suamimu.”
Tetap saja Sara merasa bersalah juga takut. Ia tidak tenang dan tak henti-hentinya menyesali … kenapa ia menyerahkan keperawanannya lebih awal? Sekalipun sebulan lagi mereka akan menikah, tetap saja ini salah. Ini tak bisa dibenarkan!
“Kita pacaran tiga tahun dan selama waktu tersebut … kita bisa menahan diri untuk nggak melakukan hal semacam itu. Tapi kenapa? Kenapa kita nggak bisa menahan diri yang hanya tinggal menunggu satu bulan lagi?” Sara benar-benar tak habis pikir.
“Sayang, mas juga menyesal telah gagal menahan diri. Ini seharusnya pertemuan terakhir kita dan nanti bertemunya pas hari H pernikahan, tapi kenapa kita berbuat sampai sejauh itu? Maafkan mas ya, Sara.”
Sara hanya terdiam.
“Kamu marah?”
“Aku bukannya marah. Aku hanya sedang menyesali kenapa aku nggak bisa mencegah Mas Bima.”
Bima kemudian menoleh pada Sara.
“Sayang, percayalah….”
BRUKKK!
Bima tak bisa melanjutkan ucapannya karena secara mendadak sebuah truk menabrak bagian belakang mobil yang dikemudikannya, tabrakan itu sangat keras dan spontan sehingga mobil langsung terpental dan berakhir menabrak beton pembatas jalan.
Kejadiannya sungguh tiba-tiba dan nahas airbag gagal berfungsi. Sara terluka parah, Bima juga.
Hal yang terakhir Sara ingat sebelum kehilangan kesadarannya adalah … Bima tak bergerak dengan luka serius di bagian kepalanya.
Satu hal yang langsung terlintas di pikiran Sara. Inikah hukuman untuk mereka yang gagal melawan nafsu?
“M-Mas Bima….” Itulah kata yang terakhir Sara ucapkan, sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.
Gelap. Semuanya gelap sudah.