Hampir Kehilangan-Nya

2930 Kata
Hamas tak pernah tahu jika Anne yang terlihat cuek itu sesungguhnya sangat memerhatikannya. Walau ia terlihat mengabaikan Hamas, sebetulnya ia bisa melihat lebam-lebam diwajah Hamas. Talitha sempat histeris saat melihat wajahnya kemarin tapi dengan santainya ia bilang hanya bertengkar biasa antara lelaki. Ya, memang hanya pertengkaran. Itu kan bekas pukulan Wayan. Tapi Talitha tak percaya dan Hamas enggan mengungkitnya lagi. Toh, ia sudah berkata jujur. Tante dan Om-nya malah geleng-geleng kepala. Biasa, anak lelaki, pikir mereka. Sementara Anne bertanya-tanya di sepanjang perjalanan pulang menuju rumahnya. Kenapa wajah Hamas lebam-lebam? Gadis itu sebetulnya menoleh sekali lagi ketika melihat punggung Hamas yang sudah jauh darinya. Gadis itu menarik nafas panjang. Ia berupaya untuk tak memikirkan hal itu tapi sulit bukan? Meski akhirnya, ia memilih untuk berbalik dan segera masuk ke dalam rumahnya. "Mas!" panggil Tantenya. Perempuan itu menunggu kedatangannya di dekat pintu rumah usai mengantar Farras pulang. Hamas mempercepat langkahnya. "Buka puasa dulu," ingat perempuan itu kemudian masuk ke dalam rumah. Hamas segera masuk ke rumah usai mengunci pagar. Malam ini, keluarga ini berbuka dengan keheningan. Hanya ada ia, Tante Herdianti dan Om Irwan. Setelah sekian lama, Talitha, suaminya juga anaknya biasanya berbuka di sini. Berhubung rumah sudah selesai direnovasi, mereka kembali berbuka di rumah. Walau besok juga sudah datang lagi. "Tadi pengacara Papamu datang ke rumah," tutur Tantenya saat melihat Hamas sudah keluar dari kamar usai solat magrib. Lelaki itu menghela nafas panjang. Ia mulai malas jika membicarakan hal apapun yang bersangkutan dengan Papanya. "Rumahmu akan segera dilelang." Hamas sudah menduga kabar baik itu. Jadi ia tak berkomentar apapun. Ia juga tak berminat pada warisan Papanya. Ia tak mau hidup dimurkai-Nya. Biar kan lah ia hidup dalam kesederhanaan asal tetap dengan-Nya. Karena ia pernah, dua tahun lalu, nyaris melepas keimanannya demi harga dunia yang tak seberapa. Ia ingat betapa mengerikan hidupnya kala itu karena terus dihantui siksa-Nya juga ketakutan. Alih-alih merasa tenang dan bahagia, hidupnya malah suram. Belajar dari sana, ia jadi semakin paham betapa mahalnya keimanan seorang manusia dan juga betapa rapuhnya keimanan itu. Benar lah kata orang bahwa manusia boleh saja taat di pagi hari tapi belum tentu di siang, sore bahkan malamnya. Karena begitu lah dahsyatnya godaan setan yang mengelabui dan lemahnya iman yanh tertanam di dalam d**a. Terkadang manusia lupa jika harus meletakkan urusan dunia ditangan bukan di hatinya. Sebab segala sesuatu yang diletakkan di hati terkadang sulit dikendalikan. "Kamu diminta menemuinya, Mas. Sekarang kamu wali dari Papamu." Hamas menghela nafas. "Ya, Tan," tuturnya. Tantenya hanya mengangguk dan membiarkannya menuruni tangga. Sebetulnya, Herdianti tak tega. Ia sudah menawarkan pada Hamas agar mereka saja yang membeli rumah itu kemudian akan dibalikan atas Hamas tapi anak itu menolak. "Hamas bukannya tak mau menyusahkan Tante. Tapi biar kan saja rumah itu. Terlalu banyak kenangan buruk di dalamnya. Hamas sedang mencoba memulai hidup baru." Mata Herdianti berkaca-kaca tiap mengenangnya. Rasanya melihat Hamas tumbuh sedemikian dewasa membuatnya terharu. Anak lelaki itu kuat walau kadang terlihat rapuh. Diumurnya yang semuda itu, ia sudah ditempa begitu banyak cobaan yang mengharuskannya untuk tetap berdiri tegak. Bukan kah dunia terlihat kejam padanya? Bukannya Tuhan terlihat tak adil untuknya? Tapi begitu kah takdir-Nya. Manusia baru akan tahu jika ada hikmah dibaliknya setelah mengalami semua hal itu. Yang namanya hidup memang tak ada yang pernah tahu. Kini, Hamas sudah dalam perjalanan menuju masjid untuk solat tarawih. Ia berjalan sembari membantu Om-nya. Biar kata jalannya belum lancar-lancar amat, tapi lelaki tua itu tak mau membuang kesempatan untuk ibadah spesial ini di bulan yang spesial juga, bulan Ramadhan. "Ada si cantik di sana," ledek Om-nya yang baru saja menyenggol bahunya. Hamas mendongak dan mendapati Anne berjalan dikelilingi bocah-bocah. Memang jarak mereka cukup jauh karena Anne sudah berada di halaman masjid. "Kalau hanya dilihat, tak akan pernah dapat." Ya. Hamas tahu. Tapi tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menyerah. Mana mungkin melamar gadis yang sudah dipinang lelaki lain? Haram hukumnya. Ia paham itu. Makanya tak berbuat apapun. Dan tolong, jangan sebut ia pecundang apalagi pengecut. "Iiih! Kakaaaak Aaaann kan Adel mintaaaaa!" rengek gadis kecil itu. Aah, sudah beberapa hari ini Hamas absen mengajarinya mengaji karena ada urusan lain. Sementara Adel masih merengek seraya adu bacotan dengan Anne yang ogah membagi coklatnya. Adu bacotan itu baru berhenti saat Sara memanggil mereka untuk segera masuk ke masjid karena tak lama lagi, azan berkumandang. Hamas jarang melihat Anne berinteraksi dengan bocah-bocah itu dari dekat. Ia hanya melihatnya sesekali, itu pun dari jauh. Tampaknya, Anne begitu dekat dengan bocah-bocah itu. "Hamas!" panggil Marshall. Ustad yang paling disegani satu komplek ini meluncur mendekatinya. "Azan segera," titahnya. Tapi Hamas mengerutkan kening. Seingatnya, ia tak mendapat giliran hari ini. Marshall yang paham langsung menjelaskan. "Harusnya Ando tapi tak bisa datang karena mengurus istrinya yang sakit. Segera kamu gantikan," titah lelaki itu kemudian mengambil alih pekerjaan Hamas yang membantu Irwan berjalan. Sementara Irwan berceloteh dengan Marshall, Hamas sudah berlari cepat untuk mengambil wudhu. Kemudian berlari menuju mikrofon di dalam masjid. Feri yang sedang duduk di dalam masjid, melihatnya berjalan terburu-buru. Tak lama, suara bedug bergema dan Hamas menyambutnya dengan azan yang begitu merdu dan khas. Feri sampai hapal suaranya. Sejujurnya, penilaian Feri pada lelaki itu berubah pesat dibanding dulu. Dibanding dua tahun lalu tentunya. Ia pikir, Hamas adalah jenis lelaki yang memang suka mendekati perempuan dan tak tahu batas-batas agama. Tapi ternyata ia salah. Sungguh benar kata orang, jangan menilai dari wajahnya atau sampulnya karena apa? Karena bisa saja salah. Feri cukup mengapresiasi kekecean Hamas. Apalagi Hamas sering menjadi muazin di masjid ini. Pernah pula ia mendengar Hamas mengaji ketika sedang itikaf di sini dua minggu yang lalu. Dan Feri mengakui jika kualitasnya mungkin sama dengan lelaki yang melamar anak bungsunya. Namun yang membedakan adalah hal yang Feri tahu mengenai keluarga Hamas. Setiap orang pasti punya kepahitan. Dan kepahitan itu mungkin mengajarkan banyak hal dalam hidup Hamas. Dan mungkin, kepahitan itu tak sengaja membawa perubahan pesat pada diri Hamas? Iya kan? Karena manusia harus ditempa untuk tahu apa artinya hidup. Dan sepertinya, Hamas sudah mendapatkan hal itu. Itu yang ditangkap Feri. Istilahnya, Hamas sudah banyak memakan asam-garam dalam hidup. Kalau lelaki yang melamar anak bungsunya? Entah lah. Feri kurang tahu. Sejauh penyelidikannya, tidak ada kehidupan yang lebih buruk dibanding yang Hamas alami. Atau mungkin...ia yang melewatkannya? Entah lah. Feri pun tak pernah tahu. Feri hanya seorang hamba. Ia tak pernah tahu hikmah apa yang ada dibalik semua cerita hidup ini. @@@ Ia jadi tahu alasan kenapa Tantenya menyuruhnya segera pulang ke rumah demi melindungi Mamanya. Tahu apa jawabannya? Hamas menyetir, ngebut sekali. Bahkan beberapa kali hampir menabrak orang-orang yang menyebrang jalan. Tapi ia sudah kalut. Urusan kakaknya mungkin aman di rumah sakit karena ada Tantenya. Tapi urusan rumah? Aaah. Ia tak mau berprasangka buruk. Tapi sulit untuk tak menaruh curiga yang dalam. Hal semacam ini mungkin sudah sering terjadi. Tapi firasatnya benar-benar buruk kali ini. Apalagi Tantenya sampai tahu. Selama ini, keluarganya selalu menyembunyikan semua hal rapat-rapat. Ia menggelengkan kepala berulang kali. Hatinya benar-benar kalut dan ia benar-benar ketakutan. Ia tak mau berpikir buruk namun sulit menghilangkan pikiran itu. Tangannya semakin kuat memegang setir. Tubuhnya sudah gemetar. Keringatnya sudah mengucur deras. Matanya berkaca-kaca hingga tanpa sadar ia terisak. Ia dipaksa untuk tetap mengendarai mobil sembari menahan tangis, menahan tekanan batin yang membuatnya ingin sekali berteriak. Ia juga takut menghadapi kenyataan apa yang ada di depannya ini. Ia mengendarai mobil seperti kesetanan. Kemudian membelokan mobilnya memasuki komplek perumahan. Dalam lima menit melesat sejak mobil itu melewati gerbang komplek, akhirnya tiba di tempat tujuannya. Rumahnya kini sudah agak sepi. Maksudnya, tidak seramai saat Herdianti datang tadi. Tak ada rencana pula bagi Herdianti untuk mengunjungi rumah kakak kandungnya itu. Tahu-tahu ia melihat keramaian di depannya. Namun orang-orang takut memasuki rumah yang terkunci rapat itu. Yang terdengar hanya suara teriakan kakak sulung Hamas yang didominasi seruan minta ampun milik Mamanya. "Itu Hamas...itu Hamas...." Biasa, bisik-bisik tetangga. Semua mata ibu-ibu yang berdiri di dekat taman, kompak menoleh ke arah rumah yang sudah lengang itu. Herdianti lah yang meminta mereka agar keluar saja. Ia hanya bilang kalau akan mengurusnya. Begitu membuka pintu...... Dan Hamas terperangah mendapati Mamanya menggigil di dekat tangga. Perempuan itu mengira kalau suaminya sudah kembali ke rumah. Padahal itu Hamas yang datang. Maka begitu melihat sosok Hamas berlari ke arahnya, ia langsung menghambur ke pelukannya. Hamas bingung dengan apa yang terjadi. Ia baru tahu kejadian detilnya dari Tantenya. Tantenya tentu tahu dari kakak sulungnya yang sejak hari itu tak mau pulang ke rumah lagi. Kakak sulungnya dipukul habis-habisan oleh Papa mereka. Karena apa? Karena ketahuan ingin melakukan aborsi. Walau saat tahu anaknya hamil, ia juga mengamuk dan berkali-kali bersumpah tidak akan mengakui janin yang dikandung anaknya itu sebagai cucunya jika tak memiliki suami. Maka kakak sulungnya datang pada pacarnya, mengemis minta dinikahi. Tapi tak berhasil. Lelaki itu menolak mentah-mentah. Alhasil, ditempuh dengan jalur hukum namun belum juga diproses, pihak keluarga lelaki minta damai. Damai pun diterima melalui pernikahan. Tapi pernikahan itu tak lama karena lelaki b******k itu kabur. Kabur? Tentu saja. Apa yang diharapkan dari sebuah pernikahan yang dilaksanakan dengan terpaksa? Namun jangan dikira Hanni akan menyerah begitu saja dengan kehancuran pernikahannya. Gadis itu masih berani. Bahkan ia mencari suaminya hingga mendapati lelaki itu sedang bersama perempuan lain. Maka hancur lah pernikahan yang sejak awal memang salah itu. Ia mulai frustasi. Merasa jijik sendiri atas apa yang ada di dalam perutnya lalu selama hampir dua bulan mencari klinik aborsi. Dapat? Tentu. Tapi janinnya sudah luruh lebih dulu ketika Papanya tahu niatnya itu. Kemarahan lelaki itu lah yang membuatnya tak segan menghabisi kakak sulung Hamas andai Mamanya tak menahan. Walau akhirnya, wajah dan tubuh yang lebam itu lah yang dilihat Hamas pertama kali. Ia marah? Tentu. Sudah lama ia memendam kemarahan pada lelaki itu bukan? Ia ingin sekali menghajar dan membalas semua perlakuan kasarnya andai ia tak ingat bahwa lelaki itu masih ayah kandungnya. Bagaimana mungkin ia tega menghajarnya? Namun ini sungguh keterlaluan. Sudah sangat-sangat keterlaluan hingga kesabaran yang ditanam di dalam hati benar-benar habis. Maka tak tunggu lama. Kakinya sudah menginjak pedal gas lagi. Mengabaikan Mamanya yang berteriak-teriak memanggil namanya hingga berlari sampai pagar rumah. Tapi Hamas tak perduli. Ia akan menghajar balik Papanya yang sedemikian keras memukul Mamanya. @@@ "Kalo emang suka, kejar kali. Atau ya bilang aja dengan jujur. Dari jaman dulu sampai sekarang gak ada salahnya kalau bilang jujur ke cowok soal perasaan." Ditta langsung mengirim kita kan kepala. Hamas terbahak. Ia kan iseng. Senang menggoda Ditta yang tertangkap basah melihat Wayan dari jauh. "Padahal apa coba bagusnya? Muka jelek, item pula, akhlak kagak ada bagus-bagusnya." Hamas terbahak lagi mendengarnya. "Itu lo tahu. Kenapa masih mau?" ledeknya. Ditta menghela nafas. "Tadinya gue pikir, lo sama Gita." Kening Hamas mengerut. "Kenapa gue sama Ditta?" "Kenapa enggak?" ia mengendikkan bahu kemudian menatap lurus ke depan. "Gita jago ngomong. Cerdas juga. Sepadan sama lo. Tapi lo malah sama Nisa. Si anak manja dan juga anak pejabat. Gak ada bagus-bagusnya kecuali fisiknya. Tingkahnya gak disukai semua kakak tingkatnya. Gak punya sopan santun, gak ada akhlak kecuali orang-orang bilang dia ramah. Hanya itu." Ia menoleh pada Hamas yang berdeham. Ia tak menampik jika semua orang mengetahui kedekatannya dengan Nisa. Padahal tidak sedekat itu. Kacamata manusia lain memang idak bisa disalahkan. Karena akan ada banyak asumsi yang tak terhindarkan dan akan selalu timbul. Sebab masing-masing manusia memiliki rasa untuk membuat kecurigaan terhadap sesuatu yang mungkin terjadi. Dan itu sah-sah saja menurut Hamas. Tidak ada yang salah kecuali sudah melampaui batas. "Apa lo benar-benar berpikir kalau gue dekat sama Nisa?" "Semua gosip itu adalah narasi yang dibangun, Hamas. Sama seperti lo. Gue lama berkecimpung sebagai aktivis kampus. Gak mudah percaya dengan gosip semacam itu kecuali jika memang ada sesuatu yang ganjil karenanya." "Lalu?" Ditta mengendikkan bahu. "Persoalan dia tertarik sama lo, itu terlihat dengan sangat jelas. Tapi lo ambigu. Karena terkadang lo cuek. Terkadang lo terkesan menanggapi." "Kapan gue cuek dan kapan gue menanggapi?" "Lo cuek jika sedang sangat sibuk dengan urusan kampus. Apapun yang diucapkan orang, hanya angin lalu. Tapi sikap lo sehari-hari juga menunjukkan itu. Meski sebagai politikus kampus, sikap lo kadang terlalu ramah sama orang. Banyak perempuan yang mengambil kesimpulan berbeda dengan sikap lo itu. Begitu pula dengan Nisa yang mungkin merasa diterima oleh elo." "Boleh juga analisa lo." Ditta tertawa. "Gue gak lagi menganalisa, Hamas. Inj hanya asumsi pribadi." Hamas mengangguk-angguk. Bisa ia terima. Karena masing-masing orang boleh menyampaikan pendapatnya. "Tapi omong-omong, lo bener-bener tertarik atau enggak sama tuh cewek?" "Bukannya lo susah menyimpulkan?" "Kesimpulan gue bisa saja salah." "Gak ada yang perlu dibahas jika urusannya asmara, Dit." "Ya gue tahu kalau masing-masing orang punya hak untuk menyimpan urusan asmaranya masing-masing. Namun penilaian gue terhadap lo bisa berubah karena satu hal ini. Lo yang gue kenal lama dan gue ambil kesimpulan tentang itu, bukan cowok yang suka sembarangan mendekati cewek. Karena menurut lo, ada batasan di dalamnya." Hamas mengangguk-angguk. Memang benar. "Tapi dari medsosnya Nisa, tidak demikian. Lo sama dia bahkan terkesan intim. Sampai ada pertemuan keluarga." "Kalau ada pertemuan keluarga bukannya itu hal yang biasa saja, Dit?" "Menjadi biasa menurut pandangan elo. Tapi orang-orang yang selama ini tahu kalo lo dan Nisa itu dekat, akan berasumsi berbeda." Ditta menghela nafas. Ia melipat kedua tangan di depan d**a. "Makanya banyak asumsi yang saat ini bertebaran. Menurut gue, gak akan begitu bagus untuk ke depannya." "Lo terdengar seperti peramal." Ditta terbahak. Ia kan sedang serius. Tapi ya begini lah kalau berbicara dengan Hamas. Kadang bisa mengalir dengan serius. Kadang penuh candaan. Kadang sedang-sedang saja seperti ini. "So, gimana penilaian lo terhadap Nisa?" Hamas terkekeh. Ditta menoleh. Ia menangkap raut wajah Hamas yang terkesan biasa saja. Namun masih meragu tentang perkara ini. Karena ia bisa saja salah. Dan lagi, Hamas bukan tipe pengumbar. Urusan asmara adalah urusan pribadi. Lelaki itu sudah mengatakan hal itu secara tidak langsing tadinya. "Ya seperti pandangan cewek-cewek lain terhadapnya." "Bukan pandangan cowok?" Ditta memastikan dan itu membuat Hamas tertawa. "Lo bisa ambil kesimpulan sendiri," tuturnya lants sberjalan pergi meninggalkan Ditta yang mengerutkan kening. Ia berpikir lama sambil mekihat punggung Hamas yang menjauh itu. Sejak awal, ia memang punya asumsi kalau hanya Nisa yang tertarik. Namun karena secara fisik, perempuan itu cantik, rasa-rasanya tak banyak lelaki yang bersedia menolak. Tapi ia akui akan berbeda jika urusannya dengan Hamas. Bagi lelaki itu, persoalan mendapatkan perempuan bukan sekedar parasnya. @@@ Hamas hanya bisa berdiri agak jauh sembari sesekali tersenyum pada banyak orangtua yang menepuk punggungnya. Sejujurnya, ada banyak ayah di komplek ini yang menawarkan anaknya pada Hamas. Tapi Hamas hanya bisa tersenyum tipis menanggapinya. Kalau tak menyukai perempuan lain, mungkin ia akan mempertimbangkan tawaran mereka. Karena ia memang sudah meniatkan untuk menikah usai koas selesai. Rencananya tentu melamar Anne tapi sekarang? Tertawa saja. Anne sudah dipinang lelaki lain. Lelaki yang menurutnya pasti jauh lebih baik darinya. Baginya, Anne memang pantas mendapatkan lelaki yang keren. Keren dalam artian, taat pada-Nya. Tidak sepertinya yang sempat menuruti hawa nafsu demi kepentingan dunia. Walau kini sudah bertobat dan berupaya memperbaiki dirinya sendiri sejak hampir dua tahun? Atau ia ingin menyebutnya selama 18 bulan? Ya, mungkin sekitar itu. Ia juga hampir lupa. Dan perjalanan menjemput cahaya itu penuh liku. Karena ia bahkan sangat malu ketika harus menghadapi semua itu. Namun kini, ia berupaya menerimanya secara lapang. Toh, seberapa keras pun menghindar, nyatanya ia tak akan bisa menghapus semua kelam masa lalu itu. Cukup jadikan kenangan sekaligus pembelajaran yang nanti ke depannya, jangan sampai terulang. Hamas berjalan menghampiri Om-nya saat lelaki tua itu selesai entah mengobrol dengan siapa. Ia sering melihat lelaki yang meski sudah tampak tua tapi masih terlihat sangat bugar. Ia juga sering melihat istri lelaki itu yang rajin sekali mengobrol dengan Ustad Marshall. Tapi ia tak pernah tahu siapa namanya. "Ini keponakan saya, Wir. Baru selesai wisuda," kenalnya pada lelaki itu. Hamas menyambut tangannya dengan senang hati. Walau terlihat sangat serius tapi senyumannya ramah juga. Kemudian ketiganya berbasa-basi sebentar. Lelaki yang bernama Wira itu hanya menanyakan apakah Hamas bekerja diklinik Om-nya ini atau tidak. Hamas hanya mengangguk saja. Ia memang sementara bekerja di sana. Walau hanya sesekali membantu suaminya Talitha yang juga dokter. Lalu ia dan Om Irwan pamit. "Lelaki tadi itu, Mas, masih Om-nya si Ann. Dia menikah dengan adik perempuan dari ayahnya si Ann," jelas Om-nya ketika keduanya sudah dalam perjalanan pulang. Hamas berdeham mendengarnya. Rasanya, isi komplek perumahan ini semuanya keluarga si Anne. Karena di mana-mana ia selalu bertemu dengan salah satu di antara mereka. "Dia punya anak lelaki baik, pernah naksir Talitha dulu," celotehnya dengan bangga sambil terkekeh-kekeh kalau ingat itu. Karena anaknya tidak suka pada anak lelaki itu. Katanya, baik saja tidak cukup. Talitha lebih suka lelaki yang pekerja keras seperti suaminya yang sedang membesarkan klinik Papanya. Talitha juga lebih suka cowok yang pintar. Tak heran, tampilan suaminya memang terlihat seperti cowok kutu buku. Tapi punya komitmen dan jelas rencana hidup untuk ke depannya. Ya intinya, Talitha lebih suka cowok yang tidak terlihat lawak seperti Ardan. Istilah kerennya sih, cowok cool bin serius bukan yang slengekan bin sableng. Karena kemunculan lelaki itu pun seperti layar komedi. Selalu membuat siapa pun tertawa. Meski sedang tidak melucu. Namun barangkali, memang bukan jodohnya. Allah punya rencana terbaik untuk hamba-Nya bukan? "Jadi bagaimana? Sudah kamu istikharah kan niat baikmu itu?" tanya si Om. Lelaki itu belum tahu kalau rencananya sudah gagal duluan. Hamas hanya bisa tersenyum tipis mendengarnya. Bagaimana ia meneruskan niat baik itu jika pintunya saja sudah terkunci? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN