9 : Ingin Menjatuhkan Nama Hansa

1672 Kata
“Ayah, salam hormatku padamu.” Hansa menunduk sopan pada Raja Rawindra yang tengah duduk di singgasananya, tadi pagi-pagi sekali Hansa sudah bersiap untuk kembali ke istana Narayana untuk melapor terkait pengungsi. Setelah kemarin ia berdiskusi kecil dengan adik-adiknya, kini Hansa sudah membulatkan tekat untuk membantu mencarikan solusi untuk mereka. “Ada apa, Putraku? Kau datang jauh-jauh dari perbatasan pasti ada suatu hal yang penting.” Raja Rawindra mempersilahkan Hansa untuk duduk. “Ini mengenai para pengungsi di perbatasan Narayana-Janardana, mereka merupakan warga asli dari kerajaan Wilamangun yang kabur dari tanah airnya akibat pemerintah yang diktator dan kejam.” Hansa mulai meceritakan duduk permasalahan. Raja Rawindra setia mendengarkan penjelasan dari putra sulungnya. “Kemarin gudang pasokan makanan untuk prajurit hendak dirampas paksa oleh mereka, akibat dari kelaparan yang terus berkelanjutan.” Hansa menceritakan dengan detail mengenai bagaimana mereka bisa kabur, apa saja kejahatan yang telah dilakukan oleh Raja Wilamangun dan sebagainya. “Untuk itu lah aku ingin memberikan mereka suaka di Narayana, bagaimana pun juga mereka warga yang tak bersalah, hanya karena keegoisan pemimpinnya, sehingga mereka menjadi kesulitan seperti ini.” “Hansa, bukan maksud ayah untuk menolak saranmu, hanya saja Wilamangun dan Narayana tak pernah bersinggungan sebelumnya, ayah takut jika masalah suaka ini akan menimbulkan keributan antar dua negara ke depannya.” Raja Rawindra juga berada di ambang dilema, sisi kemanusiaan menyuruhnya untuk melindungi warga pengungsi, tapi di sisi lain ada banyak nyawa rakyat asli Narayana yang perlu ia lindungi. Bila nanti Wilamangun tidak terima atas sikap Narayana melindungi warga yang kabur, maka akan terjadi perang besar-besaran. Narayana akan dicap sebagai negara pelindung warga pengkhianat. Perang adalah hal yang menyakitkan, akan banyak rakyat-rakyat Narayana menjadi korban. “Hansa juga berpikir demikian, tapi melihat anak-anak menderita kelaparan dan gizi buruk membuatku tidak tega.” “Untuk sementara ini ayah hanya bisa mengizinkanmu untuk memberikan mereka pasokan makanan, ambil dari gudang persediaan di istana. Mengenai identitas baru, ayah belum bisa menyimpulkan.” Ini adalah masalah jangka panjang, harus bisa memikirkannya matang-matang. “Baik ayah, Hansa mengerti.” Ia juga tak mau memaksa ayahnya, tahu bahwa memberikan suaka dan identitas adalah hal yang amat berisiko. “Lalu, bagaimana tanggapan dari Putra Mahkota Laksmana?” “Putra Mahkota Laksmana angkat tangan, ia tidak ingin ikut campur.” Hansa teringat dengan sikap cuek dari calon penerus takhta kerajaan Janardana itu. Bisa saja Hansa ikut menutup mata, tapi hati nuraninya tidak tega. Dan Raja Rawindra tahu betul bagaimana karakter putra sulungnya itu, Hansa memiliki hati yang bersih dan senang membantu warga kesusahan. Setelah obrolan itu, Hansa pun pamit undur diri karena ia harus kembali ke kamp militer prajurit. Tak lupa, Hansa juga membawa pasokan makanan dari gudang istana atas izin ayahnya. Ankara menguping pembicaraan antara ayah dan anak itu, sejak tadi ia bersembunyi di pintu aula. Segera setelah mendapatkan informasi yang berguna ia pun buru-buru memberitahukannya pada adik dan keponakannya. “Mahabala, Jyotika!” Ankara memanggil-manggil mereka berdua dengan heboh. “Paman, ada apa?” Mahabala muncul dengan kening mengkerut. “Mana ibumu? Suruh dia datang ke sini.” Beberapa detik selanjutnya Selir Jyotika pun datang, ia juga sama bingungnya dengan kedatangan kakaknya dengan penuh ekspresi yang terkesan bahagia. “Aku punya kabar gembira untuk kalian.” Setelah memastikan tidak ada dayang atau pengawal yang menguping, Ankara pun mulai mengatakan kalimatnya. “Apa?” “Pangeran Hansa berencana memberikan suaka dan identitas baru bagi pengungsi tak resmi di perbatasan,” ujarnya dengan senyuman licik. “Lalu, apa yang menggembirakan?” Selir Jyotika merasa aneh dengan kakaknya ini. “Pengungsi itu merupakan warga dari kerajaan Wilamangun, yang ku dengar bahwa kawasan itu dipimpin oleh raja yang kejam dan bengis. Jika sampai Hansa benar-benar memberikan identitas pada pengungsi, ini sama saja memicu perang. Kita bisa gunakan kesempatan itu untuk menjatuhkan namanya, dengan alasan bahwa Hansa lebih melindungi warga negara asing dibandingkan memikirkan keselamatan rakyatnya sendiri.” Di akhir kalimatnya Ankara memicingkan matanya dengan begitu licik, seringai muncul dari sudut bibirnya. “Paman benar, aku bisa membuat nama Kak Hansa buruk di mata rakyat.” Mahabala segera menimpali. Setelah berpikir cukup lama akhirnya Selir Jyotika paham dengan pemikiran kakaknya, ini adalah kesempatan bagus untuk menjatuhkan Hansa. “Bagaimana dengan ayah, apa ia menyetujuinya?” “Ayahmu belum setuju, tapi mengingat karakter Hansa yang pemurah hati, paman yakin ia pasti akan berusaha memberikan identitas baru pada para pengungsi.” Selir Jyotika dan Mahabala tersenyum cerah bagai mendapat durian runtuh, kesempatan emas tidak datang dua kali, mereka juga bisa memprovokasi keadaan. “Jika kau ingin cara cepat, provokasi para pengungsi agar mereka mendesak Hansa untuk diberikan identitas dan suaka baru.” “Ide yang bagus, sangat luar biasa.” “Aku akan mengutus orang untuk mulai memprovokasi pengungsi, dengan begitu Hansa pasti tidak tega melihat mereka menderita.” “Cepat lakukan, Kak. Aku tidak sabar melihat kejatuhan anak-anak Daneswari, biarlah putraku Mahabala yang menjadi penerus takhta kerajaan ini.” Selir Jyotika membayangkan kemenangan dirinya, dan saat itu tiba ia akan menginjak-injak harga diri Ratu Daneswari. “Tenang, Adikku. Kita pasti bisa mendapatkan keadilan untuk Mahabala, hanya dirinya lah yang pantas menduduki takhta.” Sedangkan di kamp militer, Hansa baru saja tiba di sana dengan mengendarai kuda kesayangannya, di belakangnya juga terdapat prajurit khusus milik Raja Rawindra yang diperintahkan untuk membawa banyak pasokan makanan. Hara dan Haridra yang tengah ikut berlatih pun menghampiri kakak sulung mereka. “Kakak, ayah yang memberikan ini semua?” Hara menunjuk gerobak-gerobak yang mengangkut bahan makanan. “Benar.” “Apa ayah setuju dengan pemberian suaka dan identitas?” Giliran Haridra yang bertanya. Hansa menggeleng pelan. “Tidak, ayah belum menyetujuinya karena menimbang keselamatan rakyat Narayana.” Haridra menepuk pelan bahu kakaknya, “Apa yang dilakukan ayah adalah pilihan terbaik, ayah tahu betul risiko melawan kerajaan Wilamangun.” “Setidaknya ayah bersedia membantu memberikan bahan makanan, sehingga mereka tidak perlu kelaparan lagi.” Hara tidak tahan melihat anak-anak menangis kelaparan, hatinya tercubit sakit. “Ya, untuk sekarang memang ini lah yang terbaik.” Laksmana melihat interaksi tiga bersaudara itu, ia juga melihat para prajurit khusus Narayana tengah memindahkan pasokan bahan makanan dari gerobak ke gudang penyimpanan. Ia menghela napas kasar, semoga saja hal ini tidak terdengar sampai ke telinga orang-orang Wilamangun, atau mereka akan mendapat masalah besar. “Pangeran Haridra, Putri Hara, apa kalian berniat melarikan diri dari pelatihan?” Suara Laksmana terdengar menggelegar, membuat dua kakak beradik itu berjengkit kaget. Mereka lupa, tadinya dengan semangat ikut pelatihan tapi tiba-tiba pergi dari arena begitu saja tatkala melihat kepulangan Hansa. “Baiklah, kami akan datang.” Hara berceletuk, selain cuek ternyata Laksmana juga disiplin dan tegas dalam melatih, benar-benar tipikal iblis perang. “Kalian segera kembali ke barisan, jangan membuat Putra Mahkota Laksmana menunggu.” Hara dan Haridra berlari kembali ke barisan arena, saat ini mereka tengah berlatih menggunakan pedang dengan baik. Meskipun Haridra terbilang mumpuni tapi ia suka mencari ilmu untuk menambah wawasannya, pelatihan yang diberikan Laksmana juga tidak buruk untuknya. “Kau lihat tadi, Iblis perang ini begitu tegas saat melatih.” Disela-sela ayunan pedangnya, Hara berbisik pada adiknya. “Kakak, jangan mencari masalah.” Haridra menggeleng kecil. Hara mendelik kesal, ia masih ingat betapa Laksmana bermuka dua. Di satu sisi pria itu menyuruhnya untuk berbagi pada anak-anak pengungsi, sehari kemudian Laksmana lepas tangan dan tak mau membantu mereka. “Cukup! Sekarang aku ingin menjajal kemampuan kalian.” Laksmana menghentikan pergerakan latihan mereka, ia menatap Hara dengan tajam lalu menunjuk gadis itu. “Kau—Putri Hara, aku ingin melihat kemampuanmu.” Sontak saja semua pasang mata tertuju pada Hara, terlebih lagi ia satu-satunya wanita di sini. “Kakak, kau harus banyak-banyak berdoa.” Haridra memberi semangat kakaknya. Hara pun maju tanpa basa-basi, ia juga ingin melihat sebuas apa si iblis perang ini. Kini Hara dan Laksmana sudah saling berhadapan, mata keduanya saling menatap dalam-dalam. “Putri Hara, sebelumnya aku belum pernah menjajal kemampuan seorang gadis, hari ini dirimu lah yang pertama kali. Bagaimana menurutmu, kau menolak tawaran ku atau menerimanya?” Suara tegas milik Laksmana tak membuat gentar gadis di depannya, justru Hara semakin tertantang. “Aku menerimanya!” Ia adalah ksatria wanita, terlebih lagi darah juang Narayana tak akan membuatnya menyerah begitu saja. Jawaban tegas dari Hara mampu membuat mata Laksmana berkedut kecil. Dari balik topengnya itu, ia terus memperhatikan gadis muda tersebut. Hara dan Laksmana memasang kuda-kuda masing-masing, mereka juga mengacungkan pedangnya. Hara maju terlebih dulu untuk mengayunkan pedangnya, setiap gerakannya begitu indah didukung oleh tubuhnya yang lentur. Laksmana memundurkan langkahnya saat menyadari bahwa Hara mulai menekan dirinya, ia menepis pedang gadis itu dengan pedang miliknya. Hara melirik ke kaki Laksmana, ia mengincar kaki itu. Sreeet! Hara ingin mencekalnya, tapi insting Laksmana begitu kuat hingga ia pun terbang sekitar satu meter dari tanah untuk menghindari cekalan kaki Hara. Mata keduanya lagi-lagi bertemu, ini membuat Hara semakin penasaran dengan rupa di balik topeng yang menutupi sebagian wajah Laksmana. Ting! Laksmana menggunakan ketidak fokusan Hara sebagai ladang kesempatan, pedang gadis itu pun terjatuh ke tanah hingga menimbulkan bunyi nyaring. Mata Hara membelalak, bodohnya dirinya yang sempat terlena oleh rupa Laksmana. ‘Ayo, fokus Hara!’ Dengan tangan kosong Hara menangkis setiap serangan dari Laksmana, tubuhnya yang kecil memang tak sebanding dengan kekarnya tubuh Laksmana. Terakhir, Laksmana mengacungkan pedangnya tepat di leher Hara, membuat gadis itu refleks mundur ke belakang hingga akan terjatuh. Tangan Laksmana segera menarik pinggang ramping gadis itu agar tak jatuh ke tanah, untuk sejenak jarak keduanya hanya setipis kulit ari. Dari dekat ini Hara bisa menelusuri setiap lekuk wajah Laksmana, matanya terus memindai hingga ia yakin bahwa tidak ada luka apa pun di wajah Laksmana yang tertutup topeng, tapi kenapa pria itu memilih untuk menyembunyikannya? “Ahh, terima kasih.” Hara menyudahi kegiatan saling pandang itu, ia menjauhkan dirinya dari Laksmana. “Putra Mahkota Laksmana hebat, tapi Putri Hara juga begitu tangguh karena bisa menahan serangannya.” Para prajurit mulai melontarkan sudut pandang mereka masing-masing. Laksmana pun melirik Hara yang tengah terengah-engah nafasnya, untuk sejenak ia merasakan desiran aneh pada dirinya. Haridra bahkan dibuat melongo dengan kakak perempuannya itu, tumben sekali Hara tidak fokus, bahkan dengan mudahnya pedang itu dijatuhkan begitu saja ckckck.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN