“Terjadi keributan dari warga perkampungan pengungsi,” lapor salah satu prajurit dengan tergesa-gesa.
Tiga bersaudara beserta Laksmana pun menoleh menatap prajurit itu.
“Mereka menyerang kamp militer kita?” tanya Hansa.
“Ya, target p*********n adalah gudang pasokan makanan, mereka berebut gandum dan beras.”
Hara melirik pada Laksmana, kemarin baru saja ia dan pria itu memberikan anak-anak pengungsi camilan, ternyata masalah kelaparan menjadi momok besar di perbatasan ini.
Menyerang kamp militer sama dengan bunuh diri, para pengungsi itu pasti jelas tahu bahwa para prajurit memiliki senjata untuk menyerang balik mereka, tapi demi makanan maka mereka mampu melakukan ini.
“Aku akan memeriksanya.” Hansa pun undur diri, ia keluar dari tendanya dan berjalan menuju ke gudang penyimpan makanan.
Benar saja, di sana ada banyak warga yang berkumpul dan hendak menerobos prajurit yang berjaga. Bahkan anak-anak pun tak luput ikut, Hansa miris melihatnya.
“Berikan kami makanan, kami kelaparan.” Warga terus mendesak untuk meminta makanan, mereka adalah pengungsi yang tidak diketahui dengan jelas asal-usulnya, pun tak memiliki identitas sebagai warga negara.
Laksmana dan yang lainnya turut melihat situasi yang tak kondusif itu.
“Kakak, bagaimana ini? Masalah kelaparan warga pengungsi semakin hari semakin parah saja, dua kerajaan di perbatasan ini tidak bisa melakukan apa pun.” Haridra menatap kakak sulungnya berharap ada solusi untuk membantu mereka.
“Kali ini beri mereka makanan yang layak, untuk selanjutnya aku akan menyampaikan terkait masalah warga pengungsi pada ayah.” Hansa sendiri tidak tega melihat mereka memohon-mohon untuk diberi makanan seperti itu, sebagai sesama manusia jiwa sosialnya tergerak untuk membantu mereka.
“Pangeran Hansa, apa ini tidak beresiko? Hari ini mereka bahkan berani melakukan serangan dan menerobos penjagaan, entah apa yang akan mereka lakukan lain hari yang kemungkinan besar semakin membahayakan.” Laksmana berceletuk.
Hara melirik pria itu, kenapa Laksmana berbeda dari kemarin? Saat itu Laksmana bahkan mengajarkan dirinya untuk berbagi ke anak-anak pengungsi, sekarang terkesan melarang membantu mereka.
“Aku sudah memikirkan itu, tapi tidak ada yang bisa lakukan selain membantu mereka. Lihat anak-anak itu, mereka bahkan turut berdesakan untuk mendapat sesuap nasi dan gandum.” Hansa menunjuk sekumpulan anak yang terlihat kurus nan lusuh, mereka bahkan tak peduli panas dan terik siang hari ini.
“Mereka bukan urusan kita,” jawab Laksmana dengan begitu enteng.
Hara mendelik mendengar penuturan Laksmana yang terdengar tak berdosa. “Putra Mahkota Laksmana, bukankah berbagi adalah hal yang baik? Mereka butuh uluran tangan kita, masalah persediaan makanan akan ku minta prajuritku untuk mengambil cadangan lagi di gudang istana.”
Laksmana menghela napas kasar, bukan bermaksud kejam tapi masalah pengungsi ilegal ini dapat beresiko bagi dua kerajaan. Entah bagaimana latar belakang mereka sehingga keluar dari kerajaan lain, Laksmana hanya memikirkan ketentraman negerinya saja.
“Baiklah, lakukan terserah kalian saja.” Laksmana tidak ingin ikut campur, ia yang pada dasarnya bersifat cuek dan dingin pun mengendikkan bahunya lalu pergi dari sana.
Hara menatap kepergian Laksmana dengan kecewa. “Julukan iblis memang pantas disematkan untuknya.”
“Hara, tidak berkata begitu. Putra Mahkota Laksmana memiliki kesulitannya sendiri, jika Janardana tak ingin membantu, maka Narayana pun bisa mengambil aksinya sendiri."
"Iya, Kak.”
“Sekarang kalian persiapkan bahan makanan, minta koki dapur untuk memasakkan hidangan yang layak.” Hansa memberi intruksi pada adiknya.
“Baik, Kak.” Hara dan Haridra segera melaksanakan perintah kakak sulung mereka.
Sementara itu, Hansa sendiri tengah menenangkan warga, ia berjanji akan menyediakan makanan yang lezat.
“Apa kau serius?” tanya salah satu warga.
“Kalian bisa menunggu dengan tenang, koki dapur tengah memasak makanan untuk kalian.” Hansa bersikap tenang menghadapi mereka.
“Baiklah, kita akan menunggu.”
Hansa mengarahkan mereka untuk duduk di tempat yang telah terpasang tenda agar tidak kepanasan. Melihat mereka semua membuat hatinya tercubit, meskipun bukan berasal dari Narayana tapi sesama manusia ia ingin memberikan pelayanan yang terbaik bagi warga.
Tak berselang lama akhirnya makanan pun telah selesai dimasak, Hara beserta koki dapur membagikan bungkusan makanan pada para pengungsi, mereka terlihat berbinar tatkala mendapatkan makanan itu.
“Tenang, semuanya akan mendapatkan bagian.” Haridra berujar.
Satu per satu mereka menerima bungkusan yang berisi nasi dan juga lauk pauk, mereka segera melahapnya dengan begitu semangat, seperti telah tak makan selama berhari-hari.
Hansa mencoba mendekati salah satu dari mereka untuk bertanya.
“Bibi, sebenarnya dari mana asal kalian? Kenapa bisa sampai di perbatasan ini.”
Seorang wanita paruh baya menjawab pertanyaan Hansa, “Kami berasal dari suku lembah wilayah kerajaan Wilamangun. Para pejabat di sana tidak dapat mengemban amanat dengan baik, mereka melakukan korupsi besar-besaran dan mengambil pajak tinggi hingga mencekik warga, selain itu perkampungan kami tidak aman hingga mengakibatkan kami mencari suaka di kerajaan lain.”
Hansa mengerutkan keningnya merasa tak asing dengan nama kerajaan itu. Wilamangun? Letaknya cukup jauh dari daratan Narayana, ia pernah mendengar kekacauan di negeri tersebut akibat dari pemimpin yang serakah dan egois.
“Apakah kabur dari Wilamangun adalah jalan terbaik untuk menghindar dari pemerintah?”
“Sebenarnya tidak, kami akan terus diburu oleh mereka. Pemerintah Wilamangun adalah seorang diktator, mereka ingin warganya tetap berada di dalam pengawasan, tapi kebutuhan hidup bahkan tak dipenuhi. Hampir semua harta benda kami habis untuk membayar pajak yang begitu tinggi, setiap hari akan ada pemeriksaan militer yang sangat menakutkan bagi kami. Pemuda belasan tahun diminta untuk ikut pelatihan paksa, mereka bahkan tak segan-segan memukul atau menghukum gantung anak-anak remaja yang tak bisa wajib militer.” Bibi itu bercerita panjang lebar, wajahnya sendu mengingat cucu laki-lakinya diperbudak oleh militer Wilamangun.
Hansa begitu miris mendengar penuturan Bibi itu, ternyata ada kerajaan lain yang pemimpinnya begitu kejam dan diktator. Pantas saja mereka kabur dari negerinya, dan memilih bersembunyi di perbatasan Narayana-Janardana ini.
“Maaf, lalu bagaimana rencana kalian ke depannya?”
“Kami ingin identitas baru, pengakuan sebagai warga negara. Entah itu Narayana atau Janardana, ku dengar dua kerajaan ini sama-sama kuat dan mempunyai pemimpin yang bijaksana.” Semua pengungsi ini berharap untuk mendapat suaka dari negara lain, Naraya dan Janardana sama-sama negara yang dipimpin oleh Raja bijaksana, dua negara ini juga terkenal mahsyur namanya.
Hansa terdiam, memberikan kewarganegaraan adalah hal yang tak mudah. Apalagi latar belakang mereka yang merupakan pengungsi tak resmi, belum lagi Wilamangun yang masih memburu warganya agar kembali, jika sampai kerajaan lain ikut campur maka bukan lah hal yang baik. Narayana bisa memicu peperangan terhadap Wilamangun.
“Jika boleh tahu, sebenarnya siapa dirimu dan kenapa mau memberikan kami makanan?” Bibi itu akhirnya bertanya.
“Aku Hansa Ekata, putra dari Raja Rawindra.”
Wanita itu membulatkan matanya terkejut. “J-jadi kau adalah putra mahkota?”
“Bibi bahkan tahu mengenai diriku?” Hansa balik bertanya.
“Putra Mahkota Hansa sangat terkenal di semua penjuru wilayah, kau adalah penerus yang bijaksana. Terima kasih, terima kasih telah membantu kami.” Bibi tersebut bersimpuh di kaki Hansa, membuat pria itu merasa sungkan.
“Jangan seperti ini, Bibi. Kita sama-sama manusia, tak perlu berlutut seperti ini.” Hansa tidak enak hati.
“Jadi, ia adalah Putra Mahkota Hansa?” celetuk yang lain.
Akhirnya mereka turut bersimpuh dan bersujud pada Hansa, membuatnya semakin tidak nyaman saja. Ia bukan lah siapa-siapa, kenapa mereka harus sesopan ini padanya?
Hara dan Haridra menyaksikan itu, mereka bingung dengan apa yang diobrolkan kakak sulungnya pada wanita tadi.
“Nama Kak Hansa sudah terkenal di penjuru dunia.”
“Iya, aku senang mendengarnya. Ini berarti Kak Hansa memiliki reputasi yang baik, dibandingkan dengan Mahabala yang tidak ada apa-apanya itu.” Hara mencibir adik tirinya. Sampai saat ini ia masih dongkol kala mengingat perbuatan mereka yang terus berupaya mendapatkan posisi penerus.
“Omong-omong tentang Mahabala, aku rasa ia akan menjadi halangan terbesar bagi Kak Hansa.” Haridra bergumam pelan. Ia sendiri kurang suka terhadap Mahabala, dengan wataknya yang arogan dan suka seenaknya, kemungkinan besar Mahabala bisa memberontak demi kekuasaan.
“Haridra, apa pun yang terjadi ke depannya kita tiga bersaudara harus saling bersama-sama. Menjadi penerus takhta banyak resikonya, keselamatan Kak Hansa akan diincar oleh musuh. Kita sudah sepakat untuk saling melindungi,” ujar Hara pada adiknya.
“Kak Hara benar, aku berjanji akan melindungi Kak Hansa dengan baik.” Di antara mereka bertiga, si bungsu Haridra lah yang memiliki ilmu bela diri paling tinggi, ia akan melindungi Hansa dengan sepenuh jiwanya.
Meski pun tidak pernah mengeluh, tapi Hara dan Haridra tahu betul bagaimana kesulitan sang kakak sulung mereka. Hansa dituntut untuk bisa dalam segala hal, Hansa juga sering mengesampingkan keinginan pribadinya demi negara.
Pernah suatu kali mereka bertiga saling mengobrol, cita-cita utama Hansa adalah menjadi pendekar ksatria yang bisa menjelajahi dunia untuk membantu sesama, tapi tentunya impian pria itu harus pupus karena setelah dinobatkan menjadi putra mahkota—maka Hansa akan terikat dengan kerajaan dan harus mengabdikan diri untuk rakyatnya.
“Jika itu kau, apa yang akan kau lakukan?” Hara bertanya pada Haridra.
“Aku? Sejak dulu aku tidak pernah menginginkan takhta, aku lebih suka hidup bebas tanpa terikat dengan istana.” Haridra menjawabnya dengan enteng, pasalnya ia juga pernah ditawari menjadi penerus, tapi ia menolak mentah-mentah tawaran itu. Baginya, lebih baik menjadi orang di balik layar untuk membantu sesama, lagipula ia merasa tak pantas untuk posisi tersebut.
Hara bangga dengan jawaban adiknya, setidaknya anak-anak Ratu Daneswari tidak perlu susah payah berebut takhta.
Setelah kegiatan pemberian makanan usai, Hansa pun memberikan sekarung beras dan gandum untuk dibagikan. Para pengungsi merasa berterima kasih pada penerus takhta Narayana itu, bagi mereka—Hansa adalah malaikat penyelamat.
“Kakak, kau sudah mengorek informasi dari mereka?” tanya Hara pada Hansa, sesaat setelah semua warga pengungsi sudah bubar.
“Sudah.”
Hansa pun menceritakan asal usul mereka dan bagaimana bisa mereka sampai di perbatasan ini, termasuk pemimpin Wilamangun yang kejam memperlakukan warganya begitu buruk.
“Ohh, ternyata seperti itu. Pantas saja mereka memilih untuk kabur dari negerinya,” balas Haridra sambil mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
“Dalam hal ini warga itu tak sepenuhnya bersalah, mereka berharap penghidupan yang lebih baik. Karena tak mendapatkan keadilan dan keamanan dari rajanya, mereka akhirnya memilih untuk membelot.” Kini Hara yang memberi tanggapan.
“Aku akan melapor pada ayah, semoga saja ada jalan terbaik bagi mereka.” Hansa akan menemui Raja Rawindra dan meminta solusi terbaik.