"Yud, kamu kenapa?" tanya Steven saat melihat wajah Yudistira semakin pucat, bahkan sampai kesulitan bernapas.
Vidya yang melihatnya hanya terdiam dan mencerna dalam pikirannya, tapi tetap saja dia tidak paham. Apakah artinya Yudistira tidak menginginkan kehamilannya terjadi?
"Mas Stev, maafkan aku …."
Steven terkesiap saat melihat sinar mata Yudistira yang kosong. Pria itu juga merasa bingung akan maksud ucapan Yudistira.
"Tenangkan dirimu Yudis, bagaimana aku bisa mengerti apa yang kamu katakan jika seperti ini?" ucap Steven sembari mengguncang keras tubuh Yudistira.
Yang dilakukan Steven berhasil, perlahan namun pasti kesadaran Yudistira kembali. Dengan menunjukkan raut wajah penuh penyesalan dan bersalah pria itu menatap sang senior lalu berkata, "Sebenarnya aku ayah dari janin yang ada di kandungan Vidya."
Steven tersentak dan melepaskan tangannya dari kedua bahu Yudistira. Masih memproses apa yang sedang terjadi, Steven segera melontarkan kalimat penyangkalan, "Tidak mungkin, katakan kalau kamu hanya bercanda atau ingin menutupi aib Mas yang gagal sebagai seorang ayah."
"Maafkan aku, Mas. Tapi semua itu benar, aku yang telah menodai Vidya. Jadi, aku bisa memastikan jika itu anakku." Steven hanya terdiam saat mendengarnya, selama 20 tahun mengenal Yudistira membuat dia memahami karakter sang junior. Yudistira tidak berbohong.
"Kenapa kamu melakukan hal itu, Yud? Padahal aku sudah mempercayakan Vidya sama kamu, tapi kenyataannya kamu adalah pria yang menghancurkan masa depan Vidya," ucap Steven yang masih tak percaya dengan pengakuan Yudistira.
Seketika d**a Steven terasa sesak. “Argh ….” Pria itu tampak ingin menggapai sesuatu untuk menopang raganya. Namun, usahanya sia-sia, Steven jatuh menghantam lantai yang keras tanpa sempat ditolong Yudistira.
“Papa …!” Vidya terdengar histeris. Melihat sang ayah yang terbaring di lantai.
“Mas, kamu kenapa?” Dengan raut wajah yang cemas, Yudistira langsung membantu pria itu untuk berdiri dan membaringkannya ke sofa penunggu pasien sebelum memanggil dokter.
Vidya yang melihat sang ayah kesakitan sambil memegang d**a langsung beranjak dari ranjang tanpa memperdulikan rasa sakitnya. Bahkan dia tak sadar jika tangannya mengeluarkan darah akibat infus yang terlepas secara paksa.
"Papa, maafkan Vidya kalau sudah menyakiti hati Papa. Vidya mohon ampun, Pah!" jerit Vidya sambil memegang kedua tangan Steven, air mata mulai membasahi kedua pipinya.
''Vi-dya, sudah jangan menangis lagi, Sayang! Mungkin semua ini ... sudah kehendak Tuhan. Sebenarnya ... sudah sejak lama Papa merasa takut jika harus meninggalkan kamu sendirian." Steven menghentikan perkataannya seraya mengumpulkan tenaga.
"Tapi sekarang … Yudistira yang akan menggantikan Papa untuk menjaga kamu ….” Dengan terbata dan napas tersengal, Steven terus memaksakan dirinya bicara. Matanya menatap lirih sang puteri yang sedang mengandung benih dari sahabatnya sendiri.
"Pah, jangan bicara seperti itu! Vidya yakin Papa akan panjang umur dan terus bersama Vidya. Jadi, Papa harus kuat," ucap Vidya dengan terisak.
"Dokter, cepat tolong teman saya!” Suara Yudistira yang panik membuat Steven menoleh ke arah sang junior.
"Yudis ... cepat kemari!" ucap Steven dengan tangan kanan yang terarah kepada Yudistira.
"Jangan banyak bicara dulu, Mas. Biarkan para dokter menangani Mas," pinta Yudistira.
"Aku titip Vidya, tolong jaga dan bahagiakan dia …."
Seusai mengatakan itu, kesadaran Steven menghilang. Pria itu tampak memejamkan mata dan dalam 3 kali tarikan napas, jiwanya terlepas dari raganya.
"Papa! Jangan tinggalkan Vidya sendiri, Pah! Vidya masih mau sama Papa." Vidya berteriak seraya menggenggam kedua tangan Steven, berharap jika pria itu akan kembali membuka matanya.
Melihat tangisan Vidya, Yudistira pun memeluk tubuh ringkih gadis itu dan membiarkan petugas medis mengurus Steven. Terlalu lama menangis membuat Vidya kembali pingsan.
"Ini semua salahku. Maafkan aku, Mas. Seharusnya malam itu aku membawa Vidya pulang ke rumah Mas dan bukan ke apartemenku," gumam Yudistira penuh penyesalan.
***
Rasanya bagaikan mimpi bagi Vidya, Steven meninggal karena serangan jantung mendadak. Gadis itu pun sejak tadi hanya terdiam selama dari rumah duka hingga proses pemakaman berlangsung. Dia masih merasa sangat bersalah dan membenci dirinya karena kehamilannya membuat nyawa sang ayah jadi melayang.
"Vidya, ayo ikut Om ke rumah orang tua Om! Kita harus memberitahu mereka mengenai kehamilan kamu."
Vidya masih saja terdiam tak menjawab. Pandangannya sejak tadi hanya menatap kosong tanpa arah. Yudistira pun tetap memapah tubuh gadis itu ke mobilnya meski Vidya sama sekali tak melihatnya.
“Aku akan segera menikahimu, Vidya. Kamu nggak usah takut dan merasa sendirian. Papamu sudah menitipkan kamu sama, Om. Jadi, Om akan selalu menjaga kamu.”
Sepanjang perjalanan Vidya hanya diam menatap ke luar jendela mobil tanpa bicara sedikit pun.
"Ayo keluar! Kamu nggak usah takut ketemu orang tuaku, kan ada Om yang nemenin kamu." Yudistira pun keluar lebih dulu dari mobil. Berjalan memutari mobil dan membukakan pintu di sisi Vidya duduk.
Kini gadis itu pun mulai melangkah masuk ke dalam rumah bersama Yudistira yang terus menggenggam erat tangannya. Raut wajah Vidya yang terlihat sendu itu benar-benar mudah untuk dibaca siapa pun jika kematian Steven begitu memukul jiwanya.
"Eh, Yudis, apa sudah selesai pemakaman Steven? Kamu datang sama Vidya rupanya," ucap Rianti saat melihat sang putra dan melihat tangan yang saling bertautan itu membuat feeling-nya sebagai seorang ibu berkata jika ada sesuatu hal besar yang terjadi.
Pandangan mata Yudis memicing saat menyadari kehadiran dari adik dari mendiang istrinya, Hanie. Entah kenapa pertemuan orang tuanya dengan Hanie terkesan sangat formal. Di atas meja bahkan ada sebuah parsel yang berisikan aneka buah-buahan impor.
"Aku punya berita penting untuk kalian semua. Vidya sedang hamil anakku dan aku berencana untuk menikahinya secepatnya.”
"Yudistira! Jangan bercanda kamu, apa kamu tidak tahu jika kami sedang merencanakan pernikahan kamu dengan Hanie? Dia tidak masalah jika harus melakukan pernikahan turun ranjang dengan kamu. Sekarang kamu datang ke rumah ini dan berkata jika p*****r kecil ini sedang hamil anak kamu.''
Vidya terkesiap saat mendengar tuduhan yang menyakitkan dari Andri. Baru saja dia akan membalas perkataan pria berusia 65 tahun itu, Hanie sudah mendahuluinya.
"Dasar p*****r kecil! Dari awal aku ketemu kamu dulu, aku tuh udah tahu kalau kamu punya niat buruk sama Mas Yudis. Jujur aja, kamu sengaja kan menjerat Mas Yudis agar hamil biar kamu bisa dinikahin.” Hanie tampak begitu murka. Sorot matanya begitu tajam menatap wajah Vidya yang hanya bisa berdiam diri tanpa bisa melawan ucapan wanita itu. "Harusnya kamu sadar dengan perbedaan usia kalian, Mas Yudis itu pantasnya jadi Papa kamu atau sebenarnya jangan-jangan kamu hanya memanfaatkan Mas Yudis atas kehamilan kamu dengan pacar kamu yang tidak mau bertanggung jawab itu.” Hanie semakin tajam mencerca tanpa melihat jika Vidya saat ini butuh dikuatkan karena kematian ayahnya.
“Hanie cukup, ya! Jangan bicara seperti itu sama Vidya!” Yudistira tak tinggal diam. Coba membela Vidya agar tidak terus menerus disudutkan oleh Hanie.
“Kamu nggak usah bela dia, Mas. Sepertinya ayahnya udah gagal mendidik dia, pasti ayahnya meninggal karena dia.”
Merasa sudah cukup bersabar, Vidya yang tidak terima jika ayahnya yang sudah meninggal dihina pun akhirnya mulai bersuara dengan lantang, "Heh, Tante girang! Jaga bicaramu itu! Kamu nggak usah bawa-bawa ayahku yang udah nggak ada! Aku tegasin sama kamu, aku bukan p*****r seperti yang Tante tuduhkan itu!”
Tiba-tiba Andri mendekat. Berdiri di hadapan Vidya yang masih menatap tajam Hanie di depannya.
“Kamu tidak pantas bersama putraku. Pergi dan jangan pernah sekalipun kamu datang ke rumahku! Malang sekali Steven punya anak sepertimu, seorang wanita yang tidak bisa menjaga kehormatannya sampai hamil di luar nikah!”
Mendengar perkataan dari Andri, Vidya yang merasa sakit hati langsung berlari keluar. Gadis itu bersumpah di hatinya tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah itu seperti keinginan Andri tadi.
"Papa!" Rianti menegur sang suami yang mulai kelewatan.
"Memang itu kenyataannya dan Yudis, Papa tidak rela jika kamu mengejar gadis rendahan itu! Jika kamu bersikeras untuk mengejar p*****r kecil itu Papa tidak akan menganggap kamu anak lagi!" Suara Andri yang menggelegar seketika menghentikan langkah Yudistira yang baru dua langkah mengejar Vidya.