Bima mengajak Sovia makan siang di restoran barunya. Restoran yang baru Bima resmikan sebulan yang lalu. Dia di Jogja benar-benar fokus dengan usaha kulinernya. Bertemu Sovia adalah suatu kebetulan dan itu merupakan bonus dari sabarnya dia dalam mencari Sovia.
Bima yakin suatu hari dia pasti bertemu dengan Sovia. Keyakinan itu semakin teguh dalam hatinya, setelah opanya bilang Sovia pasti ada di Jogja. Di kampung halaman ayahnya.
Setelah sampai di Restorannya, Bima langsung memesankan makanan yang paling rekomended di restorannya. Dia memerintahkan pelayannnya untuk menyiapkan makanan yang ia pesan. Sambil menunggu pesanannya datang, Bima mengambil Aksa dari pangkuan Sovia.
“Sini sama papa.” Bima tanpa ragu menyebut dirinya papa di depan Aksa dan Sovia.
“Papa?” Sovia keget dengan Bima yang menyebut dirinya papa.
“Iya, papa. Kan kamu mamanya, tadi waktu di toko bunga bukannya sudah setuju Aksa manggil aku papa?” jawab Bima.
“Bim, jangan gitu?” Sovia sedikit menolak kemauan Bima yang mengajari Aksa memanggil dia papa.
“Kenapa? Enggak boleh? Lalu tadi?” tanya Bima.
“Bukan gitu, Bim. Setelah aku pikir, sepertinya tidak pantas deh, Bim. Kita kan belum nikah, dan mungkin tidak akan pernah bisa menikah,” jawab Sovia.
“Jangan nyerah, Sov. Aku akan berusaha mempertahankan hubungan ini, aku akan terus membujuk mama. Kalau pun mama tetap tidak mau merestui kita, aku akan tetap bersama kamu, kita nikah tanpa sepengetahuan mama. Ayah Alex merestui, opa juga, dan kamu masih memiliki wali, ada eyang kakungmu, ayah dari ayahmu, kita sah menikah, meski tanpa restu mama,” ucap Bima.
“Aku tidak akan menikah denganmu, tanpa ada restu dari Tante Riri,” ucap Sovia.
“Kenapa? Kamu ragu? Kamu takut aku tidak bisa membahagiakan kamu? Kamu takut durhaka?” tanya Bima dengan sedikit memaksa.
“Bukan itu, Bim. Menikah tanpa restu dari ibu itu akan percuma saja, Tuhan tidak akan Ridho dengan pernikahan kita, Bim. Dan, kamu akan menjadi anak durhaka,” ucap Sovia.
Bima hanya diam. Benar kata Sovia, menikah tanpa restu dari ibu, pasti Tuhan tidak akan Ridho dengan pernikahannya, dan dia pun akan menjadi anak yang durhaka, karena sudah menyakiti hati mamanya.
Ponsel Sovia berdering. Ada telfon dari Arga. Setiap hari memang Arga tidak pernah absen untuk menelfon Sovia dan menanyakan kabar Sovia. Sovia agak ragu untuk mengangkat telfon dari Arga. Dia tidak enak dengan Bima, dan dia pun tidak mau kalau Arga tahu dirinya bertemu Bima, karena dia takut kalau Arga akan memberitahu pada keluarga Bima kalau dirinya bertemu Bima.
“Ponselmu berdering, Sov? Enggak dijawab tuh telfonnya?” Bima menyuruh Sovia menjawab telfon yang entah dari siapa Bima tidak tahu.
“Ah iya, Bim,” jawab Sovia gugup, tapi dia tidak langsung mengangkat. Sovia melihaty layar ponselnya, dia ragu mau menjawab telefon dari Arga di depan Bima.
“Siapa? Arga?” tebak Bima, tapi memang benar dari Arga.
“Ehm ... i—iya, Bim. Aku gak angkat kok,” jawab Sovia, gugup.
“Dijawab saja, Sov. Kali saja penting?” ucap Bima, menyuruh Sovia menjawab telefon dari Arga.
“Enggak, Bim. Nanti dia tahu kamu di sini, terus bilang sama orang-orang di kantor, terus bilang sama Silvi, bisa jadi bilang sama Bagas dan keluarga kamu juga,” ucap Sovia.
“Enggak akan, Sov. Kalau itu penting soal kantor? Sudah angkat saja, aku akan diam,” ucap Bima.
Sovia mengerutkan keningnya. Bukan itu saja yang Sovia permasalahkan, dia tidak mau Bima sedikit tidak enak hati, karena Arga jarang membicarakan pekerjaan kalau menelefon dirinya. Arga hanya menanyakan kabarnya, dan tanya keadaan Aksa, lalu mengajak ngobrol sedikit dengan Sovia. Seperti itu setiap hari.
“Kenapa enggak di jawab? Tuh telfon lagi, kan?” ucap Bima.
“Iya, Bim aku angkat,” jawab Sovia.
Sovia menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Dan menjawab telefon Arga dengan sedikit ragu.
“Sovia ... dari mana saja sih kamu? Aku telefon baru dijawab?”
“Arga, aku sedang sibuk, kan kamu tahu dari tadi jam sembilan aku sudah banyak pengunjung untuk beli kue,.”
“Ini kamu sedang di mana?”
“Aku sedang makan siang, baru sempat makan, Ar. Sudah dulu aku mau makan, ya?”
“Kamu makan di mana? Sama siapa?”
“Aku makan di restoran yang dekat dengan toko bunga kok. Aku sendirian, Meta sama Febby tidak mau ikut, karena masih banyak pekerjaan. Jadi aku hanya sama Aksa saja.”
“Oh, ya sudah, makan dulu. Nanti aku telfon kamu lagi.”
“Iya, Ar.”
Sovia langsung mengakhiri panggilannya dengan Arga. Kening Bima berkerut, dia kira Arga akan membicarakan soal pekerjaan, tapi Arga Cuma tanya Sovia sedang apa dan di mana.
“Perhatian sekali Arga? Dia telfon Sovia hanya tanya sedang apa dan di mana?” gumam Bima.
Bima memakluminya, karena Arga adalah orang yang selama ini tahu keberadaan Sovia, dan mungkin juga tahu masalah dirinya dengan Sovia.
“Kamu tinggal dengan eyangmu saja di sini?” tanya Bima.
“Iya, sama Eyang, Paman, dan Bibi,” jawab Sovia.
“Arga sering ke sini?” tanya Bima.
“Sebulan sekali dia ke sini, menyerahkan laporan,” jawab Sovia.
“Menginap di rumah eyang, atau di hotel?” tanya Bima lagi.
“Kamu cemburu, Bim? Iya, dia menginap di rumah eyang, rumah yang dipakai paman dan bibi, yang dekat dengan panti,” jawab Sovia.
“Cemburu? Ya, dikit. Dia tahu kamu di sini, sedang aku tidak,” jawab Bima.
“Bim ....”
“Apa?”
“Jangan gitu ... kamu harusnya tahu, aku ke sini karena aku tidak mau kamu bermasalah dengan mama kamu lagi,” jelas Sovia.
“Alesha saja di rumah kamu, kan? Harusnya aku juga cemburu dia di rumah kamu. Apalagi dia kan wanita pilihan mamamu, dan sangat mencintaimu,” ucap Sovia dengan menunduk.
“Kamu cemburu, Sov? Aku suka dicemburuin kamu, biasanya kamu cuek sekali sama aku,” ucap Bima, terkekah.
“Ih, nyebelin kamu! Malah ketawa!” ucapnya sedikit manja.
“Aku senang, Sov. Dengar kamu yang cemburu, dan merajuk manja seperti ini,” ucap Bima.
“Ya, ada cemburu sedikit, Bim. Aku iri sama Sovia, dia direstui mama kamu, sedang aku?” ucap Sovia.
“Sudah, jangan bahas ini. Sekarang kita sudah bertemu, biarkan semua ini berjalan apa adanya. Aku tidak mau membuat kamu sedih, Sayang. Kita jalani ini sama-sama, ya?” ucap Bima.
“Senangnya dipanggil sayang,” ucap Sovia.
Bima memang jarang memanggil Sovia dengan sebutan sayang. Tidak seperti sepasang kekasih pada umumnya, yang selalu mengumbar kata sayang pada pasangannya. Bima orang yang cuek, tapi mengerti apa yang Sovia butuhkan. Hingga Sovia tidak pernah merasakan kekurangan perhatian dari Bima.
“Aku bukan laki-laki yang suka mengumbar sayang di depan umum, Sov. Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, tapi aku tidak bisa seperti mereka yang selalu menunjukkan cintanya pada pasangannya di depan umum. Manggil sayang di depan umum saat jalan berdua, mesra-mesraan. Aku tidak bisa seperti itu, yang aku tahu, aku hanya mencintaimu, dan aku ingin menjaga cinta ini hingga kita menua nanti,” ucap Bima.
“Kamu punya cara tersendiri untuk mengungkapkan cinta, Bim. Kamu bukan laki-laki pada umumnya. Itu yang membuat aku jatuh cinta sama kamu, itu yang membuat aku sangat mencintaimu, dan aku tidak tahu, kalau nantinya kita tidak bisa bersama, Bim,” ucap Sovia.
“Kita akan terus bersama, aku janji itu.” Bima menggenggam tangan Sovia, meyakinkan Sovia.
“Lalu mama? Mama kamu tidak merestui kita, Bim,” ucap Sovia.
“Aku tidak peduli, pokoknya kita akan terus bersama, meski kamu tidak mau menikah denganku tanpa restu mama. Kita akan bersama tanpa menikah, yang aku butuhkan kamu, Sov. Kamu pelengkap hidupku,” ucap Bima.
“Tidak menikah? Masa kita begituan tanpa menikah?” Sovia sedikit bingung dengan apa yang Bima katakan tadi.
“Dih, masa kita akan melakukannya sebelum menikah, Sov. Kita akan bersama, bersama bukan berarti kita bebas melakukannya sebelum menikah. Aku tidak ingin m*****i cinta suci ini, Sov. Tidak akan pernah,” jelas Bima.
Sovia yakin, Bima adalah laki-laki yang baik. Jangankan melakukannya, mencium Sovia saja jarang, sekalinya mencium, hanya mencium kening dan punggung tangannya saja.
Sovia semakin yakin dengan pria yang ada di depannya. Dia yakin Bima tidak akan pernah meninggalkannya, meski mamanya tidak merestuinya. Dia yakin suatu hari nanti dia akan bersama Bima, suatu hari nanti.
“Aku yakin cinta suci ini akan membawa kita hidup bersama. Meski tidak diikrarkan janji suci kita di dunia, tapi kita akan bertemu di dunia baru setelah kita tidak lagi di dunia ini, Bim. Ya, jika sampai aku mati tidak bisa menikah dengan kamu, mungkin Tuhan akan mempertemukan kita di Surga-Nya. Karena, aku yakin cintamu sungguh suci, tidak seperti laki-laki lain,” gumam Sovia.