LARA - 10

1507 Kata
Bima sudah berada di toko bunga milik Sovia. Sovia dari tadi sibuk karena banyak peelanggan yang datang membeli bunga dan membeli kue. Bima duduk di depan dengan memangku Aksa. Bima tidak menyangka Aksa langsung mau ikut dengannya. Padahal, Aksa baru mengenal dirinya. Sovia melihat kekasih hatinya sangat telaten mengajak Aksa. Bima pun tak segan-segan mau menyuapi Aksa makan. Dan, yang membuat Sovia kagum, Aksa langsung mau dengan Bima, pasahal baru saja mengenalnya. Kamu diajak Om Arga enggak pernah mau, tapi sama Om Bima, kamu langsung mau, disuapi Om Bima juga langsung mau. Maafin mama ya, Sayang? Mama sangat sibuk sekali hari ini.' Sovia bergumam dengan memandangi Bima yanh sedang telaten menyuapi Aksa. "Cie ... memandangmu ... walau selalu ...." Metta menyanyi lagu milik penyanyi kondang yang bernama Ikke Nurjanah di depan Sovia, saat Meta melihat bosnya sedang memandang Bima tanpa berkedip. "Apaan sih, Met!" tukas Sovia dengan kesal. "Pantas Bu Bos sama Pak Arga gak mau, lebih ganteng Pak Bima ...!" ucap Metta dengan semangat. "Dih apaan sih?! Iya sih, memang ganteng Bima ke mana-mana. Tapi, hubungan aku dengan Bima rasanya tidak bisa bersatu deh, Met. Mamanya Bima tidak menyetujui hubungan kami karena suatu hal. Itu mengapa aku ke sini, menghindari Bima, tapi malah kami bertemu lagi," curhat Sovia pada Metta, pegawai di toko bunganya, yang sudah dianggap dia seperti adiknya sendiri "Itu namanya Bu Bos berjodoh dengan Pak Bima. Bu, jangan patah semangat, pasti Tuhan ngasih jalan yang terbaik buat Bu Bos dan Pak Bima," ucap Metta. "Ya semoga saja. Ya sudah aku mau ke Aksa dulu, kasihan dari tadi aku cuekin Aksa." Sovia keluar menemui Aksa yang sedang bersama Bima. Ponsel Bima berdering. Dia mendapat telepon dari Alesha. Bima mencebikkan bibirnya, saat melihat nama Alesha di layar ponselnya. Sovia melihat raut wajah kekasihnya itu kesal melihat siapa yang menelefonnya. “Siapa? Apa itu Tante Riri?” tanya Sovia. “Bukan, Alesha,” jawab Bima. “Alesha? Angkat saja, kali itu urusan kantor,” ucap Sovia. “Dia di sini, Sov. Dia tadi pagi ke rumah. Aina yang memberikan alamat rumahku yang baru pada Alesha. Mau aku usir nanti urusannya tambah panjang sama mama. Ya, akhirnya aku biarkan dia di rumah,” jelas Bima. “Dia di sini? Tapi, dia tidak tahu aku di sini, kan? Kamu tidak cerita kalau aku di sini?” tanya Sovia. “Aku tidak memberitahukan itu,” jawab Bima. “Sov, kita coba bilang sama mama lagi, ya? Aku yakin mama bisa menerima kita kok,” bujuk Bima. “Aku tidak tahu, Bim. Aku tahu, Tante Riri sangat membenciku, tidak mudah untuk membujuk Tante Riri. Aku tahu rasanya sudah terlanjur sakit hati itu seperti apa,” ucap Sovia. “Apa salahnya kita mencoba, Sov?” bujuk Bima lagi. “Aku belum siap, aku masih ingin menenangkan pikiranku di sini, Bim. Jadi aku mohon kamu mengerti,” ucap Sovia. “Kamu mencintaiku, Sov?” tanya Bima. “Sangat, Bim. Aku sangat mencitaimu.” Sovia menyeka air matanya yang yang sudah ingin jatuh dari pelupuk matanya. “Jangan nangis, Sov. Kita lalui ini bersama, mau mama setuju atau tidak, aku tidak akan menyerah pada hubungan ini. Aku janji,” ucap Bima. “Jangan berjanji, Bim. Takutnya, kamu berubah pikiran. Manusia itu kan gampang terbolak-balik hatinya. Kita jalani apa adanya. Kalau niatan kita baik, Tuhan pasti memberikan jalan yang baik, meski kita tidak pernah akan bersatu dalam ikatan suci cinta yang di sebut pernikahan,” ucap Sovia, pasrah. “Kita belum mencoba bicara dengan mama lagi, Sov. Jangan menyerah. Kalau pun mama tidak merestui selamanya, ada ayah yang merestui hubungan kita. Ada opa yang sangat mendukung kita, kita bisa menikah, yang terpenting ada wali dari kamu,” jelas Bima. “Itu tidak akan bisa, Bim. Bagaimana mungkin pernikahan akan berjalan mulus kalau tanpa restu dari orang tua? Terlebih dari ibu,” ucap Sovia. “Aku yakin, setelah kita menikah mama pasti akan bisa menerima hubungan kita, Sov. Percaya padaku,” ucap Bima. “Itu menurut kamu. Mama mungkin bisa menerima, tapi aku menghargai perasaan mama. Mama sudah sakit hati dan sangat benci denganku. Aku tahu rasanya jadi Tante Riri, ketika suaminya lebih memilih aku dan bundaku, ketimbang dirinya yang sedang mengandung kamu. Aku merasakan betapa sakitnya hati Tante Riri saat itu. Aku wanita, sama seperti Tante Riri, tidak ada wanita yang tidak benci dengan seseorang yang sudah menghancurkan bahtera rumah tangganya, Bim. Biar aku yang menanggung kesalahan bunda dan Papa Reza. Bair aku yang menderita menanggunggnya.” Sovia terisak, dadanya sesak, dan butiran kristal dari sudut matanya berjatuhan. “Jangan seperti itu, Sov. Kamu berhak bahagia, dan aku janji, akan membahagiakan kamu. Meski tanpa restu dari mama. Hanya mama yang tidak merestui, semua merestui, Sov. Kalau papa dan opa tidak merestui, untuk apa mereka mengizinkan aku ke sini? Mereka tahu di mana kampung halaman ayah kamu, jadi mereka tahu ke mana perginya kamu untuk menghindari aku,” jelas Bima. “Kita bicarakan ini nanti, Bim. Aku masih fokus dengan pekerjaan baruku, dan fokus untuk Aksa,” ucap Sovia. “Terserah kamu, Sov. Yang penting aku akan tetap berusaha, agar kita bisa menikah. Aku akan di sini, terus bersama kamu. Meski dunia ini tak berpihak pada kita, dan menghalangi niat tulus dan suciku untuk menikahimu,” ucap Bima dengan lugas. “Aku percaya kamu sangat mencintaiku. Tapi, restu orang tua sangat penting dalam pernikahan, Sayang. Kita jalani apa adanya dulu. Banyak mimpiku dan mimpimu yang belum kita capai. Meski tujuan dari mimpi kita adalah bisa hidup bersama, membangun sebuah rumah tangga. Percayalah, Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik. Jalani apa yang ada sekarang. Aku mencintaimu, Bima.” Sovia menggenggam tangan Bima dengan erat. “Aku juga sangat mencintaimu,” balas Bima dengan mengangkat tangan Sovia dan menciumnya. Tapi, dengan cepat Sovia menarik tangannya. “Jangan sembarangan! Di sini banyak orang!” tukas Sovia. “Daripada ciumnya diem-dieman berduaan tanpa ada orang, yang ada di sesatkan setan,” jawab Bima dengan terkekeh. “Dasar!” Sovia memukul lengan Bima dengan tertawa. “Gitu dong tertawa, kan cantik. Ya kan, Sayang?” ucap Bima dengan mencium Aksa. “Sini sama mama, Sayang. Maaf, mama cuekin kamu dari tadi. Untung ada Om Bima, ya? Sini sama mama.” Sovia mengambil Aksa dari pangkuan Bima dan menciuminya. “Dia gak rewel kan, Bim?” tanya Sovia. “Enggak dong, masa sama papa rewel ya, Nak? Kan mamanya lagi kerja,” jawab Bima. “Papa?” Sovia tertegun mendengar Bima menyebutkan papa di depan Aksa. “Kamu kekasihku, dia memanggil kamu mama, dia juga harus manggil aku papa. Enggak mungkin orang tua itu satunya dipanggil mama satunya dipanggil om? Iya, kan?” jawab Bima. “Iya ... ya ... ya ... Jadi, Aksa manggil kamu papa, nih?” ucap Sovia dengan terkekeh. “Iya dong, harus!” jawab Bima, tegas. Seulas senyum kebahagiaan terpancar dari wajah Sovia. Senyum yang selama hampir satu tahun padam. Dia hanya bisa senyum  ketika bermain dengan anak panti, dan melihat kelucuan Aksa. Bima sangat bahagia. Akhirnya dia menemukan wanita yang ia cintai lagi. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Tidak akan pernah lagi membiarkan wanita yang ia cintai pergi. “Aku akan berusaha meyakinkan mama lagi, Sov. Aku janji itu,” gumam Bima. ^^^ Alesha masih kesal dengan Bima. Telfonnya dari tadi tidak di jawab oleh Bima. Dia kesal, dan akhirnya dia membuang ponselnya ke tempat tidur. Alesha merebahkan tubuhnya. Dia membayangkan kalau dia bisa memiliki Bima, dan menjadi istrinya. Semua usaha sudah papanya lakukan supaya Bima mau dijodohkan  dengan dirinya. Tapi, semua sia-sia. Bima tetap menolaknya, dan papanya Alesha juga tidak mau memaksakan Bima. Beliau mau putrinya menikah dengan orang yang sangat mencintainya, bukan yang dicintainya. Papanya Alesha tidak ingin Alesha menderita karena menikah dengan laki-laki yang tidak mencintai putri semata wayangnya yang sangat beliau cintai. Beliau pun tahu, kalau Bima sangat mencintai Sovia. Putri dari sahabatnya. Ya, Arfan adalah sahabat baik Yusuf, papa dari Alesha. Alesha mencoba menghubungi Bima lagi, karena dia ingin nanti malam di ajak dinner dengannya, sebelum dia pulang ke Surabaya. Meski manja dan kemauannya untuk bersama Bima tinggi, tapi dia tetap tahu tanggung jawabnya terhadap pekerjaannya di kantor. “Ini Bima lagi apa, sih? Macam pekerjaan kantoran saja, dia kan pasti Cuma duduk-duduk di restoran, mengawasi karyawannya kerja? Masa telfon saja dia tidak angkat? Apa aku minta antar Pak Roni saja buat jemput aku di sini, dan mengantar aku ke Restoran atau cafenya Bima? Ah ... kamu jan bodoh, Al! Kamu kan gak tahu alamat Resto dan Cafenya Bima?” gumam Alesha. Alesha mencoba menghubungi Bima lagi, tapi hanya ada jawaban dari operator saja. “Lagi-lagi operator yang jawab? Bima ngeselin banget ih!” gerutunya, kesal. Alesha akhirnya memilih mengirimkan pesan pada Bima. Dia hanya ingin bicara pada Bima, kalau dia ingin mengajak makan malam Bima sebelum besok pagi ia pulang. “Bim, nanti malam makan malam di luar, ya? Kan besok aku dah balik ke Surabaya ... please ... mau, ya?” Alesha meletakkan kembali ponselnya di sebelah dirinya. Sovia yang semalam tidak bisa tidur, akhirnya dia memejamkan matanya sambil menunggu Bima pulang kerja, atau menunggu balasan Bima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN