Bima melajukan mobilnya menuju ke kantor Sovia. Dia langsung masuk ke dalam, namun hanya Arga, teman sekaligus orang kepercayaan Sovia yang ia temui. Benar, Sovia sudah pergi dari tadi pagi. Arga tidak mengatakan ke mana Sovia pergi pada Bima. Itu semua Sovia yang mau dan memohon pada Arga agar tidak memberitahukan pada Bima. Padahal Arga tahu, ke mana Sovia pergi.
“Aku mohon, Ga ... katakan padaku, di mana Sovia,” mohon Bima.
“Dia hanya bilang akan pergi, Bim. Dan, mungkin tidak akan kembali lagi. Dia bilang mau mencari ketenangan. Kamu sudah baca surat dari dia, kan?” ucap Arga.
“Iya, sudah. Jadi benar, dia pergi, Ga?” tanya Bima tidak percaya.
“Bim, untuk apa aku bohong? Dia bilang mau cari ketenangan, jadi mengertilah,” jawab Arga.
“Apa dia akan kembali, Ga?” tanya Bima.
“Aku tidak tahu, Bim,” jawab Arga,
Arga tahu, Sovia tidak akan mau kembali ke Surabaya. Dia ingin menenangkan diri di sebuah tempat yang menurutnya aman. Sovia bilang pada Arga, kalau dirinya pergi bukan untuk melupakan Bima. Sovia pergi untuk mencari ketenangan dan membawa cintanya Bima, ke mana pun dia pergi. Itu semua karena cinta untuk Bima sangat berharga bagi dirinya, dan mencintai Bima adalah kekuatannya.
“Bim, kamu harus percaya, ke mana pun Sovia pergi, dia akan selalu mencintaimu. Cinta untukmu selalu Sovia bawa ke mana pun dia pergi. Percayalah,” tutur Arga.
“Aku tahu itu, Ga. Bahkan diriku pun berjanji, jika selamanya mama tidak merestui hubunganku dengan Sovia, aku tidak akan pernah menggantikan Sovia dalam hatiku dan dalam hidupku. Aku rela membawa cinta suci untuk Sovia sampai aku menutup mata, Ga. Aku sudah janji itu, tak apa aku tidak pernah menikah seumur hidupku, karena aku memiliki cinta yang suci untuk Sovia,” jelas Bima dengan menyangga kepalanya menggunakan kedua tangannya.
“Bim, jangan seperti itu. Hidup itu berputar, kamu tidak boleh seperti itu,” tutur Arga.
“Enggak, Ga, aku sudah janji pada diriku sendiri, dan aku akan tepati janjiku ini,” ucap Bima.
“Aku pamit, Ga. Ada meeting jam dua nanti, mumpung belum terlambat,” pamit Bima.
Arga duduk, termenung melihat Bima yang pergi dari ruangannya. Ada rasa ingin memberitahukan Bima ke mana Sovia pergi, tapi dia tidak mau Sovia jadi terganggu dan semakin merasa bersalah dengan mamanya Bima. Sovia selalu meyalahkan dirinya sendiri, lantaran mamanya Bima selalu menganggap Sovia dan almarhum bundanya perebut kebahagiaan Bima dan mamanya.
“Maaf, Bim. Mungkin jika kalian berjodoh, Allah akan mempertemukan kalian kembali. Aku ingin Sovia bahagia, meski aku mencintainya, aku tidak akan memaksa dia untuk melupakanmu dan menerima cintaku. Aku tahu hati Sovia untuk siapa, hanya untuk kamu, Bim,” gumam Arga.
Bima kembali ke kantornya. Dia melihat Bagas dengan Alesha berjalan ke ruang meeting. Alesha mengembangkan senyumnya melihat Bima kembali ke kantor.
“Bima ....!” Alesha bergegas mendekati Bima yang sedang berjalan menuju ke arahnya.
“Aku kira kamu tidak kembali, Bim,” ucap Alesha dengan sumringah dan menggelayuti lengan Bima.
“Ini di kantor. Kamu tahu aku siapa, dan kamu siapa?” Bima menyingkirkan tangan Alesha yang ada melingkar di lenganya.
“Mana dokumennya, Gas.” Bima meminta dokumen yang Bagas bawa.
“Untung kamu datang tepat waktu, Bim. Klien kita masih dalam perjalanan menuju ke sini,” ucap Bagas.
“Sia-sia, Gas. Dia sudah benar-benar pergi,” ucap Bima dengan tatapan sendu.
“Semangat, Bro! Kamu pasti bisa melalui ini. Ayo kita ke ruang meeting bersama, aku dampingi kamu,” ucap Bagas.
“Kok kamu ikut, Gas?” tanya Alesha.
“Jangan berduaan, nanti yang ketiga setan!” jawab Bagas dengan berjalan di samping Bima.
“Kan aku sekretarisnya, Gas ... wajarlah aku menemani Bima!” kesal Alesha.
“Iya, sekretaris yang masuk lewat jalur Nepotisme! Kalau tidak karena papamu mana bisa!” jawab Bagas.
Alesha mengerucutkan bibirnya. Dia berjalan mendahului Bima dan Bagas dengan cepat dan mulutnya menggerutu kesal.
“Tuh lihat, masa iya seorang Bima yang gagah seperti ini mau dijodohkan sama perempuan macam tu? Childish banget, kan? enggak cocok sama kamu!” ucap Bagas.
“Hanya mama yang bilang dia sempuran, Gas,” ucap Bima dengan terkekeh.
“Gitu dong bro, ketewa! Nanti malam nonton konser, yuk?” ajak Bagas.
“Apa istrimu memperbolehkan?” tanya Bima.
“Tenang, Ratna orangnya enakan, Bim,” jawab Bagas.
“Oke, nanti malam kita berangkat. Mungkin aku pun harus mencari ketenangan, tapi bukan untuk mencari pengganti Sovia, Gas. Dia tidak akan pernah terganti,” ucap Bima.
“Iya, aku tahu. Yang penting kamu jangan terpuruk, Bim. Kamu harus semangat, kamu itu paling tua, dan sebagai panutan aku juga adik-adik kita, Bim,” ujar Bagas.
“Iya, Gas ... iya ...,” ucap Bima.
Bima sedikit lega, karena dia merasa Sovia akan baik-baik saja. Meski sekarang dia sangat sakit hatinya, dia akan menyimpan sakitnya demi mama yang ia cintai, demi adik-adiknya yang sangat ia sayangi. Ikatan batinnya dengan Sovia sangat kuat. Hari ini Bima merasa Sovia baik-baik saja, meski dirinya tidak tahu di mana Sovia sekarang.
^^^
Seusai meeting dengan klien penting hari ini. Bima mengajak kliennya untuk observasi ke pabrik yang berada di belakang kantornya. Alesha berjalan di sisi Bima, dia mencuri kesempatan untuk bisa dekat dengan Bima. Meski sering dibentak Bima, Alesha tidak menyerah untuk mendapatkan cinta Bima.
“Saya semakin yakin untuk bekerja sama dengan perusahaan anda, Pak Bima,” ucap Pak Rio, kliennya.
“Terima kasih banyak, karena anda sudah mempercayai perusahaan kami, Pak,” jawab Bima.
“Kalau begitu, saya pamit, Pak Bima,” pamit Pak Rio.
“Ah, iya, Pak. Terima kasih sekali lagi,” jawab Bima.
Bima mengantar Kliennya sampai di loby kantornya, sekalian dirinya akan pergi lagi. Aina minta diantar dirinya ke toko buku. Aina adik perempuan Bima satu-satunya yang sangat ia sayangi. Dia sekarang sudah menjadi seorang gadis. Usianya sudah menginjak dua puluh tahun, dan masih kuliah semester lima.
“Bima ...!” panggil Alesha.
“Apalagi?!” jawab Bima sedikit kesal.
“Kamu mau ke mana?” tanya Alesha.
“Harus tahu gitu, aku mau ke mana? Mau lapor sama mama? Silakan lapor saja!” jawab Bima dan langsung meninggalkan Alesha dengan tersenyum sinis.
“Bim ...! Bima ...!” panggil Alesha dengan teriak, tapi Bima tidak menghiraukannya.
Bima mengemudikan mobilnya menuju kampus Aina. Dia semakin terkekang kalau di kantor, karena sekretarisnya tidak hanya mengatur jadwalnya, tapi sekretarisnya mengatur semua hidupnya, mengekang dia, dan tidak ada kata bebas lagi Bima di kantornya. Apalagi setelah mamanya tahu dirinya menjalin hubungan dengan Sovia. Alesha semakin agresif untuk mendekati Bima.
“Bisa-bisa gila aku kalau di kantor terus! Alesha tambah ke sini bukannya kerjanya tambah bener, tapi malah posesif dan agresif. Menakutkan sekali perempuan seperti itu. Cantik sih, tapi Childish banget. Apa-apa selalu lapor mama. Lagian mama, orang yang harusnya masih belajar di taman kanak-kanak di jodohkan sama aku. Dijadikan sekretaris pribadi lagi! Jauh sekali dengan Sovia, meski cantiknya Alesha mengalahkan Sovia,” gumam Bima.
Bima melihat poselnya berdering, ada panggilan masuk di ponselnya. Mamanya menelfon. Bima hanya tersenyum kecut, pasti sekretaris gilanya itu mengadu pada mamanya.
“Hallo mama, Sayang, ada apa? Bima mau menjemput tuan putri mama yang manja di kampusnya. Apa Alesha menelfon mama? Memberitahukan kalau Bima mau menemui Sovia? Sovia sudah pergi dari Surabaya, entah di mana, mama sudah puas?!” ucap Bima.
“Bima ... Bima ... mamanya nelfon malah seperti itu. Kamu mau jemput Aina di kampusnya? Iya tadi Alesha bilang sama mama, kamu keluar kantor lagi. Bagus, kalau Sovia pergi, itu namanya dia menepati janjinya!” ucap Riri.
“Mama ... mama ... sampai kapan anak mama ini dipantau sama anak TK?! Bima punya kehidupan sendiri, Ma! Tolong dong, Ma, percaya sama Bima. Bima tidak betah di kantor kalau gini caranya, Ma. Mending Bima terima tawaran Eyang Johan buat buka beberapa Restoran di Jogja, jadi pebisnis kuliner sepertinya asik.”
“Kamu bilang apa? Anak TK? Mama tidak setuju, kamu tidak usah ngayal! Kamu sudah mengurus perusahaan ayah, mengurus bengkel resmi milik papa kamu, sekarang mau buka restoran? Waktu kamu untuk menikmati masa muda kamu kapan?”
“Bima tidak mau seperti itu, Bima ingin mengembangkan usaha Bima saja. Pokoknya Bima tertarik, Ma, mau buka Restoran di Jogja, dengan Eyang Johan,”
“Terserah kamu, Bim! Jangan malam-malam pulangnya, mama bicara.”
“Iya, nanti pulangnya sekalian pagi, Ma!”
Bima mengakhiri pembicaraannya dengan mamanya. Benar, Alesha mengadu pada mamanya. Bima hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat kelakuan Sekretarisnya yang seperti anak TK.