Dear Bimantara,
Maafkan aku jika setalah membaca surat ini kamu tidak bisa menemuiku lagi, Bim. Maaf jika aku pergi, dan mungkin tidak akan pernah kembali ke kota kelahiranku. Kota yang penuh dengan kenangan, penuh tawa, tangis, suka, dan duka bersama denganmu.
Mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, tapi pada kenyataannya semesta tak mendukung cinta kita bersatu, Bim. Lantaran mamamu tidak merestui cinta kita.
Aku memang perebut kebahagiaan Tante Riri dan kamu, Bim. Aku sadar itu. Tidak salah mamamu masih sangat membenciku dan mungkin rasa sakit dan benci mamamu padaku tidak akan pernah padam. Tapi, itu tidak masalah bagiku, aku bahagia dicintai kamu, Bim. Kamu lelaki terbaik setelah ayah Reza.
Bim, izinkan aku membawa cintamu, ke mana pun aku pergi. Kamu tidak usah mencariku, aku selalu ada di hati kamu. Jika memang kamu menemukan wanita lain, aku pun ikhlas. Yang terpenting adalah mamamu merestuinya. Cinta tanpa Restu orang tua, seperti hidup tanpa napas, Bim. Mati. Mati seluruh rasa, karena kita menyakiti hati orang tua kita.
Kamu laki-laki, kamu harus bisa membahagiakan mamamu. Tante Riri sudah cukup menderita karena bunda dan aku. Kami salah, Bim. Dan, aku sadar akan itu.
Aku pamit ya, Bim. Aku harus mencari ketenangan hidup. Aku pergi bukan untuk melupakanmu, tapi aku ingin membawa cintamu pergi, Bim. Untuk apa aku dekat dengan kamu, tapi aku tidak bisa memiliki ragamu. Aku jauh darimu, tapi aku bahagia, karena aku membawa cintamu, ke mana pun aku pergi.
Aku mencintaimu, Aryasatya Bagus Bimanatara.
Aku, yang mencintaimu, Sovia Larasati
Bima mengusap wajahnya dengan kasar. Air matanya menyeruak keluar sangat deras. Dia tersedu, menundukan wajahnya di atas meja kerjanya. Bima menangis, karena dia tidak bisa mengubah hati mamanya agar bisa menerima Sovia.
“Sovia Larasati, jangan pernah melara lebih dalam. Aku janji, aku akan menemukanmu, dan cinta kita akan bersatu, Sov. Kamu satu-satunya wanita yang sangat aku cintai, Sovia Larasati. Tetaplah tersenyum, meski lara selalu meyapa hatimu saat ini. Maafkan aku, aku gagal membujuk mama. Selalu jaga diri baik-baik, Sov, di mana pun kamu berada.” Bima memandangi foto dirinya dan Sovia dalam ponselnya.
Bima melipat surat dari Sovia. Percuma dirinya mencari Sovia ke kantor atau rumahnya, pasti Sovia sudah pergi. Tapi, dirinya yakin Sovia masih ada di sini.
“Bima, jam dua ada meeting,” ucap Alesha.
“Serahkan pada Bagas. Aku ada urusan, Al,” ucap Bima.
“Bim, ini klien penting, dan ingin kamu yang menemuinya!” ucap Alesha.
“Aku bilang, kamu hubungi Bagas! Aku tidak bisa!” tegas Bima dan langsung keluar dari ruangannya.
“Karena ini kamu malas meeting, Bim?!” Alesha menunjukan surat dari Sovia yang ia temukan di meja kerja Bima.
“Dear, Bimantara ....” Alesha mencoba membaca surat dari Sovia dengan keras, tapi belum juga melanjutkan membaca, Bima langsung merebut surat Sovia dari tangan Alesha.
“Jangan lancang, kamu! Jangan mentang-mentang kamu di sini sekretaris pribadiku, kamu lancang mengambil apa milikku dan mengatur hidupku! Camkan itu!” tegas Bima dengan penuh kemurkaan.
“Aku bisa mengadukan ini pada Tante Riri,” ancam Alesha.
“Silakan! Atau aku pecat kamu!” tukas Bima.
“Mau memecat aku? Bisa? Buktikan!” ucap Alesha dengan langsung pergi meninggalkan ruangan Bima.
“Alesha! Jangan macam-macam kamu! Kamu di sini hanya sekretaris!” sarkas Bima.
“Papaku juga bekerja sama dengan perusahaan ini, Bima. Apa kamu lupa? Kalau papa mengakhiri kerja sama secara sepihak, kamu bisa apa, hah?!” balas Alesha.
“Arrggghhtt ...!” Bima meramas rambutnya dan mengusap kasar wajahnya.
Alesha ada di kantor dan menjadi sekretaris dirinya karena atas permintaan Alesha. Dia merayu papanya untuk menjadi sekretaris pribadi Bima, karena Riri suka dengan Alesha, dan berniat akan menjodohkan Alesha dengan Bima, Riri setuju kalau Alesha menjadi sekretaris Bima.
Berbeda dengan Alex. Meski dia ayah sambung Bima, dia selalu mengerti Bima. Dia selalu mengerti apa yang Bima rasakan, dan tidak pernah mengatur Bima masalah asmaranya dengan wanita yang Bima pilih.
“Bim, kamu kenapa?” tanya Bagas.
“Gas, tolong kamu menggantikan meeting, ya? Bisa, kan? Aku mau ke kantor Sovia,” ucap Bima.
“Oke, aku gantiin kamu. Tapi, kenapa kamu tiba-tiba ingin ke kantor Kak Sovia?” tanya Bagas.
“Ini, aku ingin memastikan dia masih di sini atau benar-benar sudah pergi.” Bima memberikan surat Sovia pada Bagas.
“Bim, Kak Sovia pergi?” tanya Bagas.
“Ya, seperti apa yang dia jelaskan salam suratnya, tapi aku yakin, dia masih ada. Aku harus ke kantornya, Gas, atau ke rumahnya, atau bila perlu aku akan mencarinya di setiap sudah Surabaya,” ucap Bima dengan langsung pergi.
“Bim, pikirkan perasaan mama,” tutur Bagas.
“Aku tahu, dan aku memikirkan itu, Gas. Tenang saja,” ucap Bima dengan menepuk pundak Bagas. “Aku titip kantor, Gas,” pungkasnya dan langsung berlalu pergi meninggalkan ruangnya.
Bagas tidak menyangka Bima akan jatuh cinta dengan Sovia. Bagas juga melihat, Bima sungguh-sungguh mencintai Sovia. Sovia pun seperti itu.
“Kasihan kamu, Bim. Giliran suka sama perempuan, malah yang mama enggak suka, dan mama masih sangat membenci Kak Sovia. Selamat berjuang, Bim. Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuk kamu dan Kak Sovia,” gumam Bagas dengan melihat saudaranya pergi meninggalkan kantor.
Bagas duduk di kursi Bima. Bima memang lebih bijak mengatur perusahaan daripada Bagas. Dia memang sedikit tidak serius dalam menjalankan Bisnis, tidak seperti Bima.
“Mereka memang cocok,” ucap Bagas lirih dengan melihat foto Bima dengan Sovia yang ada di laci meja kerjanya.
Telefon berdering, dan sedikit membuat Bagas terjingkat. Bagas mengangkat telfon.
“Bima, kamu di kantor, Nak? Ponselmu kenapa tidak aktif.”
“Ma, ini Bagas. Bima sedang keluar.”
“Benar dia menemui Sovia lagi?”
“Bagas tidak tahu, Ma. Bagas lagi menggantikan Bima, karena Bima sedang ada urusan mendadak.”
“Kamu jangan menutup-nutupi kelakuan Bima, Gas! Mama tahu, dia menemui Sovia.”
“Ma, mama ngerti Bima dong, dia hanya menemui sebentar, karena Sovia akan pergi.”
“Mama tidak peduli itu!”
Riri langsung menutup telfonnya. Bagas hanya menggelengkan kepalanya. Bagas tidak tahu, kenapa mamanya masih sangat membenci Sovia. Padahal Sovia wanita yang baik, jauh dari Alesha yang galak, manja, dan selalu ingin menang sendiri.
“Bagaimana Bima mau mencintaimu, Al. Menyukai sikapmu saja tidak. Kamu terlalu Childish untuk Bima, Al. Aku saja tidak setuju kalau kamu sama Bima,” gumam Bagas.
Bagas menyiapkan semua dokumen untuk meeting siang nanti. Bagas tahu, Bima akan kembali, karena Sovia pasti sudah pergi. Tidak mungkin Sovia masih berada di Surabaya. Sovia wanita yang memiliki pendirian, dia ingin menenangkan diri, bukan untuk melupakan Bima.