Kedatangan Pengacau

1082 Kata
Bagian 3 "Hai Kirana, udah ngantin aja enggak ngajak-ngajak," protes Hamidah. Gadis berjilbab abu-abu dan berkacamata itu lalu duduk di samping Kirana. Dia kesal karena biasanya mereka selalu ke kantin sama-sama. "Maaf ya Midah, aku lupa ngajak kamu," jawab Kirana sejujurnya. Memang, Kirana terlihat seperti bercanda, tetapi itulah kenyataannya. Pikirannya bercabang-cabang sehingga dia melupakan sahabat karibnya sendiri. Saat waktu istirahat tiba, Kirana langsung mengambil keripik jualannya tadi dan membawanya ke kantin. Setibanya di kantin, dia malah duduk dan melamun. "Nah, begini nih! Katanya bestie, tapi dilupakan." "Maaf …." ulang Kirana. "Udah, enggak apa-apa! Bercanda, kok. Oh ya, Hari ini kamu bawa lauk apa? Aku bawa ayam goreng sama tumis bunga kates kesukaan kamu, loh, mau?" tawar Hamidah sambil mengeluarkan kotak makannya. "Kalau itu enggak usah ditanya, pasti mau lah!" Kirana dan Hamidah segera membuka kotak makannya masing-masing. Lalu Kirana menyendok tumis bunga kates yang dibawa oleh Hamidah ke atas tempat makannya. "Aku tadi cuma sempat nyeplok telur. Bahkan enggak sempat sarapan," ucap Kirana. "Oh, gitu? Berarti kamu harus berterima kasih padaku karena sahabatmu ini udah repot-repot masak sayur kesukaan kamu. Aku baik, kan?" "Iya, kamu baik banget Midah, makasih ya. Dan ini buat kamu, telur ceplok ala aku. Maklumlah ya, ini tanggal tua, cuma bisa masak yang ada aja." Telur ceplok itu adalah stok terakhir di rumah Kirana. Bukan hanya telur yang habis, bahkan beras juga habis. Hari ini adalah tanggal gajian. Rencananya, Kirana akan membeli kebutuhan pokok setelah pulang mengajar nantinya. "Kamu juga baik, Kirana. Makasih ya." Hamidah terharu. Dia tahu bagaimana kondisi ekonomi Kirana, dan dia salut karena Kirana tidak pelit dan selalu berbagi dengannya. Bukan hanya padanya saja. Bahkan Kirana juga suka berbagi kepada sesama meskipun hidupnya sendiri serba kekurangan. Setelah berdoa di dalam hati, Kirana dan Hamidah pun langsung memasukkan suapan pertama ke mulut mereka. Kirana tak lupa menambahkan kerupuk harga seribuan ke atas nasinya. Dia tidak enak hati kepada penjaga kantin kalau hanya menumpang duduk saja. "Kirana, kamu udah ketemu guru baru itu, belum? Oh iya aku lupa, kamu tadi datang terlambat ya, jadi enggak sempat kenalan sama guru baru itu. Orangnya ganteng banget, loh! Hidungnya mancung, tubuhnya tinggi, dan satu lagi, senyumnya itu, loh, menggetarkan." Kirana tidak menjawab, pun tidak menanggapi. "Kamu tahu enggak, meja kerja dia ada di samping meja aku, loh! Jadi aku bisa pedekate sama dia. Udah punya istri belum, ya? Kalau masih single, aku mau lah jadi istrinya," lanjut Hamidah lagi sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangan. Dia membayangkan sosok Raka yang begitu sempurna di matanya. "Kirana, kamu dengar aku enggak, sih?" Hamidah kesal karena Kirana tak menghiraukannya. "Iya dengar," jawab Kirana ketus. "Ih, Kirana! Nyebelin deh! Kamu "Ya mana aku tau! Coba tanya langsung sama yang bersangkutan." "Ih, Kirana! Kamu tuh ya!" "Kita ke sini tuh buat makan atau mau menggosip? Yuk makan! Waktu istirahat cuma sebentar loh. Jadi, pergunakanlah waktu sebaik mungkin." "Iya-iya, Bu guru Bawel!" sahut Hamidah sambil mengaduk-aduk nasinya. Dia tiba-tiba kehilangan selera makan karena teringat kepada guru baru itu. Kirana lalu tertawa melihat tingkah rekannya itu. "Lagi falling in love ya?" ledek Kirana. "Kamu kepo!" Kedua gadis yang berprofesi sebagai guru honorer itu lalu tertawa bersama, kemudian melanjutkan makannya kembali. *** Di atas bangku kayu yang berada di dekat pos satpam, Widya sedang duduk gelisah. Tangannya dia kipas-kipaskan ke wajah untuk menghilangkan rasa panas. "Bang Raka lama banget, sih!" umpatnya. Widya kembali memainkan ponselnya dan menghubungi Raka, tetapi teleponnya tidak diangkat. Dia pun beranjak dari tempat duduknya dan berniat menyusul Raka. "Mbak mau ke mana?" tanya Pak satpam saat melihat Widya berdiri. "Mau nyusul calon suami saya," jawab Widya ketus. "Tunggu di sini saja, kalau urusannya sudah selesai pasti dia bakalan keluar, kok." Pak satpam memberi saran. "Biar kususul saja!" "Jangan, orang asing yang tidak berkepentingan dilarang masuk, Mbak." Widya merasa kesal karena dikatai orang asing. Dia kemudian membuat alasan yang masuk akal agar bisa masuk ke dalam. "Aku mau ke toilet. Masa iya, pipis di sini?" "Yaudah, sana." Pak satpam akhirnya memberi ijin. Widya berjalan dengan angkuh mencari sosok seseorang. Bukan Raka yang mau ditemuinya, melainkan Kirana. Ide jahat tiba-tiba muncul di benaknya. Widya bertanya kepada murid-murid yang sedang bermain di lapangan dan mereka menunjuk ke arah kantin. Dari jarak sekitar dua puluh meter, dia sudah bisa melihat sosok yang dicarinya. "Di sana dia rupanya!" batin Widya. Widya tersenyum sinis. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi satu sekolahan jika dirinya membongkar masa lalu Kirana. "Tumis daun katesnya enak, ya. Besok bawa lagi, dong." "Gampang, dua seringgit," jawab Hamidah menirukan gaya bicara salah satu tokoh dalam film kartun kesukaan anak-anak Indonesia. "Boleh deh, pesan empat ya. Berarti dua Ringgit," timbal Kirana, lalu mereka berdua kemudian menertawakan kekonyolan mereka. Widya sudah semakin dekat dengan kantin. Matanya terus menatap tajam ke arah Kirana. Emosinya sudah menggebu-gebu. Dia sudah siap untuk mempermalukan gadis yang dulunya pernah menjadi sahabat karibnya itu. Sedangkan Kirana, sama sekali tidak melihat keberadaannya. "Kirana!" Widya langsung menggebrak meja ketika tiba di depan meja Kirana dan Hamidah. Setelahnya, tanpa basa-basi, Widya langsung menghempaskan kotak makan milik Kirana yang baru berkurang setengahnya itu ke lantai. Hal itu sontak menjadi perhatian murid-murid dan guru-guru lain yang sedang jajan di kantin. Kirana terkejut bukan main. Dia menatap tak percaya. Nasi yang berada di dalam kotak makan tersebut telah tumpah dan tidak bisa dimakan lagi. Bahkan kotak makannya pun ikut pecah. Kirana segera berdiri dari tempat duduknya dan menatap tajam wanita yang berdiri tepat di hadapannya. "Kenapa? Mau marah?" Widya malah menantang padahal jelas-jelas dirinya yang salah. "Ya Allah, apa yang akan dilakukan Widya? Apa dia mau mempermalukanku dan membongkar masa laluku di depan semua orang?' batin Kirana bertanya-tanya. Kini gadis yang memiliki bulu mata lentik itu begitu ketakutan. Dadanya berdebar-debar. Ia takut kalau Widya benar-benar mempermalukannya. "Apa-apaan, sih? Datang-datang malah buat onar," protes Hamidah, tak terima rekan sekaligus sahabatnya diperlakukan seperti itu. "Kamu tidak udah ikut campur. Kamu tahu enggak siapa wanita ini?" Widya mengarahkan jari telunjuknya ke arah Kirana. "Tau lah. Dia Kirana, sahabatku. Kamu itu yang siapa? Datang-datang malah nyari perkara. Udah bosan hidup bebas kamu ya? Mau nyoba hidup di sel?" "Tuh, kan, kamu tidak tahu siapa Kirana sebenarnya. Aku kenal Dia. Dia ini adalah wanita yang enggak benar. Suka jual diri. Akhlaknya aja udah enggak benar, gimana mau jadi guru?" lanjut Widya. "Apa?" tanya Hamidah sambil menatap Kirana, seolah meminta penjelasan. Sedangkan Kirana hanya bisa mengatakan tidak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ucapan Widya tersebut berhasil mengagetkan semua orang, termasuk Hamidah. Dia tidak menyangka jika Kirana yang dia kenal baik selama ini ternyata menyimpan sejuta rahasia. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN