Difitnah

1192 Kata
Bagian 4 "Eh, kata anak-anak, di kantin ada keributan loh! liat yuk," ucap seorang guru yang baru saja memasuki kantor guru. "Keributan? Siapa yang berani buat keributan di sekolah ini?" tanya guru yang lain. "Enggak tau juga sih, kan belum liat. Tapi kata anak-anak seorang wanita nunjuk-nunjuk wajah Bu Kirana gitu! Kayaknya itu orang ada masalah deh, dengan Bu Kirana." "Apa?" Raka yang sedang berkenalan dengan wali kelas enam sedikit terkejut setelah mendengar guru tersebut menyebut nama Kirana. "Apa jangan-jangan, Widya sudah bertemu dengan Kirana dan wanita yang yang menunjuk-nunjuk wajah Kirana itu … tidak! Widya tidak mungkin senekat itu!" batin Raka. "Bapak kenapa? Apa Bapak kenal dengan Bu Kirana?" tanya guru yang baru datang tadi. Raka menggeleng. Dia tidak ingin orang-orang mengetahui bahwa dia pernah menjalin hubungan hubungan Kirana karena Raka sangat malu pernah memiliki mantan seperti Kirana. "Siapa sih, yang berani cari masalah dengan Bu Kirana? Ayo kita ke kantin. Saya mau lihat siapa orangnya. Awas saja kalau dia berani nyakitin Bu Kirana," ucap Wahyu. Wahyu adalah wali kelas lima dan lelaki itu sudah lama menaruh hati kepada Kirana. "Sok jadi pahlawan ini orang! Belum tau aja dia siapa Kirana. Kalau dia tau, pasti tak mungkin dia mau membela Kirana." Raka kembali membatin. Wahyu segera menuju kantin, diikuti oleh Raka dan guru lainnya. Sementara itu, Widya masih melontarkan kata-kata makian kepada Kirana begitu mereka tiba. "Hentikan," sela Wahyu. "Ada apa ini, hah? Anda siapa? Datang-datang malah membuat keributan di sini?" tanya Wahyu dengan suaranya lantang. "Aku tidak perlu menjelaskan siapa diriku. Yang jelas, aku hanya ingin mengatakan sebuah kebenaran tentang wanita ini." Widya kembali menunjuk wajah Kirana. "Wanita seperti dia tidak pantas menjadi guru di sekolah ini karena dia ini adalah seorang p*****r. Masa iya, seorang p*****r mengajarkan mata pelajaran agama?" Guru-guru yang berada di tempat kembali berbisik-bisik. Mereka menatap Kirana dengan tatapan sinis. Padahal, mereka belum tahu kebenarannya. Tak terkecuali Hamidah, kini wanita berkacamata itu juga menatap Kirana dengan tatapan lain. Tidak seperti biasanya. "Tidak, saya tidak seperti itu. Itu fitnah," bantah Kirana. Ia berusaha membrla diri, berharap orang-orang mempercayainya. "Alah! Enggak usah ngelak kamu, ya! Aku dan Bang Raka tau semuanya, Kirana! Kamu memang bisa membohongi semua orang, tapi tidak dengan aku dan Bang Raka," tegas Widya. Wahyu melirik Raka sejenak, tapi Raka hanya diam saja. Ia malah menunduk. "Apa benar guru baru ini mengenal Bu Kirana?" Batin Wahyu bertanya-tanya. "Cukup! Saya tidak mau lagi ada keributan di sini. Siapa sesungguhnya Bu Kirana dan bagaimana masa lalunya, itu bukan urusan anda dan anda tidak ada hak untuk mempermalukanku. Saya minta anda tinggalkan tempat ini segarang juga!" ucap Wahyu dengan tegas. Widya mendengus kesal. Ia menatap Raka, seolah meminta pembelaan. Namun, Raka hanya diam saja. Widya menghentakkan kakinya ke lantai, kemudian meninggalkan kantin dengan terpaksa. Ia kesal karena rencananya tidak berhasil. Sebenarnya, dia tidak berniat untuk membongkar aibnya Kirana, tapi karena cemburu, dia nekat melakukan itu. Itu semua dia lakukan karena Widya takut Raka kembali lagi kepada Kirana. "Semuanya, silakan lanjutkan istirahatnya. Lupakan apa yang kalian lihat barusan. Anggap saja tidak terjadi apa-apa. Saya harap kejadian ini tidak membuat kalian menilai buruk Bu Kirana," ucap Wahyu. "Bu Kirana, mari ikut saya." "Baik, Pak." Kirana pun meninggalkan kantin dengan perasaan kacau. Setelah kepergian Kirana dan Wahyu, murid-murid dan guru-guru kembali menikmati waktu istirahat yang tinggal sebentar lagi. Sedangkan Hamidah, dia memunguti kotak nasi Kirana yang sudah pecah itu, lalu membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya, dia pun membereskan kotak makannya yang nasinya belum habis itu, lalu membawanya. Ia berjalan di belakang Raka yang juga menuju ruang guru. "Maafkan saya, Pak, Bu," ucap Kirana yang kini sudah duduk di meja kerjanya. Ia merasa tidak enak hati kepada guru-guru lainnya. "Bu Kirana tidak perlu minta maaf. Ini bukan salah Bu Kirana. Yang salah adalah wanita itu," kata Wahyu. "Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Kami tahu siapa Bu Kirana dan kami yakin kalau Bu Kirana tidak seperti apa yang dituduhkan wanita tadi. Bukan begitu Bapak Ibu?" tanya Wahyu kepada guru-guru yang berada di ruangan. Ada yang menjawab, ada juga yang diam. Ada yang percaya fitnah itu, ada juga yang tidak. "Bu Kirana tadi belum selesai ya makannya?" Wahyu yang masih berdiri di depan meja Kirana kembali bertanya. "Saya sempat liat tadi kotak makannya Bu Kirana, nasinya telah tumpah semua dan saya yakin kalau Bu Kirana belum selesai makannya. Saya pesan bakso buat Bu Kirana, ya?" "Tidak usah, Pak, saya sudah makan dan saya sudah kenyang." "Tidak boleh menolak," tegas Wahyu. "Yang lain mau juga? Pak Raka, Bu Hamidah, kalian mau bakso?" Kening Raka dan Hamidah mengernyit mendengar pertanyaan Wahyu. Mereka yang baru tiba sedikit bingung. Bukannya mereka mau membahas soal keributan di kantin tadi? Kenapa malah menawarkan bakso? "Tidak usah, Pak," jawab raka. Demikian juga Hamidah, dia menolak. "Yasudah kalau gitu. Saya pesan baksonya dulu." Wahyu pun keluar dari ruangan guru untuk mencari penjual bakso. Kirana masih duduk termenung. Pikirannya tak karuan. Dia takut jika guru-guru lain percaya kepada fitnah itu dan dia juga takut jika setelah ini nama baiknya akan rusak. Ke mana lagi dia harus mencari pekerjaan kalau sampai hal itu terjadi? Hamidah duduk di meja kerjanya, begitupun Raka. Keduanya diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Sementara di luar, Wahyu sudah menemukan penjual bakso keliling dan lelaki yang sudah menjadi PNS itu pun langsung memesan bakso. Setelah membayar, dia menyuruh sang tukang bakso untuk mengantarkan pesanannya ke ruang guru. Saat Wahyu hendak kembali, dia mendapati Widya sedang duduk di atas sebuah kursi di samping pos satpam. Karena penasaran dengan Widya, Wahyu pun menghampirinya. "Sebenarnya anda siapa? Kenapa begitu tega memfitnah dan mempermalukan Bu Kirana? Apa masalah anda?" tanya Wahyu langsung to the points. "Siapa saya, bukan urusan anda! Yang jelas, saya tidak punya urusan dengan anda," jawab Widya dengan ketus. "Anda salah! Jika anda berurusan dengan Bu Kirana, itu artinya anda berurusan dengan saya juga." "Begitu kah? Jadi ceritanya pahlawan kesiangan, nih?" balas Widya tak mau kalah. "Terserah apa kata anda. Yang jelas, saya tidak akan membiarkan anda mengganggu wanita yang saya cintai. Berani macam-macam dengan Bu Kirana, anda akan berurusan dengan saya!" "Bodoh! Anda mencintai seorang p*****r!" Widya kemudian tertawa setelah mengucapkan kata-kata itu. "Apa tidak salah? Anda itu ganteng, loh! Masa iya, anda mau dengan wanita yang suka jual diri?" lanjut Widya lagi. "Terserah anda mau berkata apa. Saya minta tinggalkan tempat ini sekarang juga dan jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di tempat ini!" "Pak, pesanannya udah siap," ucap sang penjual bakso. "Mari ikut saya ke ruang guru, Pak." Wahyu memilih untuk mengakhiri pembicaraannya dengan Widya. Wahyu harus memastikan jika Kirana memakan baksonya karena ia tidak mau perut gadis yang dicintainya itu kosong. "Harum sekali, Pak," kata Wahyu saat sang penjual bakso meletakkan semangkuk bakso di meja Kirana. "Punya saya taruh di sini juga, Pak, soalnya saya mau makan berdua dengan Bu Kirana." "Siap, Pak." Setelah itu, sang tukang bakso pun meletakkan pesanan di meja guru lain. Raka menatap dengan tatapan sinis. Dia kesal melihat kedekatan Wahyu dengan Kirana. Apalagi saat Wahyu menggoda Kirana. Dadanya terasa panas dan rangannya mengeras. Dia juga tidak tahu perasaan apa yang sedang dia rasakan. "Apa aku cemburu? Ah, tidak mungkin. Aku sudah punya Widya dan aku sudah tidak peduli lagi padanya. Bodo amat!" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN