Bagian 7
Bel tanda masuk berbunyi sesaat setelah Kirana keluar dari kamar mandi. Baju dan jilbabnya sudah bersih, hanya meninggalkan bekas basah di sana. Setidaknya begitu lebih baik daripada Kirana harus tampil dengan pakaian yang terkena lumpur.
Kirana menuju lapangan. Di sana sudah ada Pak Anto yang merupakan guru tata usaha. Lelaki itu sudah selesai mempersiapkan alas duduk untuk para murid, mikrophon sebagai alat pengeras suara dan juga minuman kemasan gelas di atas meja. Barangkali ada siswa atau guru yang haus nantinya.
"Pak Anto, maaf ya, saya enggak ikut bantuin."
Kirana merasa tidak enak hati. Seharusnya dia membantu Anto menyiapkan semuanya.
"Enggak apa-apa. Santai aja Bu Kirana. Ini memang tugas saya. Yang terpenting Bu Kirana sudah menyiapkan materi untuk tausiyah nanti."
"Kalau itu sudah pasti, Pak."
"Baiklah Bu Kirana. Murid-murid sudah pada duduk di tempatnya, tuh! Mari kita mulai."
Kirana pun mengangguk.
Setelah guru-guru dan murid-murid berkumpul semua, Kirana pun memulai acara dengan mengucapkan basmalah terlebih dahulu, kemudian diiringi dengan salam pembuka.
Semua yang hadir menyambut salam Kirana dengan semangat.
"Ini acara apa, Bu?" tanya Raka kepada guru wanita yang berdiri di sampingnya. Raka sedikit bingung karena di sekolah tempatnya mengajar sebelumnya tidak ada acara seperti ini. Yang ada hanya apel pagi setiap paginya.
"Tiap hari Kamis memang begini, Pak. Nanti akan ada tausiah yang disampaikan oleh Bu Kirana. Setelah itu berdoa bersama, lanjut infaq atau sedekah Kamis, Pak. Nanti Bu Kirana juga yang akan bawain kotak infaq nya dan kita boleh mengisi seikhlasnya. Begitu, Pak."
Raka hanya manggut-manggut.
"Seorang p*****r mau menyampaikan tausiah? Yang benar saja! Dirinya sendiri saja belum tentu berada di jalan yang lurus. Gimana mau ngajakin orang lain, coba?" batin Raka.
Raka sama sekali tidak respek terhadap Kirana. Karena menurutnya, Kirana sama sekali tidak pantas berdiri di tempatnya saat ini. Dia cocoknya bergabung dengan wanita malam di bar atau diskotik. Maka dari itu, dia sama sekali tidak menyimak. Malah dia sibuk bermain ponsel.
"Hey guru baru, apa tidak bisa HP-nya disimpan dulu? Kita di sini buat mendengarkan tausiah, bukan buat main hp," tegas Wahyu yang memang sudah memperhatikan Raka sedari tadi.
"Ini orang kok' sibuk bener?" batin Raka. Dia hanya bisa membatin.
Raka pun segera menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Bukan karena takut kepada Wahyu, tetapi karena Raka tidak mau cari masalah. Raka kemudian menatap Kirana yang sedang asyik menyampaikan tausiah.
"Jadi tema hari ini tentang finah ya anak-anak. Anak-anak sudah pada tahu apa artinya fitnah?" tanya Kirana. Kirana sengaja bertanya biar murid-murid lebih bersemangat.
"Tahu, Bu," jawab seorang murid yang duduk di kelas lima.
"Belum, Bu," sahut murid yang masih duduk di bangku kelas satu.
"Fitnah itu lebih lebih kejam dari pembunuhan, Bu. Kata bapakku, tapi," teriak seorang murid laki-laki yang kini duduk di kelas enam.
"Betul sekali. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Baik, sekarang biar Ibu jelaskan apa itu fitnah. Simak baik-baik ya."
Kirana mulai menjelaskan tentang arti dan bahaya fitnah. Bahkan Kirana juga menceritakan kisah Rasulullah yang seringkali difitnah oleh kaum Yahudi. Rasulullah dituduh membawa ajaran sesat, padahal itu tidak benar adanya.
Murid-murid dan guru-guru masih semangat mendengarkan. Tak terkecuali Raka. Jika tadi dia enggan mendengarnya, sekarang dia malah fokus mendengarkan apa yang disampaikan Kirana.
"Ibu juga pernah menjadi korban fitnah. Dan itu sakit sekali. Sakitnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata."
"Masa sih, itu fitnah? Udah jelas-jelas tertangkap basah gitu?" Raka bertanya-tanya di dalam hatinya.
"Harapan Ibu, semoga semua yang hadir di sini terhindar dari fitnah. Sampai di sini apakah ada yang kurang paham? Ada yang mau bertanya?"
"Paham, Bu," jawab murid-murid serentak.
Setelah selesai tausiah, mereka pun menggelar doa bersama yang dipimpin oleh Kirana sendiri. Semua orang terlihat khusyuk mengaminkan doa. Hanya Raka yang tidak khusyu. Lelaki itu memang ikut menengadahkan tangannya dan sesekali mengucapakan amin. Tetapi dapat dilihat dengan jelas kalau lelaki itu tidak khusyuk dalam mengaminkan doa yang dipimpin oleh Kirana. Karena sedari tadi dia hanya sibuk curi-curi pandang ke arah Kirana. Membuat Wahyu merasa jengkel karena dia tidak suka jika ada lelaki lain yang melirik gadis yang dicintainya.
"Hey guru baru, ngapain kamu liatin Bu Kirana terus dari tadi?" tanya Wahyu.
"Lah, apa urusannya denganmu?" Raka bertanya balik.
"Saya hanya tidak suka melihat caramu menatap Bu Kirana. Saya peringatkan padamu, jauhi Bu Kirana. Jika sampai kejadian seperti tadi pagi kamu ulangi lagi, maka saya tidak akan tinggal diam," ancam Wahyu.
"Kejadian seperti tadi pagi? Kejadian apa?"
"Maksud Bapak kejadian apa?"
"Tidak usah berpura-pura!"
"Seriusan, Pak, saya tidak tahu kejadian apa yang Bapak maksud."
"Apa anda amnesia? Bahkan bekasnya saja belum hilang dari baju dan jilbabnya Bu Kirana," tegas Wahyu.
Raka semakin bingung. Pasalnya, seingatnya dia tertidur di dalam mobil, bahkan dia tidak tahu jika mobil sudah terparkir di halaman sekolah kalau saja Widya tidak membangunkannya.
"Saya tidak main-main ya, Pak. Saya serius dengan ancaman saja. Jauhi Bu Kirana dan jangan pernah mengganggunya jika tidak ingin berhadapan dengan saya." Wahyu kembali mengulangi kalimatnya. Setelah itu, dia memilih untuk menjauh dari Raka karena malas melihat wajahnya.
Raka terdiam. Dia masih belum bisa mencerna maksud dai ucapan Wahyu.
"Apa mungkin ada sesuatu yang terjadi saat aku tertidur tadi?"
Raka menatap Kirana. Gadis itu kini sedang membawa sebuah kardus yang digunakan sebagai wadah untuk meminta sumbangan sukarela kepada murid-murid. Kirana berjalan, mendatangi seluruh murid tanpa terkecuali. Ada yang memberikan sumbangan sebesar seribu rupiah, dua ribu, tiga ribu sampai lima ribu. Besarannya tidak dipatok, yang penting adalah keikhlasannya. Uang yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk membantu merenovasi toilet sekolah.
Tibalah Kirana di hadapan Raka. Kirana tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia hanya menyodorkan kardus dan Raka langsung mengerti. Dia pun mengeluarkan selembar uang berwarna hijau dan meletakkannya di dalam kardus. Sekilas, Raka memperhatikan jilbab dan baju Kirana. Terlihat basah dan sedikit kotor. Raka mau bertanya, tetapi dia gengsi. Dia Takut Kirana menganggap bahwa dirinya memperhatikan Kirana.
"Ngapain juga aku harus bertanya kenapa bajunya kotor, apa urusannya denganku?"
Raka memang peduli, tapi gengsinya masih mampu mengalahkan rasa pedulinya.
Kirana berlalu dari hadapan Raka. Kini dia menuju ke Wahyu yang sudah menyambutnya dengan senyuman manis. Wahyu kemudian mengambil selembar uang berwarna merah dari saku celananya, lalu meletakkannya ke dalam kardus yang dibawa Kirana.
"Terima kasih, Pak Wahyu."
"Sama-sama, Bu Kirana."
"Mentang-mentang dia ngasihnya banyak diucapkan terima kasih. Giliran orang yang ngasihnya dikit tidak diucapkan terima kasih," protes Raka.
Kirana maupun Wahyu tidak menanggapi. Mereka bahkan sama sekali tidak menoleh ke arah Raka. Terlebih Kirana. Dia masih marah dan jengkel kepada Raka akibat kejadian tadi.
Setelah acara selesai, guru-guru dan murid-murid pun meninggalkan lapangan. Murid-murid memasuki kelas dan duduk di bangku masing-masing dengan tertib, sedangkan guru-guru kembali ke kantor guru untuk mengambil perlengkapan karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
Lain halnya dengan Kirana, dia masih harus menghitung jumlah uang sumbangan yang didapat dan lanjut menyerahkannya kepada komite sekolah. Setelah selesai, barulah dia melanjutkan tugasnya.
Saat Kirana hendak menuju kantor guru, dia berpapasan dengan Raka yang kebetulan baru keluar dari ruangan tersebut. Kirana membuang muka, tak sudi menatap wajah Raka. Membuat Raka semakin jengkel.
"Pintar ceramahin orang doang. Akhlaknya mah minus," sindir Raka.
"Daripada situ, pinter bawa mobil tapi tidak tahu cara berkendara dengar benar," balas Kirana. Setelah mengucapkan kata-kata itu, Kirana langsung meninggalkan Raka.
"Apa maksudnya bicara seperti itu, coba?"
Raka hendak bertanya, tetapi Kirana sudah berlalu. Dia merasa ada yang janggal. Tadi Wahyu yang mengancamnya, sekarang bahkan Kirana sudah berani menyindirnya.
"Ada apa sebenarnya?"
Karena penasaran, Raka pun berjalan ke parkiran untuk melihat mobilnya. Dia ingin mengecek mobilnya apakah ban-nya kotor atau tidak.
"Jika ban mobilku kotor, berarti Widya sudah melakukan sesuatu kepada Kirana," batin Raka.
Raka bahkan mengabaikan murid-murid yang sudah menunggunya di dalam kelas saking penasarannya.
Setibanya di parkiran, Raka tidak melihat keberadaan mobilnya, dia lupa bahwa mobilnya dipakai oleh Widya.
"Astaga! Mobilku ada sama Widya!"
Raka pun segera mengambil ponselnya dan menghubungi Widya untuk menayangkan apa yang terjadi saat dirinya tertidur. Sayangnya, Widya tidak mau mengangkat teleponnya.
Bersambung