Cinta Terpendam

1246 Kata
Bagian 6 Suara azan subuh menggema di telinga. Kirana memaksakan diri membuka matanya biarpun dia masih mengantuk. Dia tidak langsung bangkit. Gadis yang mengenakan piyama merah marun itu duduk sejenak di atas tempat tidur. Barulah setelah mendengar Ash-shalaatu khairum minan naum, dia langsung bangkit dan menyambar handuk yang tergantung di balik pintu kamar. Seketika hatinya bergetar mendengar itu. "Sholat itu lebih baik daripada tidur, Kirana," ucapnya kepada diri sendiri. Hati Kirana selalu bergetar saat mendengar muadzin melafalkan itu. Dia takut malaikat Allah mencabut nyawanya saat dalam tertidur. Maka dari itu, dia akan segera menunaikan kewajibannya dan tidak mau menunda-nundanya. Sebelum berwudhu, Kirana menyempatkan diri untuk mengecek keadaan ibunya, berniat untuk membangunkannya. Dia memutar knop pintu dengan pelan. Ternyata ibunya tengah menunaikan sholat. Ya, begitu selesai adzan, Syafitri menunaikan sholat qobliyah subuh, yaitu sholat sunnah yang dilaksanakan sebelum mengerjakan sholat subuh. "Alhamdulillah, rupanya Ibu sudah bangun." Kirana kembali menutup pintu dan lanjut ke kamar mandi. Kirana langsung membersihkan diri dan bersegera mengambil wudhu. Setelah itu, ia menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Sebelum menunaikan sholat fardhu, Kirana selalu menunaikan shalat nunnah dua rakaat sebelum subuh, baru lanjut sholat fardhu Subuh. Di atas sajadah, Kirana bersujud, memohon kepada raab-Nya, Allah SWT. Ia mengadukan semua keluh kesahnya kepada Allah karena hanya Allah lah sebaik-baiknya tempat mengadu dan memohon. *** Raka bangun kesiangan. Terlalu banyak berpikir membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Jika dihitung, lelaki itu hanya tidur selama tiga jam. Tak heran jika dia bangun kesiangan. Raka segera melirik arloji miliknya. Jam setengah enam pagi. Raka buru-buru menyambar handuk dan membersihkan diri secepat kilat. Setelahnya ia berwudhu dan menunaikan sholat subuh. Raka tidak tahu masih masuk waktu sholat atau tidak. Yang jelas, dia tetap melaksanakan kewajibannya. Masalah diterima atau tidak, hanya Allah yang tahu. Selesai sholat, Raka langsung berpakaian dan lanjut menyeduh kopi. "Aku harus buru-buru. Masa iya, guru baru datangnya telat. Kan malu!" Raka bergumam sendiri. "Begini nih, kalau hidup sendiri. Apa-apa serba sendiri. Mau kopi juga terpaksa bikin sendiri," batin Raka. *** Di tempat lain, Kirana sudah selesai menyiapkan sarapan pagi ketika ayahnya kembali dari masjid. Bahkan dia sudah siap dengan pakaian dinasnya. "Wah, baunya enak sekali," puji Ilham kepada Kirana. "Eh, anak Ayah udah siap aja? Tumben?" "Ini 'kan hari Kamis, Yah. Pagi ini ada tausiyah di sekolah dan aku yang jadi pembawa acaranya. Apa Ayah lupa?" Kirana menjawab sambil mencari-cari sesuatu yang belum ia temukan dari tadi. "Iya, Ayah lupa. Maklum sudah tua," jawab Ilham sambil terkekeh. "Eh, Kirana nyari apa? Biar Ayah bantu." "Lagi nyari tempat makan, Yah. Aku cariin dari tadi enggak ketemu juga." Ilham yang sedari tadi berdiri di dekat kompor pun mendekat ke rak piring dan ikut mencari. "Coba ingat-ingat, kemarin kamu bawa pulang, enggak? Apa barangkali kotak makanmu tertinggal?" Setelah sekian menit mencari, Kirana baru ingat kalau dia sudah tidak memiliki kotak makan. Kotak atau tempat bekalnya sudah dipecahkan oleh Widya. "Iya, Yah, kayaknya ketinggalan di sekolah, deh!" Kirana tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Takut ayahnya ikut kepikiran. Jangan sampai ayahnya tahu kalau Raka sudah berada di sini. Bahkan sudah mengajar di sekolah yang sama dengannya. "Yaudah, aku pamit sekarang aja ya, Yah. Takut telat." "Eh, terus kamu enggak bawa bekal? Nanti makan siangnya gimana?" "Enggak apa-apa, Yah, nanti aku jajan di kantin saja." Kirana langsung menyambar tas, lalu berpamitan kepada ayahnya. "Yah, salam buat Ibu, ya. Ibu baru tidur setelah minum obat, aku tidak tega membangunkannya." "Iya, Nak. Hati-hati ya." Ilham mengantarkan Kirana sampai ke halaman depan. Ia masih menatap kepergian putrinya hingga tubuh gadis yang sangat disayanginya itu menghilangkan di ujung jalan. "Ya Allah, lindungi putri hamba. Hamba mohon lancarkan urusan dan pekerjaannya. Jauhkan dia dari segala masalah dan dari marabahaya. Aamiin." Sementara itu, Raka juga sudah siap dengan tas kerjanya. Lelaki itu kemudian memakai sepatu, lalu keluar dari rumah kontrakannya. "Pagi, Bang," sapa Widya begitu Raka selesai mengunci pintu. "Astaga, Widya! Kamu membuatku kaget saja!" "Maaf Bang, maaf!" "Eh, tunggu. Kenapa kamu berada di sini? Bukankah kemarin sore aku sudah mengantarmu ke pelabuhan? Kamu tidak jadi kembali ke Dumai?"Raka langsung memberondong Widya dengan berbagai pertanyaan. "Kapalnya enggak berangkat karena penumpangnya kurang banyak." Widya memberi alasan. "Masa, sih? Kan udah ngambil tiket duluan?" Raka kurang yakin dengan alasan Widya. "Iya, Bang. Kenapa? Enggak percaya?" Padahal, Widya berbohong. Dia tidak mau meninggalkan Raka di sini dan dia juga tidak akan kembali sebelum berhasil menjalankan rencananya. "Yaudah. Kamu istirahat saja di rumah. Nanti sore aku antar lagi ke pelabuhan dan kamu sudah harus pulang. Aku mau berangkat sekarang." Raka berucap sambil menutup mulutnya yang menguap. "Sini biar aku antar, aku yang nyetir." Widya langsung merampas kunci mobil dari tangan Widya. "Enggak usah, aku aja," tolak Raka. "Abang kelihatannya masih ngantuk. Belum ngopi, ya? Makanya buruan halalin aku biar Abang ada yang urus." Raka terdiam. Mereka sudah lama tunangan dan Raka belum siap untuk menikahi Widya. Entah apa lagi yang dia tunggu. Berbeda dengan Widya yang sudah siap kapanpun Raka melamarnya. Bahkan dia selalu mendesak Raka agar segera menikahinya. Namun, Raka selalu beralasan belum siap. Widya dan Raka naik ke mobil. Kali ini Raka membiarkan Widya menyetir sesuai dengan permintaannya. Mobil bergerak mundur, lalu melesat meninggalkan pelataran rumah kontrakan yang menjadi tempat tinggal Raka untuk sementara waktu ini. Tak berapa lama, mobil yang dikendarai oleh Widya sudah hampir tiba di sekolah. Dari kejauhan, Widya melihat Kirana sedang berjalan kaki. Ia melirik Raka, rupanya lelaki itu telah tertidur. "Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini," batin Widya. Widya menambah kecepatan. Kebetulan sekali ia melihat genangan air di dekat Kirana. Tanpa berpikir lagi, Widya pun melindas air tersebut sehingga Kirana terkena percikannya. Membuat baju dan jilbab Kirana basah dan sedikit kotor karena air tersebut bercampur dengan lumpur. "Astaghfirullah ya Allah." Kirana beristighfar saat mendapati baju dan jilbabnya sudah kotor. Dia kemudian menatap mobil yang sedang berhenti tepat di hadapannya. Kirana tahu siapa pemilik mobil itu karena sudah melihat mobil itu kemarin. "Segitu bencinyakah Bang Raka padaku sehingga dia sampai hati melakukan ini?" Kirana bertanya-tanya di dalam hati. Kirana mengira bahwa Raka lah yang melakukannya. Padahal bukan. "Apa yang harus kulakukan? Aku harus diam saja atau …." "Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Jika aku diam saja, Pasti besok-besok Bang Raka akan melakukan hal yang lebih parah dari ini." Kirana mendekat dan hendak mengetuk kaca jendela mobilnya Raka. Namun, Widya langsung melajukan mobil. Membuat Kirana semakin marah. "Bu Kirana, ada apa? Kenapa jilbab dan bajunya jadi kotor begitu?" Wahyu datang di saat mobil yang dikendarai Widya telah berlalu dan kini sudah memasuki pelataran sekolah. "Enggak apa-apa, Pak." "Apa yang terjadi, Bu? Bu Kirana baik-baik saja, kan? Butuh bantuan?" Sebenarnya Wahyu tahu apa yang telah terjadi dan dia tahu siapa yang melakukanya. Wahyu bahkan berniat memperingatkan pemilik mobil tersebut agar tidak berbuat seenaknya. Tetapi, niat tersebut dia urungkan saat melihat baju Kirana yang sudah basah dan kotor. Dia lebih mementingkan Kirana dibanding melabrak yang punya mobil. "Saya baik-baik saja, Pak Wahyu." Kirana berpura-pura, padahal kenyataannya tidak demikian. "Saya yakin Bu Kirana sedang tidak baik-baik saja. Mari naik ke motor biar saya antar. Bu Kirana harus ganti baju. Jika tidak, Bu Kirana nanti akan masuk angin." "Tidak usah, Pak. Saya bersihkan di kamar mandi saja nanti. Lagian, tak lama lagi bel tanda masuk akan berbunyi. Jika pulang lagi rumah, dipastikan kita akan terlambat, Pak. Terima kasih karena Pak Wahyu sudah peduli kepada saya." Walaupun banyak yang membenci dan tidak suka padanya, setidaknya masih ada yang peduli dan Kirana sangat mensyukuri hal itu. "Aku memang selalu peduli padamu, Kirana, sayangnya kamu tidak pernah menyadari hal itu," bisik hati Wahyu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN